Pengamat apresiasi sikap bijak Presiden respons kritik mahasiswa
30 Juni 2021 22:16 WIB
Presiden RI Joko Widodo menanggapi kritik yang dilontarkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) kepada dirinya di Istana Merdeka, Jakarta, pada Selasa, (29/6/2021). ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/Lukas/am.
Jakarta (ANTARA) - Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII) Arfianto Purbolaksono mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo yang merespons kritik mahasiswa dengan bijak karena menunjukkan penghormatan terhadap kebebasan berekspresi.
"Hal itu dapat menjadi gambaran bahwa kebebasan berekspresi seharusnya dilindungi oleh Negara karena kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia," kata Arfianto dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Pernyatan itu dikatakan Arfianto terkait dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) melontarkan kritik kepada Presiden melalui unggahan di akun Twitter resmi @BEMUI_Official. Pada unggahan tersebut, BEM UI menyebut Presiden Joko Widodo sebagai The King of Lip Service.
Baca juga: Presiden tanggapi kritikan mahasiswa yang ditujukan kepadanya
Beberapa hari kemudian, BEM Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Ikut menyuarakan kritik terhadap Presiden Jokowi yang dianggap sering mengobral janji tetapi tidak ditepati.
Anto, sapaan akrab Arfianto, menilai kritik yang disampaikan mahasiswa merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan partisipasi mahasiswa dalam proses kebijakan.
"Seharusnya kritik ini dilihat sebagai bagian dari kepedulian dan evaluasi untuk kebijakan yang lebih baik dan konsisten. Suara mahasiswa jangan diintimidasi, apalagi hingga dibungkam, bahkan sampai terjadi peretasan," ujarnya.
Ia mengingatkan akan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Hak tersebut, menurut dia, mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima, serta berbagi informasi dan ide melalui media apa pun dan tanpa memandang batas negara.
Anto melihat kondisi di Indonesia saat ini sangat penting untuk menjamin kebebasan berekspresi karena merujuk laporan Freedom House tentang Kebebasan Global dari 2019 hingga 2020, status Indonesia merupakan negara yang bebas sebagian.
"Salah satu yang sering menjadi sumber masalah adalah implementasi dari UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)," katanya.
Baca juga: Anggota DPR: Kritik mahasiswa jangan dibawa ke proses hukum
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan lembaganya, dapat ditarik kesimpulan bahwa sejatinya UU ITE merupakan bagian dari komitmen negara dalam melindungi warga negara di ruang digital.
Namun, lanjut dia, dalam praktiknya UU tersebut malah menjadi ancaman terhadap kebebasan berekspresi, terutama di ruang digital.
Terkait dengan upaya revisi UU ITE, kata Anto , studi kebijakan TII mengajukan beberapa rekomendasi terkait dengan permasalahan dalam UU ITE dan kebebasan berekspresi.
"Pertama, arah politik hukum UU ITE harus dikembalikan ke tujuan awalnya, UU itu harus dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat dalam mengakses dan bertransaksi di internet. Alih-alih menjadi alat untuk menekan kebebasan berekspresi," ujarnya.
Kedua, pemberian pendidikan dan perspektif HAM terkait dengan penerapan UU ITE kepada polisi dapat dilakukan setelah DPR bersama Presiden merevisi pasal multitafsir dalam undang-undang tersebut.
Poin ketiga, meningkatkan literasi digital yang tidak hanya menargetkan kalangan pengguna internet pada umumnya, tetapi juga di lingkungan instansi pemerintah dan aparat penegak hukum.
Menurut dia, rekomendasi itu sangat penting untuk mendorong ekosistem yang kondusif untuk kebebasan berekspresi, termasuk kritik terhadap pemerintah di ruang digital.
Anto menilai peraturan perundang-undangan yang menjamin dan melindungi HAM serta literasi digital semua pihak akan berkontribusi menciptakan ruang digital dan hak digital serta kebebasan berekspresi yang sehat dan bertanggung jawab.
Baca juga: Ratusan mahasiswa serukan cara-cara konstitusional kritik pemerintah
"Hal itu dapat menjadi gambaran bahwa kebebasan berekspresi seharusnya dilindungi oleh Negara karena kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia," kata Arfianto dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Pernyatan itu dikatakan Arfianto terkait dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) melontarkan kritik kepada Presiden melalui unggahan di akun Twitter resmi @BEMUI_Official. Pada unggahan tersebut, BEM UI menyebut Presiden Joko Widodo sebagai The King of Lip Service.
Baca juga: Presiden tanggapi kritikan mahasiswa yang ditujukan kepadanya
Beberapa hari kemudian, BEM Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Ikut menyuarakan kritik terhadap Presiden Jokowi yang dianggap sering mengobral janji tetapi tidak ditepati.
Anto, sapaan akrab Arfianto, menilai kritik yang disampaikan mahasiswa merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan partisipasi mahasiswa dalam proses kebijakan.
"Seharusnya kritik ini dilihat sebagai bagian dari kepedulian dan evaluasi untuk kebijakan yang lebih baik dan konsisten. Suara mahasiswa jangan diintimidasi, apalagi hingga dibungkam, bahkan sampai terjadi peretasan," ujarnya.
Ia mengingatkan akan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Hak tersebut, menurut dia, mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima, serta berbagi informasi dan ide melalui media apa pun dan tanpa memandang batas negara.
Anto melihat kondisi di Indonesia saat ini sangat penting untuk menjamin kebebasan berekspresi karena merujuk laporan Freedom House tentang Kebebasan Global dari 2019 hingga 2020, status Indonesia merupakan negara yang bebas sebagian.
"Salah satu yang sering menjadi sumber masalah adalah implementasi dari UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)," katanya.
Baca juga: Anggota DPR: Kritik mahasiswa jangan dibawa ke proses hukum
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan lembaganya, dapat ditarik kesimpulan bahwa sejatinya UU ITE merupakan bagian dari komitmen negara dalam melindungi warga negara di ruang digital.
Namun, lanjut dia, dalam praktiknya UU tersebut malah menjadi ancaman terhadap kebebasan berekspresi, terutama di ruang digital.
Terkait dengan upaya revisi UU ITE, kata Anto , studi kebijakan TII mengajukan beberapa rekomendasi terkait dengan permasalahan dalam UU ITE dan kebebasan berekspresi.
"Pertama, arah politik hukum UU ITE harus dikembalikan ke tujuan awalnya, UU itu harus dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat dalam mengakses dan bertransaksi di internet. Alih-alih menjadi alat untuk menekan kebebasan berekspresi," ujarnya.
Kedua, pemberian pendidikan dan perspektif HAM terkait dengan penerapan UU ITE kepada polisi dapat dilakukan setelah DPR bersama Presiden merevisi pasal multitafsir dalam undang-undang tersebut.
Poin ketiga, meningkatkan literasi digital yang tidak hanya menargetkan kalangan pengguna internet pada umumnya, tetapi juga di lingkungan instansi pemerintah dan aparat penegak hukum.
Menurut dia, rekomendasi itu sangat penting untuk mendorong ekosistem yang kondusif untuk kebebasan berekspresi, termasuk kritik terhadap pemerintah di ruang digital.
Anto menilai peraturan perundang-undangan yang menjamin dan melindungi HAM serta literasi digital semua pihak akan berkontribusi menciptakan ruang digital dan hak digital serta kebebasan berekspresi yang sehat dan bertanggung jawab.
Baca juga: Ratusan mahasiswa serukan cara-cara konstitusional kritik pemerintah
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: