Jakarta(ANTARA News) - Oke-oke saja bila seorang juru taktik Negeri Kincir Angin berkoar bahwa sepak bola berpenampilan indah atau Jogo Bonito telah menemui ajal lantaran menghadapi serbuan sepak bola bergincu pragmatis. Dia Bert van Marwijk.

Seakan sedang menghembuskan jampi-jampi di atas bola nasib, pelatih Belanda itu meramalkan bahwa bahwa ketrampilan perorangan plus kerjasama ciamik wajib mengabdi kepada hitungan-hitungan gol dalam meraup kemenangan. Yang bermanfaat satu saja yakni target kemenangan di lapangan hijau.

Van Marwijk melupakan satu rumus klasik Latin bahwa apabila kita sendiri sehat, maka mudah untuk memberi nasehat kepada orang yang sakit (facile omnes, cum valemus, recta consilia aegrotis). Inikah pertanda awal dari kebangkrutan Tim Oranje saat meladeni skuad "Selecao Brasileiro" asuhan pelatih Carlos Dunga?

Marwijk nyatanya ditemani Dunga ketika memeluk dan memuja berhala sepak bola pragmatis, kata sejumlah pengamat tonil sepak bola.

Dua juru racik strategi itu mempelajari kesombongan di sekolah kerendahan hati. Diam-diam, keduanya meninggalkan pakem klasik bahwa sepak bola sejatinya perpaduan antara ketrampilan perorangan mengolah si kulit bundar dengan merajut kebersamaan dalam bingkai improvisasi pemain.

"Bagus jika kami dapat menang dengan sepak bola indah tetapi ketika menerima pekerjaan ini saya telah katakan bahwa kami juga harus belajar untuk menang dengan permainan buruk," kata Marwijk seperti dikutip dari BBC Sport.

Sementara Dunga menangkis kritik legenda sepak bola Belanda Johan Cruyff yang mengatakan Brasil tampil mengecewakan bahkan menjemukan bagi pecinta sepak bola dunia.

"Itu terserah dia. Cruyff bisa melihat pertandingan itu bila dia mau. Ada banyak pertandingan yang ditawarkan dan kebebasan bagi anda untuk menentukan pilihan anda sendiri. Tetapi, saya yakin Cruyff tidak akan membayar tiket, jadi dia bisa melihatnya bila dia mau," kata Dunga, seperti dikutip Football.co.uk.

Boleh jadi palu godam penilaian Cruyff merujuk kepada sosok Gerson, Tostao, Socrates, Falcao atau Zico. Bagi Dunga, masa lampau punya ceritanya sendiri meski ada pijar-pijar pembelajaran. Salah satunya bela rasa seperti ditunjukkan oleh penjaga gawang timnas Brasil Julio Cesar.

"Aku baru kemasukan dua gol pada dua pertandingan pertama. Dunga benar. Dia tidak menjiplak Mourinho. Bertahun-tahun Dunga menghabiskan kariernya sebagai bek," ucap Cesar. Intinya, Dunga bukan sosok yang mengidolakan permainan bertahan.

Brasil tetaplah Brasil yang akan menyajikan corak menyerang dengan mengembangkan umpan-umpan mengalir untuk meneror lawan. Inilah "futebol-arte" lahir dari rahimmasyarakat Brasil yang mendambakan pembebasan dari keterkungkungan ekonomi, sosial, politik dan religius. "Futebol-arte"sejatinya pembebasan.

Setelah memperoleh dukungan kesetiaan dari anak buah, Dunga melontarkan filosofi sepak bola Jogo Bonito.

"Setiap laga punya kesulitan dan keindahan sendiri-sendiri. Dua tim sama-sama menurunkan tim terbaiknya. Mereka mengambil resiko dengan mendribel bola terus menerus. Mereka terus bergerak mencari ruang. Mereka kreatif untuk meraih kemenangan. Ini yang disebut baik dan indah dalam sepak bola," kata Dunga.

Lagi-lagi ia mendefinisikan "yang baik dan yang indah" berupa untaian penghormatan atas kehangatan sambutan publik Afrika Selatan.

"Piala Dunia ini hajatan besar bagi Afrika. Ada sejumlah masalah yang belum tertangani oleh tuan rumah. Ini normal saja. Kami tidak akan melupakan kehangatan dari publik setempat. Ada senyum dan keramahan dari masyarakat di sini. Jika Anda terus dibayangi hal-hal negatif, maka yang akan datang hal-hal negatif pula," katanya.

Pernyataan Dunga tentu tidak serta merta jatuh dari langit. Dia paham betul bahwa Brasil dibesarkan oleh sejumlah nama, antara lain Pele dan Mario Zagallo.

Dari dua dedengkot sepak bola Brasil inilah, Dunga menimba pijar filosofis Jogo Bonito bahwa kemenangan hendaknya tidak mencoret sepak bola indah.

Proklamasinya: siapkan pemain dengan modal fisik dan beri asupan kebebasan berekspresi memadai serta hiburlah penonton agar kembali ke rumah dengan oleh-oleh keheningan sebagai bekal berziarah di dunia.

Dunga diingatkan oleh peristiwa yang dialami oleh Carlos Alberto Parreira pada 1994. Saat itu, fans Brasil mengecam penampilan skuad Selecao ketika melawan Italia. Penilaiannya bukan main-main: Brasil tampil tanpa kiblat sepak bola jelas. Brasil kehilangan jati diri.

"Jika terus berwacana dengan sepak bola indah, bukan tidak mungkin kami tidak memperoleh gelar lagi. Eropa terus berpesta, sementara kami terus berusaha mengakhiri penderitaan ini dengan meraih trofi Piala Dunia," kata Dunga.

Makna kebaruan bagi Tim Samba bukan sepak bola pragmatis, melainkan sepak bola efisien dan efektif dalam menyerang dan bertahan. Inilah "futebol-arte" menurut Dunga.

"Futebol-arte" berjangkar kepada sejarah. Belanda dan Brasil telah bertemu sembilan kali. Dari sejumlah laga itu Tim Oranye meraup dua kemenangan sementara Brasil tiga kali keluar sebagai pemenang dan empat lagi sisanya berakhir imbang.

Sepanjang sejarah Piala Dunia Belanda dan Brasil telah bertemu tiga kali. Tahun 1974 Belanda mengalahkan Brasil 2-0 di putaran kedua penyisihan grup. Pertemuan dua negara kembali terulang 20 tahun kemudian di Amerika Serikat tetapi kali ini Brasil berhasil membalas dengan melibas Belanda 3-2 di babak perempat final.

Di semi final Piala Dunia Prancis 1994, duel dua negara itu berlangsung dramatis karena harus berakhir dalam adu pinalti. Brazil lolos ke final setelah Kiper Taffarel berhasil menghalau dua tembakan dari Phillip Cocu dan Ronald De Boer.

Dan bagi Dunga, "futebol-arte" sejatinya merujuk kepada hikmat bahwa jangan melemparkan mutiara kepada kawanan babi.
(ANT/A024)