Jakarta (ANTARA News) - Pernahkan Anda membuka almari pakaian dan menghitung jumlah batik di situ? Atau sekedar duduk di warung kopi dan menghitung jumlah orang berpakaian batik di depan Anda?

Semenjak diakuinya batik sebagai budaya tak benda warisan manusia Indonesia oleh UNESCO satu tahun lalu, diikuti penetapan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, antusiasme masyarakat Indonesia untuk mengenakan batik melonjak.

Jika 10 tahun lalu mungkin hanya orang tua yang mengenakan batik --itu pun sebagai kain panjang atau kemeja resmi-- maka sekarang remaja dan kalangan muda usia produktif pun makin nyaman beraktivitas berbusanakan batik.

Batik tak lagi muncul dalam acara-acara resmi yang membosankan, namun juga dalam gaya-gaya kasual nan `chic` serta segar.

Batik berevolusi dalam segala bentuk busana seiring dengan imajinasi dan kreativitas perancang busana ternama Indonesia.

Selain deretan rancangan adibusana yang mewah, batik juga tampil dalam berbagai desains santai yang jauh lebih sederhana dengan harga jauh lebih murah.

Dari Presiden, kalangan profesional, artis terkenal, anak-anak sekolah, hingga tukang becak di sudut jalan, mengenakannya karena batik tak mengenal status sosial.

Tapi euforia itu tampaknya tak cukup bagi seorang Edward Hutabarat. Perancang busana nasional ternama ini ingin mengajak masyarakat Indonesia tidak hanya mengenal lembar demi lembar batik secara fisik, namun juga mengetahui cerita di balik pembuatan batik.

"Seseorang boleh jadi memiliki puluhan koleksi busana batik dan mampu menyebutkan perbedaan setiap coraknya dengan fasih, namun tidak setiap orang mengetahui "backstage" (kisah di balik) setiap jenis batik," kata Edward dalam peluncuran kampanye "Cintaku Pada Batik Takkan Pernah Pudar" di Museum Nasional, Jakarta, Jumat.

Tampil dalam balutan kemeja batik lengan pendek bercorak biru dengan dasar putih, pria kelahiran Tarutung, Sumut, itu mengungkapkan kekhawatirannya apabila batik hanya menjadi tren sesaat yang hilang begitu bergeraknya sang waktu.

Oleh karena itu, ia menegaskan perlunya membangun kesadaran pada masyarakat Indonesia agar batik tidak hanya menjadi tren sesaat. "Agar identitas dan kecintaan batik di kehidupan modern ini tidak memudar," katanya.

Masyarakat Indonesia, katanya, mengemban tanggung jawab besar untuk melestarikan batik sebagai warisan budaya bangsa.

Untuk itu, dia menganjurkan setiap orang mengetahui "backstage" setiap jenis batik di Indonesia, minimal batik yang menjadi koleksinya.

"Jangan hanya batiknya, tetapi misal kuliner dari daerah itu, bagaimana kehidupan masyarakatnya, atau kesenian yang lain," kata pria yang mengaku telah melakukan perjalanan ke Cirebon, Pekalongan, Yogya, Solo dan sejumlah kota penghasil batik lainnya.

Dengan bangga dia menunjukkan sejumlah koleksi foto yang menjadi bukti bagian dari perjalanannya menemukan akar dari setiap lembar kain batik yang menjadi ciri khas daerah-daerah yang membuatnya.

"Batik tidak hanya sekedar wujud fisik busana khas Indonesia, melainkan terdapat proses panjang, cita rasa dan estetika yang dibalut dengan perasaan dalam pembuatannya," katanya.

Edward yang sore itu menampilkan beberapa koleksi terbarunya menegaskan bahwa setiap goresan canting dalam proses pembuatan batik melibatkan emosi dan memesankan banyak aspek kehidupan lingkungan sekitarnya.

