Jakarta (ANTARA) - Emiten pertambangan PT PAM Mineral Tbk (NICL) menilai peluang bisnis pertambangan nikel berkadar rendah cukup menjanjikan sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan baterai untuk bahan bakar kendaraan listrik.

"Adanya industri baterai nasional seiring tumbuhnya smelter dengan teknologi hydrometalurgi akan meningkatkan kinerja perusahaan dengan diserapnya nikel kadar rendah yang diproduksi perseroan. Ini yang kita harapkan bersama," kata Direktur Utama PT PAM Mineral Tbk (NICL) Ruddy Tjanaka dalam pernyataan di Jakarta, Kamis.

Kebijakan pemerintah yang akan mengembangkan industri dan ekosistem kendaraan listrik melalui pembentukan holding BUMN baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) kerjasama dengan produsen mobil listrik dunia yaitu LG Chem (Korea) dan CATL (China) diyakini akan meningkatkan permintaan bijih nikel di pasar domestik

Seperti diketahui, pabrik baterai mobil listrik milik PT. Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Konsorsium LG serta CATL untuk mobil listrik akan mulai melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking pada akhir Juli 2021.

Selanjutnya, pabrik baterai tersebut diharapkan akan mulai beroperasi pada 2023. Dimana nikel dengan kadar rendah banyak dibutuhkan untuk kebutuhan campuran dengan jenis logam cobalt sebagai bahan baku untuk baterai.

Selain itu, Ruddy mengatakan, stabilnya industri pengolahan atau smelter, menjadi peluang yang cukup menjanjikan bagi industri bijih nikel. Dia optimis permintaan bijih nikel dengan kadar tinggi akan meningkat. Apalagi dengan ekspansi di smelter yang ada, terutama di daerah-daerah yang dekat dengan tambang perseroan.

"Tentu kita optimis perkembangan ke depan itu kebutuhan ore nikel bisa melebihi 7-8 juta ton per bulan," ujar Ruddy.

Sementara itu, dengan eksplorasi yang terus menerus dilakukan, perseroan berkeyakinan bahwa ke depan perseroan dan anak perusahaan masih memiliki sumberdaya sekitar 28 juta ton lebih bijih nikel. Dari 28 juta bijih nikel tersebut, lanjut Ruddy, tidak semua memiliki kadar tinggi namun juga terdapat bijih nikel dengan kadar rendah. Perseroan saat ini telah melakukan penjualan bijih nikel kadar rendah ke smelter yang ada.

Untuk jangka menengah dan jangka panjang perseroan memiliki strategi menambah cadangan dengan melalui akuisisi atau maupun mencari tambang baru, dia berharap dapat mengerek kinerja perseroan dengan pertumbuhan yang lebih tinggi lagi kedepannya.

Untuk rencana jangka pendek, perseroan akan memenuhi target Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) sebanyak 1,8 juta ton bijih nikel.

"Tambang nikel ini tergantung cuaca, jadi kita berharap cuaca mulai bersahabat, sehingga kita bisa produksi lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan smelter ke depan," kata Ruddy.

Lebih lanjut, Ruddy menjelaskan, jumlah pasokan nikel relatif terbatas saat ini. Di sisi lain, permintaan bijih nikel semakin meningkat terutama dari industri kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV). Pangsa pasar untuk kendaraan listrik (EV) yang akan meningkat dari 2,5 persen pada 2019 menjadi 10 persen pada 2025.

Pangsa pasar untuk industri EV diprediksikan akan meningkat menjadi 28 persen pada 2030 dan 58 persen pada 2040. Pada 2019, konsumsi nikel untuk bahan baku baterai mencapai 7 persen dari total konsumsi global.

Diperkirakan pada 2022, permintaan nikel akan melebihi pasokan yang ada.

"Ini potensi yang besar bagi perseroan untuk bertumbuh mengingat saat ini baru sebagian kecil dari area yang sudah dieksploitasi," ujar Ruddy.

Baca juga: Bahlil mau RI dikenal jadi negara industri penghasil baterai listrik
Baca juga: Luhut: Potensi nikel melimpah Indonesia punya posisi tawar kuat
Baca juga: Cadangan nikel Antam untuk industri baterai hingga 30 tahun