Jakarta (ANTARA) - Tidak ada pihak yang mengajukan kasasi sejak majelis hakim tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi 4 tahun penjara dari tadinya 10 tahun.

Putusan banding itu dikeluarkan pada pada 14 Juni 2021 sementara batas pengajuan kasasi ialah 14 hari setelah salinan dan berkas diberitahukan kepada terdakwa.

Pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) menerima salinan putusan pada 21 Juni 2021, artinya 14 hari dari tanggal tersebut, yakni 5 Juli 2021 menjadi batas akhir untuk mengajukan kasasi.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Pusat Riono Budisantoso mengatakan JPU tidak mengajukan permohonan kasasi karena tuntutan telah terpenuhi dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Tim JPU memang mengajukan tuntutan 4 tahun penjara terhadap Pinangki namun majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 8 Februari 2021 menjatuhkan vonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan, atau lebih berat dibanding tuntutan JPU.

Padahal baik tim JPU, majelis pengadilan Tipikor Jakarta dan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sama-sama setuju Pinangki Sirna Malasari terbukti dalam tiga dakwaan, yaitu pertama menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS dari terpidana kasus "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra; kedua melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp5.253.905.036; dan ketiga melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking dan Djoko Tjandra, yaitu menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra.

Pertimbangan banding

Ketua majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Muhammad Yusuf bersama hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar dan Renny Halida Ilham Malik menyebutkan sejumlah pertimbangan yang mendorong mereka mengurangi vonis Pinangki.

Dalam salinan putusan tertanggal 14 Juni 2021 disebutkan bahwa Pinangki telah menyesali perbuatannya.

"Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengiklaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa, oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagaiwarga masyarakat yang baik," demikian disebutkan dalam salinan tersebut.

Tidak ketinggalan alasan keluarga menjadi faktor yang disampaikan majelis hakim.

"Bahwa terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya," kata hakim.

Pinangki dalam nota pembelaannya (pleidoi) yang dibacakan pada 18 Januari 2021 mengatakan bahwa ia mohon diberikan pengampunan dan kesempatan untuk dapat segera kembali kepada keluarga dan menjalankan pekerjaan utama sebagai seorang ibu bagi anaknya, Bimasena.

Pertimbangan lain adalah Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan secara adil.

"Bahwa perbuatan terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini. Bahwa tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum selaku pemegang asas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat," tambah hakim.

Catatan pengadilan pertama

Berbeda dengan pertimbangan majelis tingkat banding, pengadilan tingkat pertama mempertimbangkan bahwa Pinangki adalah seorang aparat penegak hukum.

"Hal yang memberatkan, terdakwa adalah seorang aparat penegak hukum dengan jabatan sebagai jaksa; perbuatan terdakwa membantu Djoko Tjandra menghindari putusan Peninjauan Kembali (PK) tertanggal 11 Juni 2009 adalah dalam perkara 'cessie' Bank Bali sebesar Rp904 miliar yang saat itu belum dijalani," kata ketua majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta Ignatius Eko Purwanto.

Saat perbuatan pidana dilakukan, Pinangki memang merupakan jaksa aktif dengan jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung.

Apalagi hakim menilai bahwa Pinangki berbelit-belit, menyangkal dan menutup-nutupi keterlibatan pihak lain, tidak tidak mengakui perbuatannya dan sudah
menikmati hasil pidana yang dilakukannya.

Majelis hakim tingkat pertama juga menyebut ada sosok "king maker" yang ingin dipergunakan Pinangki untuk mengurus perkara hukum terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra.

Sosok "king maker" ditemukan dalam komunikasi menggunakan aplikasi whatsapp antara nomor Pinangki dengan Anita Kolopaking pada dan juga tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi Rahmat yang merupakan rekan Djoko Tjandra yang percakapan tersebut juga dibenarkan oleh Anita Kolopaking dan Rahmat sehingga membuktikan adanya sosok "king maker" tersebut.

Majelis berupaya menggali siapa sosok "king maker" dengan menanyakan kepada Pinangki, Anita Kolopaking, Rahmat dan Djoko Tjandra pada 19 November 2019 di The Exchange Kuala Lumpur, tapi mereka tetap tidak mau menjelaskannya.

Menurut hakim, Pinangki memberikan penjelasan kepada Djoko Tjandra mengenai langkah-langkah untuk masuk kembali ke Indonesia, yaitu 'bapak ditahan dulu sementara nanti kita urusi PK-nya nanti saya laporkan ke 'king maker'. Namun tidak dijelaskan siapa 'king maker', dengan tujuan agar pidana Djoko Tjandra berdasarkan PK tidak bisa dieksekusi sehingga saksi Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus dipidana.

Sosok "king maker" disampaikan Pinangki dan Anita saat membahas rencana aksi untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung agar pidana penjara 2 tahun yang dijatuhkan kepada terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra Putusan PK Nomor 12 pada 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.

Rencana aksi itu terdiri atas 10 tahap pelaksanaan dengan mencantumkan inisial "BR" yaitu Burhanuddin sebagai pejabat Kejaksaan Agung dan "HA" yaitu Hatta Ali selaku pejabat Mahkamah Agung yang biayanya mencapai 10 juta dolar AS.

Namun penjelasan soal "king maker" tidak termuat dalam salinan putusan banding Pinangki.

Kritik

Dalam akun media sosial Instagram Indonesia Corruption Watch (ICW), lembaga tersebut memberikan "Piagam hukum negara dagelan" kepada ST Burhanuddin selaku Jaksa Agung Republik Indonesia atas prestasi karena berhasil mempertahankan vonis ringan (hanya 4 tahun) terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Terdapat enam nilai indikator yang diberikan kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Enam indikator itu adalah hukuman ringan penegak hukum yang melanggar; penegak hukum melakukan pemufakatan jahat; menorehkan noktah hitam dalam upaya pemberantasan korupsi; tidak membongkar celah-celah koruptif; tutup mata atas dugaan keterlibatan pejabat tinggi; dan pembiaran atas penanganan perkara yang penuh konflik kepentingan.

Semua tindakan tersebut diberikan nilai A sehingga total nilainya adalah "excellent".

"Ternyata seluruh penanganan korupsi mulai dari suap, pencucian uang hingga pemufakatan jahat yang melibatkan penegak hukum, Jaksa Pinangki hanya dagelan semata," demikian disebutkan ICW dalam akun Instagram tersebut.

Menurut ICW, masih banyak celah yang bisa digali, tapi sepertinya tidak mau dibongkar, contohnya adalah dugaan keterlibatan pejabat tinggi di instansi penegak hukum yang menjamin Pinangki untuk dapat bertemu dengan Djoko S Tjandra.

Apakah memang cerita Pinangki benar-benar hanya sampai di sini?