Jakarta (ANTARA) - Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan rencana pengenaan tarif baru Pajak Penghasilan (PPh) untuk orang pribadi (OP) dengan pendapatan di atas Rp5 miliar belum tentu menyasar kelompok kaya secara efektif.

Menurut dia, penghasilan orang kaya umumnya berasal dari modal, seperti dividen, sewa, dan royalti yang telah dikenakan pajak final, di luar tarif yang bersifat umum dan progresif.

"Dengan demikian, cakupan tarif baru ini belum tentu menyasar secara efektif kepada kelompok kaya," kata Bawono kepada Antara, di Jakarta, Rabu.

Bawono melanjutkan, dari sisi administrasi, pemajakan orang kaya juga relatif menantang karena kompleksitas bisnis serta risiko penghindaran pajak yang lebih besar.

Baca juga: Pemerintah akan tunjuk pihak lain untuk pungut pajak dalam RUU KUP

Untuk mengatasi potensi ketidakefektifan itu, ia mengatakan, pemerintah bisa mempertimbangkan mengenakan capital gain tax bagi penghasilan dari modal. Pemerintah juga bisa menggunakan skema pemajakan berbasis kekayaan dan harta warisan.

Selain itu, pembentukan unit khusus yang dilengkapi dengan data profil orang kaya dan jaringan bisnis secara terintegrasi adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan.

Untuk mengatasi potensi penghindaran pajak, tambah dia, pemerintah juga bisa melakukan pendekatan kepatuhan berbasis cooperative compliance.

Sebagaimana diketahui, melalui Rancangan Undang-Undang-Undang Perubahan Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah berencana memungut pajak sebesar 35 persen untuk orang dengan penghasilan di atas Rp5 miliar.

Bawono pun mengapresiasi rencana tersebut karena beberapa organisasi internasional seperti IMF, OECD, dan ADM juga telah menyerukan supaya kelompok kaya berkontribusi lebih besar terhadap pajak.

"Selain guna menjamin optimalisasi penerimaan PPh OP, resep ini juga diajukan dalam rangka mengurangi ketimpangan," terangnya.

Baca juga: Sri Mulyani atur ulang objek dan fasilitas PPN dalam RUU KUP

Ia memandang reformasi pajak mendesak dilakukan saat ini. Pajak mesti dapat berperan lebih besar untuk menjamin ketersediaan dana pembangunan, tidak hanya dalam jangka pendek tapi juga menengah-panjang.

"Reformasi pajak juga diperlukan dalam rangka mewujudkan pemulihan ekonomi yang inklusif dan ditopang secara adil oleh berbagai kelompok serta sektor," katanya.

Ia melanjutkan pandemi COVID-19 telah mendorong reformasi pajak di berbagai negara, untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Hal ini dipicu oleh keterbatasan daya tahan anggaran dalam mengantisipasi risiko fiskal yang timbul akibat defisit anggaran dan peningkatan utang.

"Pandemi juga telah mendorong reformasi pajak di tingkat global. Contohnya dengan adanya pembicaraan mengenai pajak digital yang sudah mengarah ke arah konsensus," ucapnya.

Baca juga: Dasco harap RUU KUP tingkatkan penerimaan negara

Baca juga: DPR pastikan RUU KUP jadi prioritas pembahasan