Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan hakikat pembangunan adalah proses kolektif menuju kemajuan yang membutuhkan haluan, agar seluruh pemangku kepentingan mempunyai perspektif yang sama.

Dia menilai kesamaan pandangan itu penting, karena Indonesia dengan 270,2 juta penduduknya memiliki tingkat heterogenitas yang luar biasa dari berbagai sudut pandang, baik latar belakang budaya, sosial, ekonomi maupun pandangan politik.

"Indonesia tidak ubahnya seperti bahtera besar yang sedang berlayar di tengah samudra luas. Agar berhasil mencapai tujuan, diperlukan haluan sebagai peta jalan atau 'road map'. Karena tidak mungkin nasib penumpang bahtera dipercayakan begitu saja, semata-mata pada intuisi seorang nakhoda," kata Bambang Soesatyo atau Bamsoet dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat.

Bamsoet menyampaikan hal itu dalam webinar "Urgensi Haluan Negara terhadap Proses Pembangunan Bangsa dan Negara dalam Jangka Panjang", di Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan, atas dasar itu MPR RI sedang menyelesaikan penyusunan draf Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang akan dijadikan "bintang penunjuk" arah pembangunan nasional.

Menurut dia, dukungan agar MPR RI memiliki kewenangan menetapkan PPHN datang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia serta Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS).

"Selain itu, juga didukung organisasi kemasyarakatan mulai dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, Majelis Tinggi Agama Konghucu hingga perguruan tinggi di berbagai daerah, seperti di Bali, Riau, dan Aceh," ujarnya.

Dia mengatakan dukungan tersebut tidak terlepas karena pasca-amendemen keempat Konstitusi RI, MPR tidak lagi memiliki wewenang menetapkan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).

Menurut dia, fungsi GBHN digantikan dengan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.

"Sementara Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disusun berlandaskan visi dan misi calon presiden dan wakil presiden terpilih," katanya lagi.

Bamsoet menjelaskan, dalam implementasinya berbagai peraturan perundang-undangan tersebut ternyata menyisakan beragam persoalan.

Menurut dia, selain kecenderungan bersifat eksekutif sentris, juga memungkinkan RPJPN dilaksanakan tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan dan tidak sinerginya perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah.

"Inkonsistensi arah dan kebijakan pembangunan antara jenjang nasional dan daerah, juga berpotensi menghasilkan program pembangunan yang bukan saja tidak saling mendukung, tetapi juga bisa saling menegasikan satu sama lain," katanya.

Dia menjelaskan, agar MPR RI memiliki kewenangan menetapkan PPHN, terlebih dahulu harus dilakukan amendemen terbatas terhadap konstitusi (UUD NRI) khususnya berkaitan dengan dua pasal dalam konstitusi.

Dua pasal itu, menurut dia, antara lain penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, dan penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.

"Idealnya, substansi PPHN harus dapat menggambarkan wajah Indonesia untuk 50 bahkan 100 tahun yang akan datang, mampu menjawab kebutuhan Indonesia di era milenial yang sangat dipengaruhi Revolusi Industri 4.0 dan era Society 5.0. Mampu memberikan arahan untuk menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan.

Dia menekankan, amendemen terbatas tersebut tidak akan membuka kotak pandora, misalnya menambah batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden maupun mengembalikan pemilihan presiden-wakil presiden kepada MPR RI.

Menurut dia, Pasal 37 Konstitusi RI telah mengatur secara rinci dan tegas mengenai mekanisme usul perubahan konstitusi yang tidak dapat dilakukan secara serta-merta.
Baca juga: Pimpinan MPR kunjungi PHDI serap masukan amendemen
Baca juga: Masih perlukah Amendemen UUD 45?