"Piaman", demikian orang Minangkabau menyebut daerah yang meliputi Kota dan Kabupaten Padangpariaman, di pesisir Sumatera Barat itu, dimana sepanjang jalan senantiasa tercium bebauan mumbang kelapa dan bekas pembakaran pada tungku.

Memasuki Ramadhan 1431 Hijriyah, kepulan asap bekas pembakaran lainnya ikut menyebar di sepanjang jalan, orang-orang malamang --membuat lemang dari beras ketan di bambu seruas.

Sementara di pandam pekuburan makin ramai oleh orang-orang yang mendoakan kaum terdahulu mereka. Semua masih sama seperti tahun lalu dalam menyambut Ramadhan.

Kecuali satu, tiada lagi sering terdengar senandung azan yang bersahut-sahutan dari kampung ke kampung, dari nagari ke nagari, hanya azan samar terdengar entah dari kampung mana.

"Kami harus sembahyang agak jauah painyo, sekitar tigo kilo (kami harus shalat dengan pergi jauh berjarak tiga kilometer)," kata Ajo Kuniang (45), seorang warga Nagari Tandikek, Kecamatan Patamuan, Padangpariaman, Minggu (8/8).

Tempat tinggal Ajo Kuniang adalah lokasi terparah dilanda gempa 7,9 skala richter disusul longsor pada 30 September 2009. Dari Simpang Pasar Sicincin di Jalan Raya Padang - Bukittinggi, sekitar 7 kilometer sampai ke kampungnya.

Hampir seluruh musala dan masjid di daerah itu rusak parah akibat gempa dan hanya menyisakan puing dan kenangan.

Rumah ibadah yang masih bisa dipakai pun tidak beratap. Dengan peralatan dan bahan apa adanya, warga membuat dinding-dinding dari kayu kelapa dan atap dari daun rumbia.

Musala itulah yang harus dicapai Ajo Kuniang saat akan menunaikan shalat berjamaah, dan itu berarti akan dijadikannya tempat untuk menunaikan shalat tarawih Ramadhan nanti.

"Tu baa lai, lah nasib kami mode tu, dijalani je jo hati ikhlas (mau bagaimana lagi, sudah nasib kami, dijalani saja dengan hati ikhlas)," tutur Ajo Kuniang sambil menaikan sarungnya yang terlilit di leher kemudian membetulkan letak kopiahnya.

Sebenarnya, warga korban gempa telah berinisiatif membangun rumah-rumah mereka ketimbang menunggu bantuan datang, karena tempat berteduh menurut mereka amatlah penting.

Namun kini kebutuhan lainnya semakin mendesak, salah satunya sarana ibadah. Masyarakat sudah mengalami bagaimana melewati Idul Adha tahun lalu di antara reruntuhan masjid dan musala.

Kini kondisi itu kembali dirasakan warga. Bustanul (30), warga Korong Sungai Durian, Kecamatan Patamuan mengatakan, warga di kampungnya selama ini beribadah hanya menggunakan fasilitas ala kadarnya.

"Ada surau yang belum diperbaiki namun pondasinya masih ada, itulah yang kami gunakan untuk shalat, dengan menggunakan tikar sebagai dinding," ungkap Bustanul.

Dengan kondisi demikian, katanya, warga tetap khusuk beribadah, walaupun terkadang suara azan tidak terdengar karena memakai alat penyeru seadanya, bahkan tak jarang di sejumlah lokasi ada yang beribadah dengan hanya beratapkan langit.

Menyusuri jalan dari Simpang Koto Mambang menuju Pauah Kamba, melintasi Sungai Sariak dan Pariaman, masih banyak sisa-sisa rumah ibadah yang terbengkalai.

Karena niat ingin tetap menjalankan ibadah, ada pula musala yang ditopang dengan balok-balok kayu di sisi-sisinya, karena musala masih bisa dipakai namun sudah retak-retak di dindingnya.

Sementara itu, sejumlah masjid dan surau darurat kini juga telah dipersiapkan warga setempat dalam menyambut Ramadhan. Masyarakat ada yang melakukan swadaya untuk menyiapkan rumah ibadah.

Swadaya masyarakat di antaranya dilakukan oleh masyarakat Korong Kabun, Nagari Pauh Kamba, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padangpariaman, yang menargetkan masjid mereka rampung sebelum memasuki Ramadhan.

Swadaya itu dilakukan atas inisiatif dari masyarakat melalui pengumpulan sumbangan, untuk membangun kembali masjid, kata Pengurus Masjid Jihad Pauh Kamba, Muhammad Nur.

Tanpa menunggu bantuan datang, masyarakat setempat hingga kini hampir menyelesaikan bangunan masjid dan siap digunakan untuk beribadah saat Ramadhan .

Ajak warga ikhlas
Data Pemerintah Kabupaten Padangpariaman, kabupatan itu kekurangan rumah ibadah dalam menjalani bulan Ramadhan 1431H karena sekitar 700-an masjid dan mushala yang rusak akibat gempa belum dapat berfungsi.

Kepala Kementerian Agama Kabupaten Padangpariaman, Drs.H.Taslim Mukhtar di Padangpariaman, mengungkapkan, dari jumlah itu belum sampai separuh yang terfasilitasi oleh Pemda untuk mendapat bantuan dari donatur.

Rumah ibadah yang rusak akibat gempa masih sebagian kecil yang sudah dibangun kembali dari 748 masjid dan musala yang rusak berat, 225 rusak sedang, dan 15 rusak ringan.

Taslim mengimbau masyarakat menghadapi Ramadhan 1431H dengan hati ikhlas karena hal ini dirasakan hampir seluruh masyarakat di Padangpariaman.

Meskipun dalam keadaaan prihatin, katanya, masyarakat hendaknya tidak mengurangi kualitas ibadah yang dijalankan Ramadhan.

Rumah ibadah yang telah dibangun dari bantuan donatur di antaranya Masjid Luhur Syekh Burhanuddin dan Masjid Raya di Ulakan, Musala Ar-Raudah Sikayan di Kecamatan Lubuk Alung, dan Musala Ar-Raudah Bayur di Nagari Campago, Kecamatan V Koto Kampung Dalam.

Masjid Raya Syekh Burhanuddin merupakan masjid cagar budaya yang menjadi prioritas untuk perbaikan, walaupun bentuk aslinya telah hancur dan akan dibuatkan tiruannya.

Ajakan ikhlas juga diserukan Bupati Padangpariaman, Muslim Kasim, yang sebentar lagi akan dilantik menjadi Wakil Gubernur Sumbar itu, dengan mengajak masyarakat Padangpariaman membersihkan niat dan ikhlas menjalani Ramadhan 1431H.

Walau sarana ibadah kurang, Muslim berharap warga Padangpariaman termasuk orang-orang yang memakmurkan masjid, tidak hanya saat bulan suci Ramadan saja, tapi juga bulan-bulan lain yang akan datang.

Kerugian fisik akibat kerusakan seluruh bangunan di Padangpariaman diperkirakan sebesar Rp 8,7 triliun. Kerugian materil ini, apabila dipulihkan melalui APBD Padangpariaman yang rata-rata Rp600 miliar setahun, membutuhkan waktu 14 tahun dengan catatan pegawai dan anggota dewan tidak menerima gaji.

Dengan kondisi demikian, Pemkab Padangpariaman tentunya sangat berharap bantuan donatur untuk kembali membangun sarana-prasarana yang rusak berat, terutama rumah ibadah.
(ANT-208/B010)