Jakarta (ANTARA News) - Udara menjelang musim gugur di kota Nagoya, Jepang, mencapai 10 derajat celcius, cukup dingin bagi pendatang dari daerah tropis, namun terasa hangat karena ada suatu semangat.

Semangat menyaksikan perjalanan industri berbasis kebutuhan lokal menjadi pemain dunia yang tangguh, dalam museum yang terletak di 1-3d Noritake Shinmachi 4-chome, Nishi-ku, Nagoya.

"Toyota Commemorative Museum of Industry and Technology" atau museum peringatan industri dan teknologi Toyota, demikian nama tempat itu.

Sesuai dengan namanya, museum itu merupakan peringatan dari perjalanan panjang Toyota dari industri mesin tenun menjadi perusahaan otomotif kelas dunia, yang tidak hanya memimpin pasar di Indonesia, tapi juga di sejumlah negara produsen otomotif seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Museum itu seakan menjaga semangat sang pendiri Toyota, yaitu Sakichi Toyoda yang mendedikasikan hidupnya untuk terus belajar, melakukan penelitian, dan mengembangkan kreativitas, untuk menemukan alat yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

"Bahkan sejak usia 15 atau 16 tahun saya selalu ingin tahu apa yang dapat saya lakukan untuk kemasyalatan umat manusia," ujar Sakichi dalam jurnal penemuannya.

Keinginan yang kuat untuk membuat barang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia itulah, yang membawanya menjadi penemu mesin tenun otomotis pertama di dunia. Mesin yang diproduksi secara massal itu merupakan hasil penelitiannya yang terus menerus untuk meningkatkan kinerja mesin tenun putar (circular loom) pada 1906.

Mesin tenun putar tersebut menjadi salah satu simbol kebangkitan ilmu pengetahuan dan teknologi Jepang, karena pada era tersebut Jepang cenderung dikenal sebagai negara yang menduplikasi teknologi dari negara-negara Barat.

Sakichi menunjukkan penemuan berbasis teknologi yang berbeda. Jika mesin atau alat-alat yang dikembangkan negara-negara Barat kala itu berbasis teknologi yang boros energi seperti penggunaan mesin uap berbahan baku batu bara, ia menciptakan mesin tenun berbasis teknologi tenaga putar.

Dari situlah Sakichi menjadi terkenal dan mesin tenun putar -- hasil temuannya -- menjadi simbol kemampuan dan fokus Jepang membuat barang yang efisien dalam penggunaan energi, bahkan hingga kini.

Mesin tenun putar yang kini hanya ada satu-satunya di dunia itu menjadi ikon museum peringatan industri dan teknologi Toyota. Mesin itu berada di tengah lobi depan, sehingga siapapun yang datang akan langsung melihat hasil temuan sang maestro mesin tekstil Jepang.

Paviliun Utama
Museum Peringatan Industri dan Teknologi Toyota itu berdiri di atas lahan seluas 41.600 meter persegi dengan luas bangunan 27.100 meter.

Bangunan itu didominasi oleh dua paviliun utama yaitu paviliun mesin tekstil dan mobil, yang merupakan fokus pengembangan industri yang digarap Toyota.

Pada paviliun tekstil, para pengunjung akan melihat dasar teknologi pemintalan dan penenunan, serta perubahan teknologi mesin tekstil dari waktu ke waktu.

Di paviliun itu, sejumlah mesin tenun dan mesin pintal -- yang ditemukan Sakichi Toyoda -- dipajang dan didemonstrasikan. Alat-alat yang berusia puluhan tahun itu masih berfungsi dengan baik dan ditata secara apik dan bersih.

Tata pencahayaan yang baik juga membuat museum tersebut tidak terasa angker, bahkan nyaman untuk dikelilingi tanpa merasa bosan. Apalagi pengunjung bisa melihat langsung proses produksi benang dan kain dari alat pintal dan tenun yang paling sederhana dengan menggunakan bahan kayu yang diputar, sampai ke mesin otomatik yang terbuat dari besi baja yang digerakan oleh tenaga listrik.

Bagi masyarakat perkotaan yang belum pernah melihat mesin pintal dan tenun, akan merasakan pengalaman yang menarik, ketika segumpal kapas bisa langsung dipilin menjadi benang, hanya dengan menyambungkannya ke mesin pintal. Katun jepang yang putih, lembut dan ringan itu pun bisa dipegang.

Puas mempelajari perubahaan teknologi industri mesin pintal dan tenun, pengunjung langsung diarahkan masuk ke paviliun mobil yang menceritakan kisah awal keluarga Toyoda masuk ke industri otomotif, setelah sukses mengembangan industri mesin tekstil.

