Piala Eropa 2020
Hibrida gaya sepak bola empat semifinalis Euro
5 Juli 2021 02:42 WIB
Dari kiri ke kanan, bek Italia Giorgio Chiellini, striker Belgia Romelu Lukaku dan gelandang Italia Nicolo Barella berebut bola dalam pertandingan perempat final EURO 2020 antara Belgia dan Italia di Allianz Arena, Muenchen, 2 Juli 2021. ANTARA/AFP/Matthias Hangst.
Jakarta (ANTARA) - Empat tim menuju London untuk menjalani pekan terakhir Euro 2020 dan selain menjanjikan pertarungan sengit, dua laga semifinal nanti itu menghadirkan pertarungan antar gaya sepak bola berbeda dan pendekatan taktis yang menarik.
Sementara sepak bola memiliki ideolog-ideolognya sendiri, yang menegaskan bahwa pendekatan tertentu adalah cara yang tepat dalam memainkan pertandingan ini, 'keempat final' adalah bukti bahwa sebenarnya tidak ada formula tunggal untuk menggapai sukses.
Dengan cara yang berbeda satu sama lain, kuartet ini juga melukiskan bagaimana timnas-timnas melepaskan diri dari gaya khasnya yang merupakan stereotip yang melekat pada mereka dan muncul lagi dalam berbagai komentar seputar turnamen besar.
Baca juga: Mancini gembira Italia capai semifinal Euro 2020
Italia mengalami perubahan di bawah Roberto Mancini menjadi tim yang memainkan sepak bola berenergi tinggi, menekan, memburu serangan sebanyak mungkin begitu mereka memenangkan bola.
Klise malas tentang catenaccio yang merujuk kembali kepada gaya bertahan lebih dari separuh abad silam yang sejak lama dianggap ketinggalan zaman, benar-benar tidak relevan ketika menyaksikan tim Mancini.
Kecintaan Italia dalam bertahan masih terlihat dari penampilan Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci tetapi sistem ini dibangun atas dasar pendekatan energi tinggi bersama kedua bek sayap yang bermanuver tumpang tindih dan penggunaan secara cerdas saluran dalam di mana Lorenzo Insigne dan Federico Chiesa terhubung dengan sangat baik dengan penyerang tengah Ciro Immobile.
Ini adalah brand sepak bola cepat, positif dan menghibur yang didukung oleh para pemain Italia yang terlihat paling segar dan paling bugar dalam turnamen itu.
Baca juga: Luis Enrique sudah yakin Spanyol bakal menang adu penalti
Sebaliknya lawan mereka dalam semifinal Selasa itu, yakni Spanyol, lebih dekat kepada gaya khas nasional mereka, yang dibentuk selama era tiki-taka ketika mereka menjuarai Euro 2008 dan 2012 yang di antara keduanya terselip sukses Piala Dunia 2010.
Tetapi sementara penguasaan bola tetap menjadi inti filosofi sepakbola mereka, cara bermain mereka berubah besar di bawah era Luis Enrique.
Spanyol yang dia latih tetap memonopoli bola, termasuk mencatat rekor umpan selama turnamen ini dengan 917 umpan saat melawan Swedia sambil mempertahankan 85 persen penguasaan bola, tetapi tim dia lebih intens ketimbang pendahulu mereka dan lebih cepat bergerak maju, di mana sang pelatih acap berbicara tentang perlunya 'verticilidad' atau serangan langsung.
Dia memasang formasi 4-3-3 yang sama dengan yang dia gunakan saat menangani Barcelona dan lebih menyukai sistem lebih menyerang daripada mantan bos Vicente del Bosque yang terkenal karena bermain tanpa striker hampir sepanjang Euro 2012.
Pemain-pemain depan yang energik, pekerja keras, pertahanan yang kuat, adalah kunci pendekatan Luis Enrique, yang menjelaskan kegigihannya mempertahankan Alvaro Morata yang sering membuang peluang.
Baca juga: Harry Kane 'star of the match', tularkan kepercayaan diri Inggris
Sepak bola kreatif
Di benua itu, stereotip sepak bola Inggris selalu fokus kepada komitmen dan etos kerja serta gaya fisikalnya yang langsung, tetapi pandangan itu juga sudah ketinggalan zaman.
Memang, Three Lions memasuki turnamen ini dengan sederet gelandang serang yang terampil dan pemain sayap yang memiliki potensi memainkan sepak bola cepat yang mengalir dan kreatif.
