Palu (ANTARA) -
Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) Sulawesi Tengah menyebutkan salah satu reptil endemik yaitu baning sulawesi atau kura-kura hutan terancam mengalami kepunahan karena semakin berkurang populasi di habitatnya.
"Saat ini populasi kura-kura hutan atau Indotestudo forstenii sudah sangat langka, sehingga dikategorikan terancam punah kehilangan habitat, sebagaimana juga dikatakan lembaga internasional konservasi alam atau International Union for Conservation of Nature (ICUN)," kata Direktur Yayasan Komiu Sulteng, Given di Palu, Rabu.
Ia memaparkan habitat baning sulawesi atau kura-kura darat yang tergolong hewan omnivora tersebar hidup di berbagai wilayah Lembah Palu yang didominasi tumbuhan kaktus.
Baca juga: LIPI diminta bantu kura-kura hutan Sulawesi jadi satwa dilindungi Reptil ini juga dapat hidup di hutan lembab serta dapat ditemukan di daerah kering.
Namun, dari penelitian dilakukan pihaknya, keberadaan satwa liar itu tidak lagi mudah ditemukan jejaknya, dan hingga kini pemerintah belum mengubah status baning sulawesi menjadi satwa dilindungi.
"Tujuan penelitian kami adalah untuk memberikan informasi kepada khalayak luas dan pihak-pihak terkait mengenai kondisi habitat dan populasi endemik Sulawesi ini, sehingga ada upaya tindak lanjut pemerintah menyikapi persoalan ini," ujar Given.
Ia mengemukakan dalam riset tersebut, pihaknya menghabiskan waktu kurang lebih enam bulan melakukan pemantauan terhadap spesies itu menggunakan metode eksplorasi dengan menetapkan 15 stasiun sebagai titik pengamatan.
Baca juga: Populasi kura-kura Sumatera kritis "Dari 15 stasiun yang kami tempatkan selama enam bulan pengamatan, reptil ini hanya dijumpai di stasiun 12, itu pun kami temukan hanya tiga ekor. Artinya tidak ada kelimpahan populasi di alam liar," ucap Given.
Lebih lanjut dijelaskannya, faktor utama ancaman terhadap habitat dan baning sulawesi akibat alih fungsi hutan dan lahan, selain itu aktivitas perburuan liar untuk kepentingan perdagangan membuat populasinya semakin memprihatinkan.
Dikatakannya, merujuk pada kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar periode tahun 2020, tercatat bahwa untuk kuota tangkap berjumlah mencapai 150 ekor dengan kuota pemanfaatan tujuh ekor dalam negeri dan 143 ekor ekspor dalam kondisi hidup.
"Seharusnya pemerintah mengambil langkah strategis menyikapi hal ini, karena Pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen hukum mengenai hal tersebut salah satunya Undang-Undang nomor 5 tahun 1994 tentang konservasi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai keanekaragaman hayati," kata Given.
Baca juga: Kura-kura leher ular di Rote Ndao sudah punah, sebut BKSDA NTT