Ketika hadir di sebuah acara pementasan musik angklung di Saung Angklung Mang Udjo di Bandung, saya membatin, betapa Indonesia kaya akan kreatifitas tradisional. Ternyata bambu bisa disulap menjadi alat musik yang mengagumkan. Dan kita tidak usah jauh-jauh mencari ke mana tempatnya.

Itu baru angklung, belum yang lain: kecapi, gamelan, dan juga termasuk alat musik sasando (dari NTT), yang belakangan ini dipopulerkan oleh seorang anak muda dalam acara televisi “Indonesia Mencari Bakat”.

Kalau demikian, Indonesia bukan hanya Jakarta. Indonesia juga bisa dinikmati dari daerah, melalui kesenian-keseniannya yang unik, kaya dan mempesona.

Kalau Anda “orang penting” yang datang ke daerah-daerah di Indonesia, maka sambutan yang ada adalah tari-tarian daerah. Dan setiap daerah khas sekali. Dari Aceh sampai Papua, siapa yang tahu ada berapa jenis tariankah?

Saya jadi ingat salah satu ciri manusia Indonesia, yang oleh Mohtar Lubis dikatakan sebagai manusia yang suka seni, estetis. Tapi Mohtar Lubis nadanya negatif. Saya membacanya, bahwa karena suka yang indah-indah, maka jadi kurang produktif, dan terbelenggu pada hal-hal yang tradisional.

Saya juga ingat beberapa tahun yang lalu teman saya seorang mahasiswa Fakultas Filsafat mengatakan bahwa ketika di Inggris telah terjadi revolusi industri, para pujangga di Jawa sedang asyik menciptakan tembang-tembang. Mana yang lebih produktif: tembang atau industri?

Dua lontaran di atas cukup menjadi perhatian kita. Apakah menjadi bangsa yang nyeni berarti tidak produktif? Tidak juga begitu. Jepang juga nyeni, tapi sangat produktif. China juga. India termasuk (punya industri film Bolywood). Jadi, masih ada harapan untuk mengembangkan kesenian-kesenian itu secara produktif, apalagi kalau dimasukkan ke dalam kerangka industri kreatif dalam kemasan massal.

***
Banyak tradisi kesenian kita yang punah, tenggelam oleh dinamika zaman. Ada yang menangisinya, tetapi banyak yang tidak menggubrisnya. Para aktivis kesenian seperti menjadi orang-orang yang keras kepala. Mereka bekerja secara kreatif, tetapi belum tentu dihargai secara layak. Penghargaan kita masih serba-terbatas.

Para aktivis kesenian yang keras kepala memang tak terlampau menghiraukan pendapatan. Tugas mereka adalah berkarya dan berkarya. Mereka tahu bahwa hidup pas-pasan, tetapi demi kecintaannya pada “profesi” mereka bertahan.

Tetapi, ada pula (barangkali banyak) yang memang menggantungkan hidupnya dari sana, dan berjuang menjadi pejuang-pejuang seni dengan cakupan dan jangkauannya sendiri-sendiri.

Kasus Mang Udjo memang spesial dalam hal ini. Ia mampu menginternasionalkan seni musik angklung, dan mendidik anak-anak muda untuk bergelut di dunia angklung.

Tapi, kesenian tak bisa dipaksakan harus dikomersialisasikan. Komersialisasi kadang membuat kesenian kehilangan kealamiahan estetikanya. Walaupun demikian, kita semua sepakat bahwa kekhasan kesenian daerah, harus ada yang menjaga dan memelihara. Hukumnya “wajib kifayah”.

***
Tampaknya menjadi tantangan kita untuk menjawab sinisme, bahwa kita memang bangsa yang estetis, tetapi tetap bisa produktif. Kita bangsa besar yang banyak potensi besar. Peluang kita untuk mengelola dan mengemasnya. Peta kompetisi global makin nyata saat ini, lantas, apa keunggulan komparatif dan kompetitif kita?

Kalau Anda duduk dan ikut menyimak acara di Saung Angklung Mang Udjo dan lantas Anda terbangkit nasionalismenya, maka itu wajar. Indonesia ini indah. Indonesia ini kreatif dan membanggakan, ketika alat musik angklung itu dimainkan sedemikian rupa.

Tapi, Anda mungkin segera gelisah dengan keadaan, mengapa Indonesia tak kunjung membaik rasa-rasanya. Menikmati kembali kesenian-kesenian tradisional kita perlu, untuk menumbuhkan nasionalisme dan inspirasi : apa yang bisa kita perbuat bagi bangsa ini?

Mang Udjonya sendiri memang sudah almarhum, tetapi ia seperti telah mengingatkan kita pada ujaran John F Kennedy : “… ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country”. (***)

M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta