Ahli: Penyakit skoliosis dapat diobati tanpa resiko kelumpuhan
26 Juni 2021 12:08 WIB
Dr. Phedy, Sp.OT (K) Spine yang merupakan Dokter Spesialis Orthopedi dan Traumatologi, Konsultan Tulang Belakang Eka Hospital BSD
Tangerang (ANTARA) - Ahli Orthopedi dan Traumatologi, Konsultan Tulang Belakang Eka Hospital BSD Kota Tangerang Selatan, Banten dr Phedy, Sp.OT (K) Spine, mengatakan penyakit skoliosis atau kondisi tulang belakang yang tidak normal (melengkung seperti huruf C atau S) dapat diobati dengan tindakan operasi tanpa risiko kelumpuhan atau kematian.
Dalam keterangan resmi yang diterima di Tangerang, Sabtu, Phedy menjelaskan seseorang yang mengidap skoliosis dapat diobati dengan beberapa cara, seperti observasi untuk skoliosis ringan, karena tidak memerlukan pengobatan khusus. Pasien dianjurkan melakukan latihan untuk melenturkan dan menguatkan otot punggung.
Baca juga: Milenial rentan alami skoliosis
Selain itu, melalui metode orthosis (brace) yang diindikasikan pada skoliosis dengan kelengkungan antara 35 – 45 derajat dan tulang yang belum matang pertumbuhannya. Pada kondisi tulang yang sudah matang atau kelengkungan lebih dari 45 derajat, brace tidak banyak berguna dan melalui tindakan operasi bila kelengkungan skoliosis lebih dari 45 derajat.
Operasi skoliosis adalah operasi besar pada tulang belakang dengan risiko kematian dan kelumpuhan. "Namun, dengan perkembangan teknologi, risiko kematian dan kelumpuhan dapat ditekan, bahkan mendekati nol persen," katanya.
Ia mengatakan saat ini telah tersedia alat navigasi dan robotic spine yang berfungsi memandu dokter bedah dalam memasukkan screw pada saat operasi. Akurasi navigasi dan robotik dalam memasukkan screw diklaim mencapai 99.9 persen.
Selain itu, alat navigasi dan robotik ini memungkinkan operasi skoliosis dengan teknik minimal invasif atau operasi dengan luka sayatan yang lebih kecil dan risiko pendarahan yang lebih sedikit, sehingga dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah. Saat ini juga telah tersedia alat monitoring saraf yang dapat memantau kondisi saraf selama operasi berlangsung.
Phedy menjelaskan penyakit skoliosis dapat disembuhkan tergantung tingkat keparahan dan gejala yang dirasakan oleh penderita. Sehingga, penting untuk melakukan pengecekan sedari dini, sehingga tindakan akan dilakukan secara cepat dan tepat.
Baca juga: Pakar: Skoliosis terjadi pada masa pertumbuhan
"Hubungi dokter spesialis tulang bila anda merasakan gejala skoliosis," ujar ahli dalam menangani masalah tulang belakang, seperti nyeri punggung, leher, syaraf terjepit, infeksi tulang belakang dan kelainan bentuk tulang belakang baik dengan teknik konvensional maupun teknik minimal invasif
Ia menerangkan ada empat faktor yang dapat menyebabkan skoliosis, salah satunya faktor genetik yang disebut Skoliosis Idiopatik. Jenis skoliosis ini paling banyak diderita. Berbeda dengan kondisi yang disebabkan karena kerusakan bantalan dan tulang belakang yang aus seiring pertambahan usia yang disebut Skoliosis Degeneratif.
Kondisi rusaknya jaringan saraf dan otot yang menyebabkan kelengkungan tulang belakang disebut dengan Skoliosis Neuromuscular. Sedangkan, Skoliosis Congenital terjadi karena pertumbuhan tulang belakang yang tidak normal ketika masih di dalam kandungan.
Ada beberapa gejala yang dapat dilihat, sehingga seseorang dapat didiagnosa mengidap skoliosis, misalnya tubuh penderita condong ke satu sisi, salah satu bahu lebih tinggi, salah satu tulang belikat lebih menonjol atau tinggi pinggang yang tidak rata.
Penyakit ini tidak dapat disembuhkan tanpa bantuan dokter spesialis tulang, karena dokter akan melakukan pengecekan lebih detail dan rinci dari gejala yang dialami oleh pasien serta pemeriksaan secara fisik, seperti meminta pasien berdiri, membungkuk dan melihat seberapa tingkat keparahan postur tubuh yang tidak simetris.
Baca juga: Perempuan lebih rentan terkena skoliosis
Baca juga: Dokter: Faktor genetik dapat tingkatkan risiko skoliosis
Selain itu, dokter akan memeriksa apakah ada otot dan saraf yang lemah, kaku, atau adanya refleks yang tidak normal. "Melalui pemeriksaan fisik yang didukung oleh foto rontgen dan CT scan akan terlihat secara jelas lengkungan tulang belakang yang diderita," ujarnya.
Biasanya skoliosis ditemukan pada usia pubertas, yaitu usia 10 sampai 18 tahun dan secara umum wanita lebih rentan mengidap skoliosis dibandingkan pria.
Dalam keterangan resmi yang diterima di Tangerang, Sabtu, Phedy menjelaskan seseorang yang mengidap skoliosis dapat diobati dengan beberapa cara, seperti observasi untuk skoliosis ringan, karena tidak memerlukan pengobatan khusus. Pasien dianjurkan melakukan latihan untuk melenturkan dan menguatkan otot punggung.
Baca juga: Milenial rentan alami skoliosis
Selain itu, melalui metode orthosis (brace) yang diindikasikan pada skoliosis dengan kelengkungan antara 35 – 45 derajat dan tulang yang belum matang pertumbuhannya. Pada kondisi tulang yang sudah matang atau kelengkungan lebih dari 45 derajat, brace tidak banyak berguna dan melalui tindakan operasi bila kelengkungan skoliosis lebih dari 45 derajat.
Operasi skoliosis adalah operasi besar pada tulang belakang dengan risiko kematian dan kelumpuhan. "Namun, dengan perkembangan teknologi, risiko kematian dan kelumpuhan dapat ditekan, bahkan mendekati nol persen," katanya.
Ia mengatakan saat ini telah tersedia alat navigasi dan robotic spine yang berfungsi memandu dokter bedah dalam memasukkan screw pada saat operasi. Akurasi navigasi dan robotik dalam memasukkan screw diklaim mencapai 99.9 persen.
Selain itu, alat navigasi dan robotik ini memungkinkan operasi skoliosis dengan teknik minimal invasif atau operasi dengan luka sayatan yang lebih kecil dan risiko pendarahan yang lebih sedikit, sehingga dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah. Saat ini juga telah tersedia alat monitoring saraf yang dapat memantau kondisi saraf selama operasi berlangsung.
Phedy menjelaskan penyakit skoliosis dapat disembuhkan tergantung tingkat keparahan dan gejala yang dirasakan oleh penderita. Sehingga, penting untuk melakukan pengecekan sedari dini, sehingga tindakan akan dilakukan secara cepat dan tepat.
Baca juga: Pakar: Skoliosis terjadi pada masa pertumbuhan
"Hubungi dokter spesialis tulang bila anda merasakan gejala skoliosis," ujar ahli dalam menangani masalah tulang belakang, seperti nyeri punggung, leher, syaraf terjepit, infeksi tulang belakang dan kelainan bentuk tulang belakang baik dengan teknik konvensional maupun teknik minimal invasif
Ia menerangkan ada empat faktor yang dapat menyebabkan skoliosis, salah satunya faktor genetik yang disebut Skoliosis Idiopatik. Jenis skoliosis ini paling banyak diderita. Berbeda dengan kondisi yang disebabkan karena kerusakan bantalan dan tulang belakang yang aus seiring pertambahan usia yang disebut Skoliosis Degeneratif.
Kondisi rusaknya jaringan saraf dan otot yang menyebabkan kelengkungan tulang belakang disebut dengan Skoliosis Neuromuscular. Sedangkan, Skoliosis Congenital terjadi karena pertumbuhan tulang belakang yang tidak normal ketika masih di dalam kandungan.
Ada beberapa gejala yang dapat dilihat, sehingga seseorang dapat didiagnosa mengidap skoliosis, misalnya tubuh penderita condong ke satu sisi, salah satu bahu lebih tinggi, salah satu tulang belikat lebih menonjol atau tinggi pinggang yang tidak rata.
Penyakit ini tidak dapat disembuhkan tanpa bantuan dokter spesialis tulang, karena dokter akan melakukan pengecekan lebih detail dan rinci dari gejala yang dialami oleh pasien serta pemeriksaan secara fisik, seperti meminta pasien berdiri, membungkuk dan melihat seberapa tingkat keparahan postur tubuh yang tidak simetris.
Baca juga: Perempuan lebih rentan terkena skoliosis
Baca juga: Dokter: Faktor genetik dapat tingkatkan risiko skoliosis
Selain itu, dokter akan memeriksa apakah ada otot dan saraf yang lemah, kaku, atau adanya refleks yang tidak normal. "Melalui pemeriksaan fisik yang didukung oleh foto rontgen dan CT scan akan terlihat secara jelas lengkungan tulang belakang yang diderita," ujarnya.
Biasanya skoliosis ditemukan pada usia pubertas, yaitu usia 10 sampai 18 tahun dan secara umum wanita lebih rentan mengidap skoliosis dibandingkan pria.
Pewarta: Achmad Irfan
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021
Tags: