Telaah
Inmendagri tanpa istilah "darurat" tidak buat suasana mencekam
Oleh D.Dj. Kliwantoro
12 Juli 2021 15:03 WIB
Petugas memeriksa kelengkapan dokumen pengendara yang melintasi pos penyekatan mobilitas warga di Jalan Rengas Bandung, Kecamatan Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada masa PPKM darurat. ANTARA/Pradita Kurniawan Syah
Semarang (ANTARA) - Judul Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 20 Tahun 2021 tanpa frasa "pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat" tidak membuat suasana mencekam pada masa pandemik COVID-19.
Inmendagri ini berjudul "Perubahan Inmendagri No. 17/2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berbasis Mikro dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 di tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019".
Beda dengan judul Inmendagri No. 15/2021 yang menggunakan frasa "Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali". Inmendagri ini mengalami perubahan sampai tiga kali, terakhir Inmendagri No. 19/2021. Baik Inmendagri Nomor 16, Inmendagri Nomor 18, maupun Inmendagri Nomor 19 istilah "PPKM darurat" masih melekat.
Walau judul Inmendagri No. 20/2021 tanpa tema "darurat", di dalamnya terdapat empat frasa "PPKM darurat". Padahal, dalam Inmendagri No. 17/2021 tidak ada istilah "PPKM darurat".
Inmendagri No. 20/2021 yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian pada tanggal 9 Juli lalu ini ditujukan kepada delapan gubernur yang wilayah kabupaten/kotanya ditetapkan sesuai dengan kriteria level 4 pada kondisi darurat.
Mulai Senin (12/7) hingga 20 Juli 2021, 15 kabupaten/kota di delapan provinsi itu menerapkan PPKM darurat, yakni Kota Medan (Sumatera Utara); Kota Buktitinggi, Kota Padang, dan Kota Padang Panjang (Sumatera Barat); Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang (Kepulauan Riau).
Berikutnya, Kota Bandar Lampung (Lampung); Kota Pontianak dan Kota Singkawang (Kalimantan Barat); Kabupaten Berau, Kota Balikpapan, dan Kota Bontang (Kalimantan Timur); Kota Mataram (Nusa Tenggara Barat); Kabupaten Manokwari dan Kota Sorong (Papua Barat).
Inmendagri No. 20/2021 ini juga ditujukan kepada 18 gubernur yang wilayah kabupaten/kotanya ditetapkan sesuai dengan kriteria level 4 pada kondisi diperketat atau istilah "PPKM diperketat".
Kedelapan belas provinsi itu meliputi Aceh (Kota Banda Aceh); Sumatera Utara (Kota Sibolga); Sumatera Barat (Kota Solok); Riau (Kota Pekanbaru); Kepulauan Riau (Kabupaten Natuna dan Kabupaten Bintan); Jambi (Kota Jambi); Sumatera Selatan (Kota Lubuk Linggau dan Kota Palembang).
Selanjutnya, Provinsi Bengkulu (Kota Bengkulu); Lampung (Kota Metro); Kalimantan Tengah (Kabupaten Lamandau, Kabupaten Sukamara, dan Kota Palangkaraya); Kalimantan Utara (Kabupaten Bulungan); Sulawesi Utara (Kota Manado dan Kota Tomohon); Sulawesi Tengah (Kota Palu); dan Sulawesi Tenggara (Kota Kendari).
Empat provinsi lainnya, yakni Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Lembata dan Kabupaten Nagekeo); Maluku (Kabupaten Kepulauan Aru dan Kota Ambon); Papua (Kabupaten Boven Digoel dan Kota Jayapura); dan Papua Barat (Kabupaten Fak Fak, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Teluk Wondama).
Baca juga: Perubahan ketiga Inmendagri tunjukkan Pemerintah responsif
Terancam Dipecat
Dalam Diktum Ke-21 Inmendagri No. 17/2021 disebutkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri ini, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 67: Kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah;
e. menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
f. melaksanakan program strategis nasional; dan
g. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah.
Pasal 68:
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf f dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
(2) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara selama 3 bulan.
(3) Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah telah selesai menjalani pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Sementara itu, ketentuan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang termaktub dalam Pasal 78. Pasa ini terdiri atas dua ayat.
Ayat (1): Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
Ayat (2): Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah;
d. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b;
e. melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j;
f. melakukan perbuatan tercela;
g. diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah berdasarkan pembuktiandari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen; dan/atau
i. mendapatkan sanksi pemberhentian.
Jika mencermati pasal demi pasal tersebut, kepala daerah/wakil kepala daerah terancam diberhentikan alias dipecat bila tidak patuhi Inmendagri No. 17/2021.
Baca juga: Pakar: Inmendagri PPKM yang berubah-ubah tak repotkan kepala daerah
Inmendagri ini, menurut anggota Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah Zainal Abidin Petir, sangat memberatkan kepala daerah. Masalahnya, meski kepala daerah dituntut percepatan penyaluran bansos serta jaringan pengaman sosial berbasis APBD dan dana desa melalui program Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD), harus tetap dijalankan supaya tidak diberhentikan.
Apalagi, masyarakat yang daerahnya diterapkan PPKM darurat, aktivitasnya bakal terganggu. Khusus mereka yang mengandalkan warung makan untuk menghidupi keluarganya, harus ingat akan ketentuan bahwa pembeli tidak boleh makan di warungnya (dine-in) selama masa PPKM darurat, tetapi hanya menerima delivery/take away.
Apabila mereka tetap nekat, terancam sanksi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 212 sampai dengan Pasal 218; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; dan peraturan daerah, peraturan kepala daerah; serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
Mereka harus tegas terhadap pembeli. Jangan sampai gegara pembeli makan di tempat bernasib sama dengan seorang pengusaha bubur di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, yang divonis hakim dengan putusan denda Rp5 juta atau subsider 5 hari kurungan penjara pada hari Selasa (6/7).
Penegakan terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan PPKM ini juga tidak luput dari kalangan jurnalis. Mereka tentu menyajikan fakta dalam pemberitaan di media massa masing-masing, termasuk penggunaan frasa "PPKM darurat" (sesuai dengan Inmendagri No. 15 dan No. 20 Tahun 2021). Istilah ini tidak saja menghiasi media arus utama (mainstream media), tetapi juga media sosial.
Kendati demikian, dalam pemberitaan terkait dengan pandemi ini, seyogianya jurnalis mengedepankan narasi postif sekaligus membangkitkan optimistis masyarakat akan kemampuannya keluar dari belenggu ketakutan terhadap virus corona yang berpotensi pada penurunan imunitas.
Baca juga: Kemendagri: 43 daerah diberlakukan pengetatan seperti PPKM darurat
Inmendagri ini berjudul "Perubahan Inmendagri No. 17/2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berbasis Mikro dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 di tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019".
Beda dengan judul Inmendagri No. 15/2021 yang menggunakan frasa "Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali". Inmendagri ini mengalami perubahan sampai tiga kali, terakhir Inmendagri No. 19/2021. Baik Inmendagri Nomor 16, Inmendagri Nomor 18, maupun Inmendagri Nomor 19 istilah "PPKM darurat" masih melekat.
Walau judul Inmendagri No. 20/2021 tanpa tema "darurat", di dalamnya terdapat empat frasa "PPKM darurat". Padahal, dalam Inmendagri No. 17/2021 tidak ada istilah "PPKM darurat".
Inmendagri No. 20/2021 yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian pada tanggal 9 Juli lalu ini ditujukan kepada delapan gubernur yang wilayah kabupaten/kotanya ditetapkan sesuai dengan kriteria level 4 pada kondisi darurat.
Mulai Senin (12/7) hingga 20 Juli 2021, 15 kabupaten/kota di delapan provinsi itu menerapkan PPKM darurat, yakni Kota Medan (Sumatera Utara); Kota Buktitinggi, Kota Padang, dan Kota Padang Panjang (Sumatera Barat); Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang (Kepulauan Riau).
Berikutnya, Kota Bandar Lampung (Lampung); Kota Pontianak dan Kota Singkawang (Kalimantan Barat); Kabupaten Berau, Kota Balikpapan, dan Kota Bontang (Kalimantan Timur); Kota Mataram (Nusa Tenggara Barat); Kabupaten Manokwari dan Kota Sorong (Papua Barat).
Inmendagri No. 20/2021 ini juga ditujukan kepada 18 gubernur yang wilayah kabupaten/kotanya ditetapkan sesuai dengan kriteria level 4 pada kondisi diperketat atau istilah "PPKM diperketat".