Tradisi Indonesia

Kapan tepatnya orang Indonesia mengenal batik dan muasal kata batik menjadi perdebatan hingga sekarang sekalipun sejumlah pihak menyebutkan batik telah menjadi bagian kehidupan rakyat Indonesia sejak era Majapahit.

Namun sebuah foto keluarga RA Kartini yang berusia lebih dari 100 tahun lalu menunjukkan bahwa lebih dari 100 tahun lalu masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, telah sangat akrab dengan batik.

Di Indonesia, tradisi membatik diturunkan dari generasi ke generasi, dari ibu kepada anaknya, dari nenek kepada cucunya.

Oleh karena itu, pada zaman dahulu satu asal motif dapat dikenali dari keluarga tertentu dan menunjukkan status seseorang.

Menurut Edward, setidaknya perlu 20-25 tahun sampai seseorang diakui seniman batik ulung.

"Butuh 20-25 tahun untuk dapat menggambar seluruh jenis motif batik, karena batik lebih dari sekedar menggambar di atas kain, ini adalah pekerjaan yang dilakukan dengan hati," katanya.

Sejumlah kota di Pulau Jawa hingga Madura dikenal memiliki corak kain batik yang sangat khas.

Batik-batik dari pesisir --Pekalongan, Cirebon, Tuban-- memiliki corak dan warna yang lebih beragam karena interaksi warga setempat dengan para pendatang.

Pengaruh asing itu memperkaya kreasi batik, sampai-sampai di era penjajahan Eropa muncul motif bunga tulip dan kereta kuda dalam batik.

Sementara itu batik-batik dari Yogya dan Solo cenderung mengambil warna tanah dengan motif-motif rumit dan kecil.

Edward lalu berbagi tips merawat kain atau busana batik agar warnanya tetap cemerlang, tidak pudar dan tahan lama.

Ia menuturkan, untuk mencuci selembar kain batik koleksinya yang berusia sekitar 50-an tahun dibutuhkan perlakuan-perlakuan khusus.

"Saya menggunakan air panas dan menyiapkan empat ember air untuk mencuci satu lembar kain batik kuno," katanya, didampingi Senior Manager Product Development PT KAO Indonesia Seiji Kikuta.

Pria kelahiran 31 Agustus itu mengatakan satu ember berisi air panas sedangkan tiga ember yang lain berisi air dingin.

"Sabun pencuci dilarutkan dalam air panas, lalu kain direndam. Kemudian kain itu dipindahkan ke tiga ember yang lain bergantian," katanya.

Kemudian, kata dia, kain batik ditumpuk dengan handuk kering dan dijemur dengan menggunakan peralon (pipa plastik) atau bambu.

Sementara Kikuta yang sore itu mengenakan batik lengan panjang bewarna merah mengakubahwa KAO memahami kesulitan dan kekhawatiran konsumen Indonesia saat mencuci batik kesayangannya.

Dan itulah yang menginspirasi perusahaan global yang telah lebih dari 25 tahun berada di Indonesia itu untuk menawarkan inovasi baru; pencucian modern, praktis dan lembut untuk menjaga warna batik tidak pudar.

"Kami ingin memberikan sebuah inovasi khusus untuk masyarakat Indonesia," katanya dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Peluncuran kampanye "Cinta Pada Batik Takkan Pernah Pudar" itu ditutup peragaan busana 17 karya Edward yang keseluruhannya merupakan busana wanita.

Perancang yang telah menggeluti dunia busana selama 30 tahun itu kali ini menggunakan batik bercorak mega mendung dan pagi-sore dalam berbagai busana kasual, mulai dari jas pendek, rok bergaya babydoll, jaket panjang, gaun berpotongan lebar di bagian bawah dan gaun-gaun bermodel kemben.

Melalui peragaan ini, Edward agaknya ingin memberi teladan tentang bagaimana kita seharusnya memberlakukan batik, agar budaya bangsa yang telah diakui di kancah internasional ini tidak menjadi tren sesaat.(*)

G003/AR09