Manajer Gareth Southgate pada dasarnya berhati-hati dan pragmatis dengan memainkan dua gelandang bertahan pada diri Declan Rice dan Kalvin Phillips di belakang trisula Raheem Sterling di kiri, Harry Kane di tengah dan sayap kanan yang bergantian diisi pemain berbeda.
Kemenangan 4-0 atas Ukraina dalam perempat final Minggu itu di Roma, memperlihatkan Inggris bermain bebas dan panik begitu memimpin dua gol. Akan menarik untuk dilihat apakah mereka akan mengadopsi pendekatan itu dalam semifinal Rabu nanti melawan Denmark atau jika kembali mempraktikkan pengendalian laga yang hati-hati yang mereka tunjukkan saat melawan Jerman pada babak sebelumnya.
Gaya Inggris mungkin paling tepat digambarkan sebagai perpaduan antara struktur pertahanan yang solid dan prioritas penguasaan bola di mana kreativitas sebagian besar diserahkan kepada tiga pemain depannya.
Baca juga: Denmark ke semifinal, Kasper Hjulmand kenang rapat pertama jelang Euro
Denmark selalu menciptakan sepak bola yang lebih progresif ketimbang tetangga-tetangganya di Skandinavia yang lebih sederhana dan tim Kasper Hjulmand berutang banyak kepada tiga pemain depan mereka atas keberhasilan yang mereka peroleh sejauh ini.
Martin Braithwaite menciptakan ruang yang dieksploitasi dengan baik oleh Mikkel Damsgaard dan Kasper Dolberg, sedangkan kedua bek sayap Jens Stryger Larsen dan Joakim Maehle maju untuk menambah serangan dari lebar lapangan.
Seperti halnya Inggris, ada soliditas di lini tengah di mana Pierre-Emile Hojbjerg dan Thomas Delaney menjadi jangkarnya.
Siapa pun yang lolos ke Minggu pekan depan, waspadalah terhadap siapa pun yang menyatakan hasil menunjukkan gaya sepak bola tertentu yang kini menjadi cara untuk diikuti.
Euro 2020 telah menunjukkan bahwa tidak ada model taktik yang dominan untuk meraih sukses, demikian analisis Reuters.
Baca juga: Arsene Wenger yakin Inggris ke final Euro 2020
Baca juga: Kjaer akui capai Wembley memang target Denmark sejak awal
Baca juga: Spanyol yang ompong atasi Swiss tapi krisis identitas berlanjut
Baca juga: Semifinal Euro 2020: Italia ladeni Spanyol, Inggris ditantang Denmark
Sementara sepak bola memiliki ideolog-ideolognya sendiri, yang menegaskan bahwa pendekatan tertentu adalah cara yang tepat dalam memainkan pertandingan ini, 'keempat final' adalah bukti bahwa sebenarnya tidak ada formula tunggal untuk menggapai sukses.
Dengan cara yang berbeda satu sama lain, kuartet ini juga melukiskan bagaimana timnas-timnas melepaskan diri dari gaya khasnya yang merupakan stereotip yang melekat pada mereka dan muncul lagi dalam berbagai komentar seputar turnamen besar.
Baca juga: Mancini gembira Italia capai semifinal Euro 2020
Italia mengalami perubahan di bawah Roberto Mancini menjadi tim yang memainkan sepak bola berenergi tinggi, menekan, memburu serangan sebanyak mungkin begitu mereka memenangkan bola.
Klise malas tentang catenaccio yang merujuk kembali kepada gaya bertahan lebih dari separuh abad silam yang sejak lama dianggap ketinggalan zaman, benar-benar tidak relevan ketika menyaksikan tim Mancini.
Kecintaan Italia dalam bertahan masih terlihat dari penampilan Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci tetapi sistem ini dibangun atas dasar pendekatan energi tinggi bersama kedua bek sayap yang bermanuver tumpang tindih dan penggunaan secara cerdas saluran dalam di mana Lorenzo Insigne dan Federico Chiesa terhubung dengan sangat baik dengan penyerang tengah Ciro Immobile.
Ini adalah brand sepak bola cepat, positif dan menghibur yang didukung oleh para pemain Italia yang terlihat paling segar dan paling bugar dalam turnamen itu.
Baca juga: Luis Enrique sudah yakin Spanyol bakal menang adu penalti
Sebaliknya lawan mereka dalam semifinal Selasa itu, yakni Spanyol, lebih dekat kepada gaya khas nasional mereka, yang dibentuk selama era tiki-taka ketika mereka menjuarai Euro 2008 dan 2012 yang di antara keduanya terselip sukses Piala Dunia 2010.
Tetapi sementara penguasaan bola tetap menjadi inti filosofi sepakbola mereka, cara bermain mereka berubah besar di bawah era Luis Enrique.
Spanyol yang dia latih tetap memonopoli bola, termasuk mencatat rekor umpan selama turnamen ini dengan 917 umpan saat melawan Swedia sambil mempertahankan 85 persen penguasaan bola, tetapi tim dia lebih intens ketimbang pendahulu mereka dan lebih cepat bergerak maju, di mana sang pelatih acap berbicara tentang perlunya 'verticilidad' atau serangan langsung.
Dia memasang formasi 4-3-3 yang sama dengan yang dia gunakan saat menangani Barcelona dan lebih menyukai sistem lebih menyerang daripada mantan bos Vicente del Bosque yang terkenal karena bermain tanpa striker hampir sepanjang Euro 2012.
Pemain-pemain depan yang energik, pekerja keras, pertahanan yang kuat, adalah kunci pendekatan Luis Enrique, yang menjelaskan kegigihannya mempertahankan Alvaro Morata yang sering membuang peluang.
Baca juga: Harry Kane 'star of the match', tularkan kepercayaan diri Inggris
Sepak bola kreatif
Di benua itu, stereotip sepak bola Inggris selalu fokus kepada komitmen dan etos kerja serta gaya fisikalnya yang langsung, tetapi pandangan itu juga sudah ketinggalan zaman.
Memang, Three Lions memasuki turnamen ini dengan sederet gelandang serang yang terampil dan pemain sayap yang memiliki potensi memainkan sepak bola cepat yang mengalir dan kreatif.
Manajer Gareth Southgate pada dasarnya berhati-hati dan pragmatis dengan memainkan dua gelandang bertahan pada diri Declan Rice dan Kalvin Phillips di belakang trisula Raheem Sterling di kiri, Harry Kane di tengah dan sayap kanan yang bergantian diisi pemain berbeda.
Kemenangan 4-0 atas Ukraina dalam perempat final Minggu itu di Roma, memperlihatkan Inggris bermain bebas dan panik begitu memimpin dua gol. Akan menarik untuk dilihat apakah mereka akan mengadopsi pendekatan itu dalam semifinal Rabu nanti melawan Denmark atau jika kembali mempraktikkan pengendalian laga yang hati-hati yang mereka tunjukkan saat melawan Jerman pada babak sebelumnya.
Gaya Inggris mungkin paling tepat digambarkan sebagai perpaduan antara struktur pertahanan yang solid dan prioritas penguasaan bola di mana kreativitas sebagian besar diserahkan kepada tiga pemain depannya.
Baca juga: Denmark ke semifinal, Kasper Hjulmand kenang rapat pertama jelang Euro
Denmark selalu menciptakan sepak bola yang lebih progresif ketimbang tetangga-tetangganya di Skandinavia yang lebih sederhana dan tim Kasper Hjulmand berutang banyak kepada tiga pemain depan mereka atas keberhasilan yang mereka peroleh sejauh ini.
Martin Braithwaite menciptakan ruang yang dieksploitasi dengan baik oleh Mikkel Damsgaard dan Kasper Dolberg, sedangkan kedua bek sayap Jens Stryger Larsen dan Joakim Maehle maju untuk menambah serangan dari lebar lapangan.
Seperti halnya Inggris, ada soliditas di lini tengah di mana Pierre-Emile Hojbjerg dan Thomas Delaney menjadi jangkarnya.
Siapa pun yang lolos ke Minggu pekan depan, waspadalah terhadap siapa pun yang menyatakan hasil menunjukkan gaya sepak bola tertentu yang kini menjadi cara untuk diikuti.
Euro 2020 telah menunjukkan bahwa tidak ada model taktik yang dominan untuk meraih sukses, demikian analisis Reuters.
Baca juga: Arsene Wenger yakin Inggris ke final Euro 2020
Baca juga: Kjaer akui capai Wembley memang target Denmark sejak awal
Baca juga: Spanyol yang ompong atasi Swiss tapi krisis identitas berlanjut
Baca juga: Semifinal Euro 2020: Italia ladeni Spanyol, Inggris ditantang Denmark
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Irwan Suhirwandi
Copyright © ANTARA 2021
Tags: