Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Syamsurizal menilai politisasi birokrasi yang terjadi pemerintahan daerah sangat mengganggu sistem merit atau kebijakan yang berdasarkan kualifikasi kompetensi dan kinerja secara adil, wajar, dan non-diskriminasi di lingkungan pemerintah.

"Politisasi birokrasi itu sangat mengganggu penerapan sistem merit, misalnya seorang yang belum layak diangkat dalam jabatan tertentu namun karena berpihak pada kepala daerah yang menang Pilkada, lalu karirnya melejit," kata Syamsurizal kepada Antara usai memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) RUU ASN, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Dia mengatakan manajemen kepegawaian pemerintahan harus diarahkan pada terwujudnya profesionalitas ASN namun ketika saat dan setelah pilkada, justru terjadi gangguan terhadap netralitas ASN.

Baca juga: Wakil Ketua Komisi II setuju KASN dihapus dalam revisi UU ASN

Karena itu menurut dia harus diatur dalam revisi UU ASN agar ASN tidak dapat dipolitisasi yang dilakukan calon kepada daerah karena akan mengganggu netralitas kerja ASN sebagai pelayan publik.

"Sistem meritokrasi tidak boleh ditinggalkan untuk mendapatkan pegawai yang profesional, dengan memperhatikan ASN yang terbaik maka itu yang diangkat. Namun itu terganggu dengan pilkada (calon kepala daerah) melakukan politisasi birokrasi," ujarnya.

Syamsurizal menyarankan untuk menghilangkan politisasi birokrasi, pengangkatan atau pemberhentian pejabat Eselon I dan II di pemerintah daerah diserahkan kepada pemerintah pusat.

Hal itu menurut dia, karena berdasarkan masukan dari para pakar, pihak yang terkena politisasi birokrasi adalah oleh kepala daerah terpilih adalah pejabat Eselon II dan II yang dianggap lawan politiknya ketika pilkada.

Sebelumnya, dalam RDPU tersebut, Ketua Umum Korps Pegawai RI (Korpri) Zudan Arif Fakrulloh menilai revisi UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) harus bisa menyehatkan ekosistem birokrasi sehingga bebas dari intervensi politik.

"Revisi ini perlu dibangun ekosistem birokrasi yang sehat. Kami di ASN ingin bekerja profesional namun ekosistem di luar terjadi kriminalisasi birokrasi, tekanan politik. Saya pernah jadi Pj Gubernur Gorontalo, terasa betul ASN di sana terbelah," kata Zudan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja revisi UU ASN Komisi II DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri itu mengatakan, bagi para ASN khususnya di daerah, karirnya tergantung pada "ritual pesta demokrasi" bernama Pilkada yang berlangsung tiap lima tahun sekali.

Karena menurut dia, sering terjadi pencopotan jabatan ASN setelah pelaksanaan pilkada sehingga masalah politisasi birokrasi menjadi masalah serius yang harus diatasi agar tata kelola dan penempatan jabatan ASN menjadi lebih baik.

"Misalnya di Kepulauan Sula, Kepala Dinas dicopot oleh bupati baru, ini terjadi kemacetan birokrasi karena kepala daerah langsung copot dengan melanggar aturan. Ritual lima tahunan pilkada itu menyebabkan denyut nadi birokrasi jadi terganggu, yang seharusnya profesional dan berkarir tenang namun terganggu," ujarnya.

Zudan menyarankan agar mulai dipikirkan dibentuk otonomi birokrasi agar birokrasi secara bertahap dipisahkan dengan "political appointee".

Panja revisi UU ASN menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang para pakar yaitu peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, dan Ketua Umum Korpri Zudan Arif Fakrulloh, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.


Baca juga: Muhaimin dukung wacana kebijakan penerapan PPKM Darurat
Baca juga: Anggota DPR berharap revisi UU LLAJ tingkatkan pelayanan lalu lintas