Selain Barrack Hussein Obama, dan sebelumnya Mbah Maridjan, tokoh yang banyak dibahas publik belakangan ini adalah Gayus.

Gayus yang dimaksud tak lain Gayus Halomoan Tambunan, anak muda pegawai pajak yang tersohor karena variasi kejahatan pajaknya yang kini tengah menjalani proses hukum.

Tiba-tiba wajahnya tersembul di antara sejumlah penonton sebuah pertandingan tenis internasional di Bali dan kebetulan wartawan Kompas memotretnya. Lantas, media massa pun heboh mengulasnya.

Walaupun para polisi petugas sel tempat Gayus ditahan telah menjadi tersangka lepasnya Gayus karena disuap, tetapi Gayusnya sendiri tak langsung mengakui, bahwa yang dimaksud adalah fotonya.

Obama dan Gayus sama-sama anak muda yang mengagumkan. Obama simbol kesuksesan yang diraihnya dengan proses yang mengesankan, rasional, terukur, justru karena integritas dan kompetensinya.

Gayus juga mengagumkan. Di usianya yang sedemikian muda, birokrat pajak itu sudah kaya sekali. Meskipun, suksesnya dilakukan melalui jalan pintas, dengan memanfaatkan sistem dan budaya korup.

Pegawai negeri se-Indonesia yang gajinya pas-pasan, dibuat terpukau sekaligus tersentak, alangkah kagetnya mereka melihat kekayaan Gayus yang luar biasa itu. Pesugihan macam apa yang dimiliki Gayus, sehingga ia seperti telah menyimpan gudang harta? Apakah ia sejenis Ali Baba dalam kisah 1001 malam?

Praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan dalam proses hukum Gayus. Tapi masyarakat terlanjur dihadapkan pada contoh yang buruk dalam proses penegakannya. Walaupun, belum ada bukti resmi apakah ia memang Gayus atau bukan, kelihatannya publik sudah terlalu pandai untuk dibohongi.

Para pakar sudah banyak angkat bicara menyetujui keaslian foto itu. Pakar telematika yang juga anggota DPR Roy Suryo juga sudah angkat bicara. Secara teknologis, katanya, foto mirip Gayus tersebut, seratus persen adalah memang Gayus yang asli.

***
Orang-orang iseng di warung yang memperbincangkan fenomena Gayus, lantas merembet-rembet pada pertanyaan-pertanyaan lain. Apa sekolahnya Gayus dulu mengajarkan korupsi, setidaknya teknis memanipulasi pajak dan hal-ihwal suap? Kalau iya, sekolah macam apa ia?

Tentu saja pertanyaan itu bisa dianggap keterlaluan. Mana ada sekolah di Indonesia ini yang mengajarkan siswanya, mahasiswanya, agar kelak menjadi koruptor alias manipulator alias maling negara, perampok uang rakyat? Tidak adalah itu.

Jadi, pihak-pihak yang terkait dengan sekolahnya Gayus, tidak usah reaksioner. Sebab, kita semua paham, yang membuat Gayus berperilaku demikian, karena banyak faktor, dari konteks moralitas internal hingga lebarnya peluang korupsi sistemik.

Pertanyaan-pertanyaan sinis juga terlempar ke aparat penegak hukum kita. Ke polisi, misalnya, muncul pertanyaan nakal berapa prosesntase jumlah polisi baik ketimbang yang nakal? Pertanyaan yang sama juga ditimpakan ke para jaksa, pengacara, hakim, dan kita semua.

O, sungguh ironis nian negeriku ini. Betapa kasus Gayus telah membuat kita, tak saja para penegak hukum, malu. Kita tertawa sinis dengan rambut palsunya, dengan kreativitas teman-teman di media online, yang kreatif mengadakan semacam lomba foto mirip Gayus.

Seorang anggota DPR mengatakan bahwa kasus Gayus termasuk bencana besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Sedih nian, bencana moral bertubi-tubi tertontonkan di depan mata. Tak mustahil kiranya, apabila penjara-penjara kita mempertemukan para tervonis koruptor, teroris, hingga pelaku video porno.

***
Entah, sejauhmana Anda terkesan dengan rambut palsu dalam foto mirip Gayus itu. Rambut itu agak sedikit panjang dengan belahan dua. Sekilas seperti blangkon, penutup kepala khas priyayi Jawa. Selain rambut palsu, pria itu juga menyamarkan diri dengan berkacamata.

Pepatah kita menyatakan, “serapi-rapinya ikan busuk dibungkus rapat, baunya ke mana-mana juga”. Pepatah itu, seolah klop dengan secanggih-canggihnya Gayus berambut palsu, toh ketahuan juga.

Penyamaran itu mengingatkan kita pada Radovan Karadzic. Bekas Presiden Bosnia-Herzegovina, yang dinyatakan sebagai penjahat perang itu akhirnya tertangkap pada 2008, setelah berhasil bertahun-tahun lamanya “bersembunyi dalam terang”. Radovan menyamar sebagai dukun pengobatan alternatif dengan memelihara janggut dan berpakaian pendeta dengan nama Dragan Dabic.

Begitu pandainya dia menyamar, tak seorang pun mengenalinya sebagai Karadzic. Konon, penyamarannya terbongkar tak lepas dari laporan anak buahnya.

***
Kata orang Gayus yang berambut palsu dan berkacamata itu mirip-mirip penyanyi Afgan. Ada juga yang mengatakan mirip-mirip Thukul Arwana. Namun terlepas dari satir lucu-lucu di internet, yang jelas kita tertawa dan tersenyum dalam kesedihan, sesungguhnya.

Sepakatlah kiranya, manakala terungkapnya peristiwa ini hendaknya dijadikan momentum agar aparat penegak hukum harus lebih sungguh-sungguh lagi dalam menjalankan tugas mulianya. Bukan justru main-main dengan api yang bisa membakar, tak hanya citra korpsnya, tetapi jauh daripada itu membakar keadilan.

Ada juga yang mengatakan, ditampilkannya Gayus, di antara tokoh-tokoh publik yang jadi bintang media lain, adalah bagian dari skenario Tuhan agar kita sebagai bangsa terus belajar. Ekstrim-ekstrim dimunculkan, ada Gayus ada pula almarhum Mbah Maridjan. Ada pula Obama. Ada pula yang lain-lain.

Perwatakan-perwatakan manusia Indonesia tergelar sedemikian rupa: menurut Anda mana yang lebih dominan saat ini? Apakah perwatakan yang baik-baik pada akhirnya yang akan menang, seperti dalam kisah pewayangan?

Perlukah lembaga-lembaga jajak pendapat melakukan survei, berapa jumlah manusia dengan perwatakan Gayus dibandingkan dengan perwatakan Maridjan? Kalau perlu bagaimana metodenya dan siapa sponsornya? (***)

*M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta