Saya tak tahu bahasa bakunya apa: “sandal”, “sendal”, “srendal”, atau “srandal”. Tapi dalam tulisan ini, yang saya pakai adalah “sandal”. Tetapi kalaulah yang benar salah satu dari “sandal”, “srendal”, atau “srandal”, maklumilah saya.

Di tempat saya, di pedalaman Jawa Tengah sana, soto diucapkan “saoto”. Di tempat lain soto disebut “sroto”. Di Makassar, soto diucapkan “cotto”. Konsekuensinya, kalau Anda menyantap soto, maka Anda sedang “nyoto”, “nyroto”, atau “nyotto”.

O sungguh kaya bahasa kita. Abdurrahman bisa disulap menjadi “Ngabdulrokhman” di Jawa, Beddu Amang di Makassar. Hasan menjadi “Kasan” di Jawa dan Acan di tempat lain. Sungguh, lidah kita itu demikian fleksibel.

Sehabis sembahyang subuh di Terminal Tirtonadi Solo, seorang bapak-bapak berteriak-teriak, “Srandalku ilang, srandalku ilang”. O, ternyata sandal diucapkan “srandal”. Bayangkan kalau hidung bapak-bapak itu sedang pilek, “srandal” bisa didengar yang lain “brandal”.

***
Pada suatu Jumat, saya kehabisan sandal. Semua sandal di kantor saya sudah dipakai yang lebih dulu memakai. Kecuali, tiba-tiba saya menemukan sepasang sandal yang masih tersimpan rapi di sebuah lemari.

Seorang teman mengatakan bahwa itu sandal almarhum. Ada kolega saya yang sudah meninggal dan tentu meninggalkan pula segudang kenangan. Dan, lumayan, sandalnya masih bisa dipakai ke masjid, Jumat itu.

Berjalan kakilah saya dengan teman kantor ke masjid siang itu. Jaraknya sekitar empat ratus meter. Masjid di seberang jalan itu sudah cukup ramai dipadati jamaah sembahyang Jumat.

Sebagaimana masjid-masjid perkotaan di Indonesia, setiap Jumat ramai dengan mereka yang memanfaatkan kehadiran jamaah: berjualan apa saja, atau ada pula peminta-minta, biasanya perempuan-perempuan tua dan anak-anak.

Cukup sedih melihat pemandangan demikian, semrawut plus wajah kemiskinan tersembul. Itulah salah satu gambaran realitas sosial umat Islam Indonesia, yang memerlukan jawaban tersendiri panjang lebar.

Keberadaan lembaga-lembaga zakat, infak dan sedekah, saya kira menjadi demikian penting di sini: mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan potensi sumberdaya umat secara elegan dan efektif.

***
Langkah saya menjadi ringan dengan sandal itu. Alhamdulillah. Sebagai rasa syukur, saya membaca Al Fatihah, wabil khusus ke pemilik sandal itu, saya tujukan kepada almarhum.

Masyaallah, pikir saya, sandal saja telah menjadi pintu bagi kiriman doa kepada sang pemilik. Kemanfaatannya telah menggerakkan sang pemakainya berdoa.

Usai berdoa, saya membayangkan almarhum tersenyum. Saya teringat semasa hidupnya, kami selalu bercanda.

Kisah sandal ini saya beberkan di sebuah bedah buku, kebetulan saya jadi moderatornya. Sang penulis sudah sangat senior, seorang sesepuh kami yang berusaha mewariskan ilmunya lewat sebuah buku yang diluncurkan kecil-kecilan saja siang itu. Ulasan dan dokumen-dokumen dalam buku itu, bagi segmen pembaca sasarannya, jelas sangat bermanfaat.

Dimaksudkan untuk membesarkan hati beliau, saya mengatakan bahwa sandal saja dapat menjadi amal jariyah ketika ia dimanfaatkan oleh orang lain terutama kalau sang pemakai memakainya untuk jalan kebaikan, apalagi buku.

Buku akan dibaca orang banyak, dimana mereka mendapat ilmu atau setidaknya pencerahan dan inspirasi untuk berbuat baik, dipakai untuk mengubah hal-hal yang perlu diperbaiki sebesar-besarnya untuk kemaslahatan masyarakat luas.

Al Ghazali, misalnya, lebih dikenal karena buku-bukunya, bukan sandal-sandalnya. Sandal Al Ghazali mungkin dipakai oleh orang lain ketika beliau meninggal. Tetapi usia pakai sandal itu terbatas. Tiga tahun kemudian, sang sandal boleh jadi sudah jebol dan tidak dapat dipakai lagi.

Tetapi, bagaimana dengan buku-bukunya? Lebih awet dan “abadi” bukan?

***
Sebelum kembali ke soal buku, soal sandal ini saya temukan kisah unik Mahatma Gandhi di buku komik alias graphic novel “Chicken Soup for the Soul” yang digambar oleh komikus Korea Kim Donghwa.

Judulnya “Sepasang Sandal”. Ceritanya begini. Kereta api butut itu sudah berjalan pelan, dan ketika makin cepat, seorang pria di salah satu pintu itu berteriak, “lebih cepat sedikit” sambil mengulurkan tangan ke seseorang dengan pakaian khas dan kacamata bulat, yang sedang terengah-engah berlari.

Orang dengan pakaian aneh itu tak lain adalah Mahatma Gandhi. Dengan pakaian yang seperti baju Ihram itu, cukup ribet juga ketika berlari. Ketika tangan Gandhi bertemu dengan tangan temannya yang sudah di pintu kereta, musibah terjadi, bahwa sandal di kaki kanannya tersangkut dan terlempar.

Sehingga ketika sudah di atas kereta, sandal sang pejuang kemerdekaan India itu tinggal satu, di kaki kirinya. Gandhi berjongkok. Ia ambil sandalnya dan segera melemparnya keluar. Temen-temannya terheran-heran, dan menanyakan mengapa Gandhi melakukan itu.

Gandhi menjawab, “Yah, bayangkan saja orang yang mengambil sandal tadi. Orang itu tidak akan bisa menggunakan jika hanya ada satu sandal. Namun sekarang, sepasang sandal itu akan berguna bagi siapa pun yang mengambil dan memakainya”.

Kita tahu bahwa, Gandhi tidak hanya meninggalkan sepasang sandal dalam kisah di atas. Ia juga meninggalkan buku, dan catatan banyak orang tentang dirinya dan pandangan-pandangannya yang dibukukan.

***
Dalam sebuah acara bincang-bincang tokoh dengan seorang kiai kondang, sang kiai mengatakan, “Menulislah. Ikatlah ilmu dengan tulisan, dengan buku”. Sang kiai gemar menulis hikmah-hikmah dalam bentuk puisi-puisi, esai-esai, bahkan buku-buku serius. Sang kiai itu adalah Gus Mus alias KH Mustofa Bisri dari Rembang.

Sangat masuk akal, dan suatu imbauan yang mendasar dan penting. Metode pewarisan ilmu yang paling efektif adalah dengan menuliskannya. Sebagai agama peradaban, semangat Islam dalam pewarisan ilmu itu dapat dirangkum dalam satu kata : luar biasa.

Pada zamannya, para intelektualnya adalah orang-orang pembelajar, orang-orang terbuka. Para pencari ilmu itu tekun sekali, dan tak lupa meninggalkan catatan-catatan penting untuk generasi setelahnya.

Ibnu Ruyd, Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Al Ghazali, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun dan Ibnu-Ibnu yang lain (semoga termasuk juga kolega saya Ibnu Hamad, profesor muda ilmu komunikasi Universitas Indonesia), merupakan sosok-sosok ilmuwan lintas peradaban.

Peradaban Barat sekarang ini, catat Mas Profesor Ahmad Suhelmi, senior saya di UI, tak lepas dari sumbangan peradaban Islam juga, selain tentu saja antara lain Yudeo-Kristiani. Buku pernah menjadi penanda peradaban Islam. Tercatat juga kemunduran peradaban Islam terjadi tatkala perpustakaan-perpustakaan dan buku-buku dihancurkan oleh serangan Barbar.

Harus kita akui bahwa Barat kemudian lebih maju pada kenyataannya dalam merawat peradaban buku. Tapi kini, kita tengah berada dalam era digital yang revolusioner.

Silakan saja Anda membayangkan, seandainya semua buku zaman peradaban buku Baghdad itu sempat dipindai sedemikian rupa, di-PDF-kan, dan di-online-kan di internet. Sedap bukan?

Saya sendiri sebagai pengguna buku sangat tertolong oleh revolusi e-book. Seorang teman di Harvard atau di Kyoto sering saya mintai tolong mencarikan buku-buku yang telah dipindai diringkas dalam format digital dan bisa di-email-kan kapan saja, dengan kecepatan waktu sampai dalam hitungan detik.

Di Indonesia ini, budaya buku masih terbatas. Perpustakaan kita masih banyak yang konvensional. Saya paling jengah mengunjungi perpustakaan dengan sistem katalog, bukan swalayan. Soalnya, kita tidak tahu barangnya. Judulnya bagus, kalau wujudnya belum kita lihat, setelah diambilkan petugas, bisa-bisa bukan buku yang kita harapkan.

Dan kini perpustakaan itu cukup ada di laptop kita masing-masing –atau piranti e-book lain yang makin lama makin canggih. (***)

* M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta, dan Direktur Riset The Akbar Tandjung Institute, Jakarta.