Kedelapan belas provinsi itu meliputi Aceh (Kota Banda Aceh); Sumatera Utara (Kota Sibolga); Sumatera Barat (Kota Solok); Riau (Kota Pekanbaru); Kepulauan Riau (Kabupaten Natuna dan Kabupaten Bintan); Jambi (Kota Jambi); Sumatera Selatan (Kota Lubuk Linggau dan Kota Palembang).
Selanjutnya, Provinsi Bengkulu (Kota Bengkulu); Lampung (Kota Metro); Kalimantan Tengah (Kabupaten Lamandau, Kabupaten Sukamara, dan Kota Palangkaraya); Kalimantan Utara (Kabupaten Bulungan); Sulawesi Utara (Kota Manado dan Kota Tomohon); Sulawesi Tengah (Kota Palu); dan Sulawesi Tenggara (Kota Kendari).
Empat provinsi lainnya, yakni Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Lembata dan Kabupaten Nagekeo); Maluku (Kabupaten Kepulauan Aru dan Kota Ambon); Papua (Kabupaten Boven Digoel dan Kota Jayapura); dan Papua Barat (Kabupaten Fak Fak, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Teluk Wondama).
Baca juga: Perubahan ketiga Inmendagri tunjukkan Pemerintah responsif
Terancam Dipecat
Dalam Diktum Ke-21 Inmendagri No. 17/2021 disebutkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri ini, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 67: Kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah;
e. menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
f. melaksanakan program strategis nasional; dan
g. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah.
Pasal 68:
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf f dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
(2) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara selama 3 bulan.
(3) Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah telah selesai menjalani pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Sementara itu, ketentuan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang termaktub dalam Pasal 78. Pasa ini terdiri atas dua ayat.
Ayat (1): Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
Ayat (2): Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah;
d. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b;
e. melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j;
f. melakukan perbuatan tercela;
g. diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah berdasarkan pembuktiandari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen; dan/atau
i. mendapatkan sanksi pemberhentian.
Jika mencermati pasal demi pasal tersebut, kepala daerah/wakil kepala daerah terancam diberhentikan alias dipecat bila tidak patuhi Inmendagri No. 17/2021.
Baca juga: Pakar: Inmendagri PPKM yang berubah-ubah tak repotkan kepala daerah
Inmendagri ini, menurut anggota Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah Zainal Abidin Petir, sangat memberatkan kepala daerah. Masalahnya, meski kepala daerah dituntut percepatan penyaluran bansos serta jaringan pengaman sosial berbasis APBD dan dana desa melalui program Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD), harus tetap dijalankan supaya tidak diberhentikan.
Apalagi, masyarakat yang daerahnya diterapkan PPKM darurat, aktivitasnya bakal terganggu. Khusus mereka yang mengandalkan warung makan untuk menghidupi keluarganya, harus ingat akan ketentuan bahwa pembeli tidak boleh makan di warungnya (dine-in) selama masa PPKM darurat, tetapi hanya menerima delivery/take away.
Apabila mereka tetap nekat, terancam sanksi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 212 sampai dengan Pasal 218; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; dan peraturan daerah, peraturan kepala daerah; serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
Mereka harus tegas terhadap pembeli. Jangan sampai gegara pembeli makan di tempat bernasib sama dengan seorang pengusaha bubur di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, yang divonis hakim dengan putusan denda Rp5 juta atau subsider 5 hari kurungan penjara pada hari Selasa (6/7).
Penegakan terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan PPKM ini juga tidak luput dari kalangan jurnalis. Mereka tentu menyajikan fakta dalam pemberitaan di media massa masing-masing, termasuk penggunaan frasa "PPKM darurat" (sesuai dengan Inmendagri No. 15 dan No. 20 Tahun 2021). Istilah ini tidak saja menghiasi media arus utama (mainstream media), tetapi juga media sosial.
Kendati demikian, dalam pemberitaan terkait dengan pandemi ini, seyogianya jurnalis mengedepankan narasi postif sekaligus membangkitkan optimistis masyarakat akan kemampuannya keluar dari belenggu ketakutan terhadap virus corona yang berpotensi pada penurunan imunitas.
Baca juga: Kemendagri: 43 daerah diberlakukan pengetatan seperti PPKM darurat
Copyright © ANTARA 2021
Tags: