Kolom saya kali ini, hendak mengobrolkan soal bahasa. Bahwa "bahasa menunjukkan bangsa" merupakan sebuah peribahasa yang sudah sangat lazim kita ketahui. Peribahasa itu mirip dengan peribahasa Jawa desa mawa cara, negara mawa tata. Tetapi kelihatannya bahasa jauh lebih penting di atas “cara” dan “tata”.
Dengan bahasa lah segala macam kesepahaman dipersatukan, agar kreatifitas dan inovasi penentu kemajuan bangsa selalu hadir dan awet.
Kita berterimakasih dengan Bahasa Indonesia, bahasa nasionalisme kita sebagai bangsa. Dalam suatu seminar, Sosiolog Yudi Latif, yang disertasinya menguraikan tentang hal-ikhwal peran cendekiawan Muslim dalam pembentukan dan perjuangan bangsa Indonesia, menjelaskan tentang betapa kuatnya keinginan para pejuang tempo dulu mewujudkan suatu bahasa, Bahasa Indonesia.
Memang kemudian kita catat adanya Sumpah Pemuda, 1928. Bahwa quasi-nasionalisme kita mulai terbentuk oleh kesadaran imajinatif akan adanya suatu tanah air, bangsa, dan bahasa : Indonesia. Mereka adalah, meminjam Bennedict R’OG Anderson adalah komunitas imajiner (imagine community), artinya terbuai oleh imajinasi bersama, berdasarkan kesamaan visi dan pengalaman bersama untuk mewujudkan obsesi membentuk suatu bangsa.
Yudi Latif menyebut sosok Siti Sundari, seorang perempuan terpelajar pada zaman Sumpah Pemuda, yang berjuang keras menggunakan Bahasa Indonesia dalam pidato-pidatonya. Kalau kita simak lagi di masa kini, pilihan kata atas pidatonya itu lucu-lucu, campuran dengan Bahasa Belanda, dan tentu saja logat Indonesianya pun juga terasa aneh.
***
Munculnya Bahasa melayu sebagai dasar Bahasa Indonesia, menurut Nurcholish Madjid tak lepas dari kearifan bersama kalangan nasionalis, dari semua kelompok yang ada yang memandang bahwa ia telah menjadi lingua franca atau bahasa pergaulan sejak berabad-abad.
Bagaimana dengan Bahasa Jawa, sebagai bahasa kelompok mayoritas kalangan pergerakan nasional saat itu? Ia tetap dihargai, sebagaimana Bahasa Sunda dan bahasa-bahasa daerah lainnya. Tetapi, Bahasa Jawa tidak dapat secara simpel diterapkan sebagai “bahasa nasional”, karena kerumitan tingkatan-tingkatan kebahasaannya.
Kita membutuhkan suatu bahasa yang justru mempertegas egalitarianisme di antara sesama anak bangsa, bukan bahasa yang masih memelihara iklim feodalisme. Tradisionalitas kita memang tak lepas dari feodalisme, suatu praktik sosial yang menolak egalitariansme alias kesederajatan.
Bahkan sampai kini masih terasa, hanya saja bentuknya lain, tidak semata-mata ditunjukkan dalam laku dhodhok alias berjalan sambil duduk saat menghadap raja dalam ketoprak-ketoprak alias sandiwara-sandiwara tradisional, tetapi sudah modifikatif.
Selama rakyat masih dipandang sebagai obyek oleh para pemimpin yang miskin empati dan mabuk-larut di dalam kegelimangan fasilitas, selama mereka dimanfaatkan saja untuk mengiyakan alias mendukung suatu citra tertentu dalam politik elektoral, maka rasanya hal sedemikian itu jauh lebih parah ketimbang feodalisme.
***
Dalam sebuah diskusi, seorang teman dari sebuah lembaga swadaya masyarakat program yang punya anggaran dana dari luar negeri dan suka menyeleksi program-program pendidikan demokrasi, menunjukkan suatu data menarik dari sebuah jurnal internasional, yang mengaitkan antara jalannya demokrasi dan nilai tradisionalitas.
Bahwa, Indonesia termasuk yang menonjol dalam konteks jalannya demokrasi. Tetapi, kecenderungan nilai tradisionalitas jauh lebih tinggi lagi. Itu artinya kadar feodalisme kita dalam berpolitik juga masih cukup tinggi. Feodalisme, diekspresikan dalam hubungan-hubungan klientalisme, familiisme, dan dengan mengajukan sentimen-sentimen primordial lain.
Mungkin itu sebabnya, dalam banyak pilkada, calon kepala daerah dan yang terpilih melingkar-lingkar di situ-situ juga : sehabis suami, istri, kalau tidak anak dan kemenakan. Dalam konteks politik nasional, kita juga masih menyaksikan adegan-adegan politik dinasti –walaupun fenomena politik dinasti bisa terjadi di mana saja, dan bukan sesuatu yang salah.
Feodalisasi bahasa Indonesia kita dalam politik, juga sesungguhnya masih menonjol. Coba kita simak bagaimana para politisi senior dan junior terbiasa berbahasa dalam pergaulan mereka sehari-hari. Yang senior suka dipanggil kakanda (dari kata “kakak” dan “anda”), ayunda (“ayu” dan “anda”, dimana “ayu” terkesan kata yang sangat dipaksakan), abangda, ayahnda, ibunda –tetapi tidak ada kakeknda dan neneknda.
Akhiran, kalau memang itu layak disebut akhiran “nda”, rasanya berkonotasi feodal. Benar bahwa ia dimaksudkan untuk menghormati, tetapi nuansanya tetap saja “kepentingan”, dan rasanya juga “berlebihan” yang hanya relevan dipakai dalam konteks sanjungan bukan kesederajatan fungsional. Bukankah cukup kita panggil Pak, Bu, Bung, Kak, atau Bang?
Untuk melanggengkan legitimasi neo-feodal, maka yang senior lantas juga larut dalam praktik berbahasa nda-nda. Dengarkan kalimat-kalimat berikut : “Hai, apakabar adinda? Wah adinda hebat sekali lho, kakanda sangat senang dengan prestasi adinda, bla-bla-bla...”
Secara sengaja atau tidak sengaja, struktur feodalisme pun terkokohkan dalam berbahasa. Bahwa yang yunior harus pandai-pandai memanfaatkan kalimat-kalimat yang hiperbolik, walaupun tidak selalu dengan frasa duli tuanku alias injih Ndoro (baik Tuan) –tapi coba rasakan dengan frasa “siap Abangku”, “baik Kakanda”, “alhamdulillah sehat Ayahnada”.
***
Dalam sebuah acara talk show di televisi dua orang profesor, masing-masing pakar manajemen dan sejarah Islam yang tergolong sangat populer di negeri ini mengaku pernah tidak lulus ujian Bahasa Indonesia. Tetapi, sekarang kita tahu bahwa keduanya penulis produktif. Prof. Rhenad Khasali adalah pakar manajemen dan kolomnis kenamaan. Demikian juga Prod Azyumardi Azra.
Saya jadi teringat, bahwa konon mata pelajaran bahasa Indonesia adalah wajib lulus dalam Ujian Nasional alias unas, yang “ditakuti” oleh para pelajar itu. Katanya banyak yang lulus mata pelajaran ini. Mungkin kita langsung bertanya, ada apa memangnya dengan bahasa Indonesia kita? Begitu susahnya kah ia saat diujiankan?
Dalam sebuah kolomnya, Lie Charlie, seorang pakar bahasa tinggal di Bandung, pernah memaparkan bahwa ujian Bahasa Indonesia kita memang rumit, seperti menebak kuis. Cuma, tebakan kuis kita kali ini, tidak ada call my friend atau ask the audiens.
Misalnya, antonim itu apa? Homonim? Antonim? Sinonim? Mana yang termasuk kalimat pras prototo? Mana yang hiperbolik? Mana yang contradictio interminis? Lantas ada empat pilihan jawaban yang mirip-mirip. Saya tidak tahu persis, apa relevansinya pengetahuan detil soal hal-hal semacam itu dengan praktik berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi, untungnya, katanya unas sudah ditiadakan tahun ini.
Yang efektif untuk mengurangi kesalahan dalam berbahasa adalah, belajar dari dua profesor di atas, mengarang. Pelajaran mengarang, mestinya yang harus digenjot. Pengetahuan berbahasa bukan tak lebih penting. Tetapi kalau mengarang, semua pengetahuan itu dicoba diaplikasikan.
Sedemikian pentingnya mengarang, Pemerintah Thailand baru-baru ini prihatin dengan mengecambahnya fenomena facebook dan twitter, yang dipandang menggeser dominasi bahasa nasional mereka.
Facebook dan Twitter diduga menjadi penyebab mengapa kemampuan berbahasa
pelajar Thailand makin lemah. Karena itu, Kementerian Budaya Thailand
menyarankan agar para pelajar kembali ke tradisi menulis surat.
Kita tahu bahwa Bahasa Thailand itu khas, alvabetnya juga khas, seperti huruf Jawa, tetapi tampak lebih rumit. Coba saja lihat majalah-majalah Thailand yang konsisten berbahasa Thailand, dimana sekilas pandang seperti sulaman-sulaman “bolah ruwet”, benang ruwet.
Kegelisahan pejabat Thailand itu sesungguhnya wajar saja, bahwa bahasa-bahasa di dunia, memang sedang “mempertahankan diri” dari “serbuan” bahasa Inggris –yang kursus-kursusnya menjamur di mana-mana.
Kembali ke soal mengarang atau menulis (catatan harian, artikel, surat atau apapun), ia penting bagi upaya pelestarian bahasa, walaupun tidak dimaksudkan secara khusus pelakunya menjadi pengarang (profesional) atau ahli bahasa (formal). Bahasa tulis alias non-verbal, biasanya lebih terstruktur, cermat, karena ada mekanisme koreksi atau editing –walaupun bahasa gaul juga sudah begitu jauh masuk ke bahasa tulis, dalam konteks status facebook atau komentar-komentar ringkas sms dan twitter.
***
Ada seorang teman yang biasa menulis biografi tokoh-tokoh, seorang penulis kenamaan, mengaku sakit kalau tidak menulis. Kemudian saya bercanda, “Wah, kok sudah seperti politisi atau pejabat”. Tapi ya memang begitu, bahwa tugas pengarang atau penulis adalah mengarang dan/atau menulis. Kalau tidak begitu, bisa pegal-pegal seluruh badan.
Untuk menjadi pengarang, tidak lantas harus menjadi ahli bahasa (secara formal).
Arswendo Atmowiloto itu pengarang, bukan ahli bahasa. Benar. Emha Ainun nadjib itu sekedar kolomnis, bukan ahli bahasa. Ya. Harimurti Kridalaksana itu ahli bahasa, bukan pengarang. Betul juga.
Tapi, Arswendo, Emha, Andrea Hirata, Rhenald Khasali, Azyumardi Azra, Ahmad Tohari, Wimar Witoelar, Jaya Suprana, Gienawan Mohamad, Ayu Utami, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, dan sederet nama-nama pengarang, penulis, kolomnis lain, tak bisa mempersembahkan sesuatu yang menarik kepada pembaca, tanpa kemampuan berbahasa yang baik.
Mereka tidak anti pada bahasa baku. Tetapi, bukan para pelanggar utama bahasa baku. Bahasa yang baik adalah bahasa yang hidup –demikian pendapat Goenawan Mohamad. Suatu Bahasa Indonesia yang mudah ditangkap, dimengerti, justru karena sederhana dan egaliter, merakyat.
Omong-omong, pernahkah Anda tidak lulus ujian Bahasa Indonesia? Kalau pernah, berarti, setidaknya Anda punya teman dua orang profesor di atas. (***)
M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta
Luluskah Kita Berbahasa?
26 Juli 2010 15:01 WIB
Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010
Tags: