Jakarta (ANTARA News) - Perdebatan alot pembatasan penggunaan bahan bakar bersubsidi belum selesai. Bukan hanya kalangan DPR yang saling berdebat, bukan pula hanya asosiasi-asosiasi kendaraan bermotor yang keberatan, tetapi juga kalangan masyarakat yang pro dan kontra terhadap rencana tersebut.
Meskipun pemerintah belum mengambil keputusan final atas rencana tersebut, seperti biasa, kepanikan masyarakat terlanjur terjadi. Tidak lama setelah berita menyebar, antrian panjang di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jalan S Parman, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, terlihat.
Salah seorang warga Banjarmasin yang ikut mengantri saat itu, Andi Hanafi mengungkapkan kekhawatirannya apabila pembatasan pembelian bahan bakar bensin bersubsidi untuk sepeda motor dibatasi hanya dua liter.
Pembatasan tersebut, menurut dia, selain merepotkan juga akan memicu kenaikan harga di kios bahan bakar eceran, yang bagi masyarakat di daerah pelosok keberadaannya masih sangat diandalkan.
Seorang warga Jakarta, Aditya BP, yang dimintai komentar soal kendaraan yang mungkin ia pilih jika hendak mengganti mobil lamanya dengan yang baru mengatakan akan memilih kendaraan dengan cc sedang, di bawah 2.000 cc. Alasan utama yang ia sampaikan karena mobil ber-cc besar akan lebih boros BBM.
Sedangkan Agus Salim, seorang wartawan dalam sebuah perbincangan santai mengungkapkan hal serupa, lebih senang memilih mobil berkapasitas mesin lebih kecil ketimbang mobil-mobil ber-cc besar yang dianggap lebih boros konsumsi bahan bakar, sehingga tidak perlu merogoh kantong lebih dalam untuk membeli bensin.
Jika ditilik lagi alasan utama pemerintah untuk membatasi penggunaan bahan bakar bersubsidi tersebut yakni untuk menekan anggaran subsidi bahan bakar yang diprediksi akan semakin membengkak.
Estimasi BPH Migas untuk konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi pada 2010 pun menyebutkan akan membengkak mencapai 40,1 juta hingga 40,5 juta kiloliter (KL).
Menteri ESDM Darwin Saleh menegaskan pembatasan penggunaan bahan bakar bersubsidi memang sudah mendesak dilakukan karena konsumsi pada awal tahun sudah sembilan hingga 10 persen melebihi kuota APBN Perubahan 2010 pada periode yang sama.
Darwin menambahkan bahwa strategi penghematan penggunaan bahan bakar subsidi yang akan dilakukan pemerintah adalah sosialisasi penghematan BBM, perubahan peraturan, kewajiban pemakaian bahan bakar nabati (BBN), konversi minyak tanah ke elpiji, pengawasan ketat, penerapan sistem distribusi tertutup, dan peningkatan koordinasi.
Jika disimak pernyataan dari warga Banjarmasin Andi Hanafi, warga Jakarta Aditya BP, dan Menteri ESDM Darwin Saleh maka alasan utama yang disampaikan adalah ekonomi.
Butuh contoh
Dalam kesepakatan Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP 15) yang dilaksanakan pertengahan Desember 2009 di Kopenhagen, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan komitmennya bahwa Indonesia akan menurunkan emisi karbon hingga 26 persen secara bertahap hingga 2020.
Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar mengungkapkan bahwa komitmen tersebut merupakan langkah proaktif Indonesia dalam upaya penurunan emisi karbon. Hal ini diharapkan akan memicu negara maju untuk berkomitmen dan mendorong negara berkembang lain untuk secara sukarela menurunkan emisi.
Komitmen politik tersebut tampaknya belum sepenuhnya berlanjut pada keputusan-keputusan yang benar-benar diambil atas dasar upaya pengurangan emisi karbon. Salah satunya wacana pengurangan penggunaan BBM bersubsidi yang alasan utamanya bukan untuk mengurangi emisi karbon tetapi untuk menyelamatkan APBN.
Seorang ibu rumah tangga asal Depok, Vemmy Widianti berkomentar cukup kritis terhadap keputusan pemerintah dalam memilih mobil dinas bagi menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua. Ia pun bertanya-tanya mengapa pemerintah tidak memilih mobil ramah lingkungan yang menggunakan energi alternatif seperti hibrid.
Menurut dia, jika harga kendaraan dinas menteri yang digunakan saat ini sama mahalnya dengan harga kendaraan hibrid ramah lingkungan, maka akan lebih baik jika pemerintah memilih membeli mobil berenergi alternatif tersebut. Hal tersebut, lanjutnya, dapat menjadi contoh sekaligus upaya menunjukkan komitmen kepada masyarakat bahwa pemerintah serius dalam mengurangi emisi karbon.
Masalah pencemaran udara sebenarnya telah bertahun-tahun coba dikendalikan. Upaya pengendalian pada dasarnya menjadi kewajiban bagi setiap orang seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Program pemerintah yang sudah dikenal lama untuk menekan semakin tingginya emisi karbon di udara dari sumber bergerak maupun tidak bergerak adalah Program Langit Biru, yang kemudian dikukuhkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 1996 tentang Langit Biru.
Tidak sampai di situ, pemerintah pada tahun 2002 mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2002 yang menyebutkan Program Langit Biru menjadi bagian kegiatan dari program Kementerian Lingkungan Hidup dalam mengembangkan sistem penataan terhadap sumber pencemaran emisi sumber bergerak.
Namun sudahkah Keppres tersebut berdampak luas terhadap pengurangan emisi di udara, lalu berapa banyak kendaraan bermotor yang telah teruji emisi di Indonesia?
Produsen otomotif di dunia berlomba-lomba menciptakan kendaraan ramah lingkungan dan semakin hari semakin mencapai kesempurnaan, dimana air pun telah berhasil menjadi alternatif bahan bakar pengganti fosil. Kemampuan mesin pun disempurnakan sehingga konsumsi bahan bakar semakin sedikit, yang artinya emisi karbon sebagai hasil pembakaran juga akan semakin sedikit.
Namun akankah semua masyarakat di tanah air akan begitu saja memilih kendaraan roda empat yang menggunakan energi alternatif tersebut yang notabene lebih mahal, ataupun secara jeli dan sadar memilih mobil yang mengkonsumsi lebih sedikit bahan bakar karena khawatir akan peningkatan emisi karbon di udara ketimbang dompet yang terkuras?
Tidak lah mudah mengubah pemahaman masyarakat akan pentingnya memikirkan kondisi ekologi demi keberlanjutan lingkungan tempat mahluk hidup tinggal di tengah kondisi kemiskinan yang masih dominan. Diperlukan waktu yang panjang dan kesabaran untuk membuka mata masyarakat akan ancaman emisi karbon bagi tempat hidup manusia.
Tidak cukup satu kampanye dari satu instansi untuk membuat langit biru. Kampanye besar dari pemerintah yang memiliki kuasa untuk membuat kebijakan lah yang dapat mengiringi kesungguhan produsen otomotif menciptakan produk-produk yang ekonomis sekaligus mampu menjaga ekologi.
(V002/B010)
Pilih Mana, Ekonomi Atau Ekologi?
19 Juli 2010 11:29 WIB
Toyota FT-EV II (ANTARA/Toyota)
Pewarta: Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010
Tags: