Jauh sebelum bisa menikmati kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji, bangsa Indonesia sempat merasakan susahnya melaksanakan rukun Islam kelima itu. Periode tersulit terjadi dalam kurun waktu 1945-1949, ketika Jepang menduduki Indonesia.

Akibat pendudukan paksa itu, pada periode tersebut sama sekali tidak ada aktivitas keberangkatan atau pun kepulangan jamaah haji. Kekosongan pun, praktis terjadi selama masa tersebut. Penyebabnya adalah kondisi ekonomi Indonesia sedang dalam masa keterpurukan akibat pendudukan Jepang.

Dalam situs resmi haji milik Departemen Agama, J.S reid menyebutkan bahwa laporan resmi keadaan di Jawa pada Januari 1945 menyebutkan kalau kondisi ekonomi benar-benar terpuruk.

Hal itu membuat pengapalan bahan makanan tidak mungkin dilakukan ke setiap kabupaten. Akibatnya, saat itu masing-masing kabupaten diharapkan untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.

Saat pendudukan Jepang belum berakhir, masyarakat semakin dihadapkan pada kesulitan ekonomi dan fisik yang terus menerus terjadi. Salah satu yang membuat masyarakat nelangsa karena pada saat itu sedang terjadi masa transisi penjajahan dari Belanda ke Jepang. Dengan masa transisi itu, rakyat yang sudah kesusahan karena penjajahan Belanda, semakin kesusahan lagi karena dijajah Jepang.

Yang makin mengkhawatirkan, meski saat itu upaya kemerdekaan terus diupayakan, namun kenyataannya masyarakat semakin terpuruk karena kekuatan Jepang yang membabibuta. Akibatnya, sudah bisa ditebak kalau keamanan menjadi kacau, kekerasan terjadi dimana-mana dan pemberontakan untuk melawan Jepang semakin meluas.

Di bawah pendudukan Jepang rakyat harus mengalami penderitaan yang belum pernah mereka rasakan. Kekurangan dan penderitaan semakin meningkat di daerah pedesaan, sehingga karena putus asa semakin banyak timbul perlawanan. Dalam kondisi tersebut, struktur negara yang sudah dideklarasikan merdeka pada 17 Agustus 1945, ternyata masih belum benar-benar merdeka.

Dengan belum kokohnya fondasi negara, maka tidak heran kalau saat itu tidak hanya
struktur negara saja, tapi juga hukum, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang
terkena dampaknya. Ibadah haji, sebagai bagian dari struktur tersebut, kemudian
semakin terkena imbas. Apalagi, saat itu memang perjalanan negara kesatuan RI masih tertatih-tatih.

Karena situasi terus berlangsung tidak menentu, ditambah saat itu muncul fatwa ulama yang menyatakan haram pergi berhaji saat situasi sedang berperang melawan
penjajah, kemudian masyarakat secara bersamaan langsung menyepakatinya.

Fatwa ulama yang beredar itu kemudian diperkuat dengan fatwa yang dikeluarkan Masyumi pimpinan KH Hasjim Asj'ari dan dituangkan dalam Maklumat Menteri Agama No 4 Tahun 1947.

Kemudian, Departemen Agama di bawah pimpinan Menteri Agama KH Masjkur mengeluarkan kebijakan untuk mengirim missi Haji I ke Tanah Suci di bawah pimpinan KH Moh Adnan.

Pengiriman misi itu dimaksudkan agar pemerintah Arab Saudi memahami penghentian
pengiriman jamaah haji. Dalam lawatan missi itu, diemban juga amanah untuk
menjelaskan kepada Arab Saudi bagaimana perjuangan bangsa Indonesia yang sedang berusaha menghentikan kolonialisasi Belanda. (***)