Jakarta (ANTARA) - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rahma Hanifa mengatakan perlu adanya pengkontekstualan kembali potensi tsunami di masing-masing wilayah dan strategi berbeda untuk beberapa skenario gempa.

"Kita perlu mengkotekstualkan kembali potensi tsunami untuk masing-masing wilayah. Jadi kontekstualisasi dari materi pendidikan itu sangat penting," kata Rahma dalam diskusi bertemakan 15 tahun tsunami senyap di Pangandaran yang dipantau virtual dari Jakarta, Sabtu.

Menurut peneliti Pusat Penelitian Geoteknolgi LIPI itu, masyarakat telah mengetahui secara umum mengenai tsunami. Tapi diperlukan kontekstual berbasiskan wilayah serta sosialisasi evakuasi mandiri ketika melihat tanda-tanda alam.

Baca juga: BNPB: Perlu peta risiko bencana pantai dan laut sebagai mitigasi

Baca juga: BMKG: Gempa Kepulauan Talaud tak berpotensi tsunami


Tanda-tanda itu tidak hanya ketika dirasakan guncangan keras, tapi juga ketika terjadi gempa mengayun di mana getaran gempa terjadi lambat dan dirasakan mengayun. Bila terjadi gempa mengayun lebih dari 20 detik maka perlu dilakukan evakuasi mandiri karena terdapat potensi tsunami.

Dia juga menjelaskan bahwa terdapat perbendaan antara tsunami yang disebabkan gempa biasa dan gempa megathrust yang memiliki jangkauan lebih luas.

Rahmi memaparkan bahwa jika terjadi tsunami earthquake atau senyap, maka lakukan evakuasi 200 meter dari pantai. Tapi kalau terjadi gempa megathrust harus melakukan evakuasi ke tempat yang lebih jauh atau lebih tinggi dari skenario tsunami senyap.

"Memang alangkah baiknya kalau kita punya strategi untuk beberapa skenario karena tidak mesti tsunami megathrust ini akan terjadi. Bisa jadi tsunami senyap yang akan terjadi dan tantangannya akan berbeda," kata Rahma.*

Baca juga: Gempa bermagnitudo 6,2 di Sulut tak berpotensi tsunami

Baca juga: Zudan usulkan otonomi birokrasi untuk atasi "tsunami politik"