Setelah Sakichi wafat pada 30 Oktober 1930, anak tertuanya Kiichiro Toyoda melanjutkan industri mesin tekstil yang dibangun sang ayah dan mengembangkan industri otomotif dengan basis awal penguasaan teknologi mesin tekstil.

Pada paviliun mobil, pengunjung langsung berhadapan dengan duplikat pabrik pertama Toyoda untuk membuat prototipe mobil penumpang A1, yang masih menempa plat baja dengan tangan untuk badan mobil berpenumpang lima orang itu.

Keluarga Toyoda berhasil membuat mobil pertamanya pada 1935 berupa truk G1 dan pada 1936 meluncurkan kendaraan penumpang (sedan) pertama AA yang harganya 3.350 yen. Harga sedan pertama Toyota yang bersilinder 3.389 cc itu lebih murah 400 yen dibandingkan Ford dan GM yang berjaya saat itu.

Bagi pecinta otomotif dan teknologi mesin, museum itu menjadi tempat belajar yang lengkap karena pengunjung bisa melihat perkembangan teknologi dan model mobil yang diproduksi Toyota sejak 1935 sampai kini.

Pengunjung bisa bernostalgia dengan mobil Toyota yang pernah mereka miliki, karena pada paviliun mobil yang terdiri dari dua lantai tesebut dipamerkan berbagai jenis truk dan sedan lama yang dilansir Toyota seperti produk sedan fenomenalnya yaitu Corolla dan Crown, sampai mobil tercanggih seri hibrid.

Museum sendiri tidak hanya memaparkan dua bisnis inti keluarga Toyoda. Pengunjung juga bisa melihat pusat uji material, demonstrasi teknologi pengolahan logam baik tempa, cor, dan pemotongan, serta mesin press 600 ton.

Sarana bermain yang edukatif pun tersedia, yaitu Teknoland yang merupakan tempat bermain anak-anak sambil belajar prinsip mesin dan mekanismenya. Di situ ada tuas raksasa, mobil kayuh bertenaga manusia, berdiri melawan angin, lorong sesat bersensor, dan lain-lain.

Yang juga menarik, museum tersebut dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang jarang ditemui pada museum di Indonesia, seperti tempat parkir dan lift bagi penyandang cacat, loker, dan tempat merokok, serta mesin otomatis penjual minuman.

Bahkan penyandang cacat dan pengantarnya, serta pengunjung berusia di atas 65 tahun, mendapat fasilitas gratis biaya masuk. Padahal untuk pengunjung kategori umum dikenakan tiket masuk 200 yen (sekitar Rp20.000) sampai dengan 500 yen (sekitar Rp50.000) per orang.

Pesan Belajar
Akhir perjalanan mengitari museum yang sarat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut ditandai dengan demonstrasi robot yang mampu memainkan flute. Robot tersebut merupakan bagian dari unjuk gigi Toyota terhadap perkembangan teknologi terkini yang dimilikinya.

"Tidak ada namanya, kami menyebutnya Toyota Partner Robot, teman bagi manusia," ujar pemandu wisata ketika ditanya nama robot tersebut. Pesaing Toyota yaitu Honda juga memiliki robot yang telah mampu bergerak layaknya anak kecil yaitu Asimo.

Dari perjalanan mengitari museum tersebut nampak keinginan Sakichi Toyoda untuk terus menyalakan semangatnya dalam penciptaan, agar bisa menurun ke generasi muda, khususnya di Jepang, yang semakin lekat dengan teknologi canggih.

Dalam buku panduan memasuki museum tertulis, "Museum peringatan Toyota tersebut, kami dirikan dengan harapan besar agar generasi muda sebagai penentu masa depan dapat memahami, meskipun sedikit, tentang penting dan menariknya pembuatan barang. Selain itu, melakukan penelitian dan penciptaan yang juga penting dalam proses pembuatan barang tersebut."

Semangat pembuatan barang seakan menjadi perhatian yang ingin dikobarkan museum tersebut pada generasi muda, tidak hanya di Jepang, tapi juga masyarakat dunia. Hal itu terlihat dari selebaran panduan mengenai museum yang tidak hanya ditulis dalam bahasa Jepang, tapi juga Inggris, dan Indonesia.

Dalam jurnal penemuannya Sakichi Toyoda menulis, "Penting untuk dicatat bahwa penemuan adalah mengambil ide dan mewujudkannya dalam bentuk objek yang nyata, kemudian membuat sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya di dunia."
(R016/H-KWR)