Jakarta (ANTARA News) - Dulu beredar teori bahwa kegembiran semata-mata berhubungan dengan genetika, tapi beberapa ilmuwan prilaku di Australia, Selasa (5/10), dalam studi yang dipandang sebagai terobosan di bidang penelitian psikologi, mengesampingkan teori itu.

Hasil dari studi selama 25 tahun terhadap 60.000 orang Jerman memperlihatkan kegembiraan jangka panjang ditentukan oleh gaya hidup, keputusan termasuk memilih pasangan, pekerjaan dan agama.

Menurut ABC News, pemimpin studi tersebut dan Asisten Profesor di University of Melbourne of Australia, Bruce Headey, mengatakan studi itu mengubah pendapat yang sudah lama ada mengenai kegembiraan terutama dikaitkan dengan kepribadian.

"Kegembiraan bukan cuma masalah keturunan. Itu bukan sekedar masalah gen," kata Profesor Headey sebagaimana dilaporkan oleh kantor berita China, Xinhua.

"Gen mungkin memiliki 50 peran dalam kisah tersebut, tapi sisanya tergantung atas pilihan gaya hidup --pilihan yang berkaitan dengan pasangan anda dan juga berkaitan dengan kehidupan pekerjaan anda," katanya.

Studi tersebut dijadwalkan diterbitkan di dalam jurnal resmi United States National Academy of Sciences, dan dilandasi atas data dari German Socio-Economic Panel, yang dilakukan oleh para ilmuwan yang sebagian berasal dari Australia.

Studi itu menganalisis reaksi dari sampel orang-orang yang mewakili secara nasional dan berusia 16 tahun serta mengenai siapa yang menjawab pertanyaan setiap tahun dari 1984 sampai 2008.

Mengenai hubungan, temuan tersebut mengungkapkan bahwa individu yang memiliki pasangan penderita gangguan syaraf sangat kurang bahagia dibandingkan dengan mereka yang memiliki pasangan yang secara emosi lebih stabil.

"Orang yang memilih atau kebetulan dipilih oleh pasangan dengan kepribadian yang relatif tenang, dengan tingkat penderitaan sakit jiwa yang rendah, dan yang cukup ekstrofet serta ramah, mereka cenderung lebih bahagia daripada rata-rata, dan lebih bahagia dibandingkan dengan mereka yang hanya berpegang pada ciri kepribadiannya sendiri," kata Profesor Headey kepada ABC News.

Studi tersebut mendapati orang yang memprioritaskan hubungan mereka dengan anak-anak dan pasangan mereka lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang tertarik pada karir atau keberhasilan materil.

Hal serupa terjadi pada orang yang mementingkan orang lain seperti membantu orang atau terlibat dalam kegiatan politik atau sosial.

Bekerja dengan jam yang lebih pendek tak sepenuhnya menghasilkan kegembiraan, tapi bekerja lebih lama atau kurang daripada yang mereka ingini membuat banyak orang jadi sangat tidak bahagia.

"Masalah lain yang mempengaruhi adalah kegiatan sosial, terlibat di dalam masyarakat dan dengan teman dengan cara yang aktif," kata Profesor Headey.

Ia menyatakan kaitan antara agama dan kegembiraan juga terlihat jelas.

"Agama kelihatannya berpengaruh pada orang. Orang yang secara rutin datang ke gereja atau masjid agak lebih bahagia dibandingkan rata-rata orang yang tak beragama atau tak pernah hadir ke tempat ibadah," katanya.

"Jadi, memiliki sejenis sistem kepercayaan yang memberi orang rasa berarti atau punya tujuan penting bagi kebahagiaan," kata Profesor Headey.

Ia menyatakan temuan itu adalah yang pertama dalam skala yang seluas itu.

"Dalam masalah apa arti penelitian kami dalam persoalan pekerjaan empiris ini mengenai penentu kepuasan hidup, itu saya kira adalah terobosan yang berarti," katanya.

"Orang ingin bahagia, mereka mau tahu apa yang dapat mereka lakukan untuk membuat perbedaan dan ini memberi suatu petunjuk mengenai beragam jenis pilihan yang menentukan," katanya.

"Jadi, kita tidak harus terpaku pada pendapat bahwa kegembiraan sudah ditetapkan, seperti penyakit atau ketinggian atau gen," katanya.
(C003/A011)