Beberapa detik sebelum jari-jari tangan saya mengetikkan sesuatu untuk Anda sekalian para pembaca, saya belum tahu persis (gagasan) apa yang akan saya tulis, kecuali setelah sayup-sayup siaran televisi di dekat tempat saya mengetik, menyiarkan berita tentang korban makelar kasus (markus) di Indramayu, yang diperas oknum polisi dan membuat sang korban berumah di kandang kambing, karena rumahnya sendiri telah dijual untuk membayar sang markus.

Keluarga korban markus itu, kali ini dikunjungi banyak orang. Beberapa di antaranya datang dari Jakarta, datang untuk menyampaikan simpati.

Seorang ibu, kelihatannya dari kalangan menengah ke bawah, jauh-jauh datang dari Jakarta, hanya untuk mengungkapkan simpati dan membawa “sesuatu” sekedarnya. Ia mengatakan terharu dengan kasus itu, mengingatkan pada kasus yang pernah ia alami. Tak jelas “kasus yang pernah ia alami” itu seperti apa.

Dalam berita itu, seorang lelaki dari keluarga korban, mengatakan telah diberi cek oleh seseorang ketika ia datang ke Jakarta (keluarga korban markus ini pernah melaporkan kasusnya ke Tim Satgas Anti-Mafia Hukum). Semula ia tak tahu kalau “kertas” alias cek itu bisa diuangkan. Cek itu nilainya lima belas juta rupiah.

Tapi, yang menarik bagi saya adalah bukan ceknya itu.

Yang membuat saya tergerak, dan tiba-tiba saya ingin menuliskan sesuatu, adalah ketika ia mengatakan bahwa uang itu akan dipakai untuk melunasi utang-utangnya yang dipakai untuk membayar oknum polisi yang memerasnya.

Yang menarik adalah, beberapa kali ia menyebut polisi yang menipunya sebagai oknum. Oknum polisi. Tetapi siapakah oknum?

Untuk menjawab yang satu itu, terpaksa saya bersusah payah untuk melacak kembali sebuah tulisan kolom yang masih saya kenang hingga sekarang. Judulnya “Oknum”, yang menulis Pak Tjip alias Soetjipto Wirosardjono (birokrat kolomnis yang eksentrik itu). Tulisan itu dimuat di Kompas, Minggu, 5 Juli 1991.

Pak Tjip memperkenalkan dirinya sebagai Oknum. Dan inilah percakapan saya dengan “tulisan” Pak Tjip itu. Sekaligus kangen-kangenan imajiner dengan beliau (kolomnis senior pada masanya).

Pak Tjip: “Nuwun Sewu, kenalkan, nama saya Oknum. Sehari-hari saya pejabat, tetapi sebagai Oknum saya tidak menjabat. Paling-paling saya dipanggil Oknum pejabat. Karena itu mohon dimaklumi. Perbuatan saya harus dipisahkan dari jabatan saya.”

Saya: Interupsi Pak. Untuk sementara jelas, tampaknya sudah jelas. Oknum ialah pejabat yang perbuatannya tidak mencerminkan perilaku kepejabatannya. Pejabat yang bermental penjahat, begitukah Pak Tjip?

Pak Tjip: “Karena apa yang saya lakukan sebagai Oknum tidak ada sangkut pautnya dengan jabatan saya. Tatkala menjabat, sungguh semua perbuatan saya adalah konstitusional.”

Saya: Konstitusional itu sesuai dengan undang-undang dasar, hukum yang paling dasar dalam suatu negara. Tapi Pak Tjip, kalimat “semua perbuatan saya adalah konstitusional”, kesannya kok jadi lucu. Entah kenapa ya, hehe.. Lucu saja.

Pak Tjip
: Maksudnya, “Di kursi kehormatan, saya selaku pejabat, semuanya adalah terang, terbuka, dan berdasarkan peraturan. Tetapi, sebagai Oknum,..”

Saya: Nah, ini yang kita tunggu. Tetapi, apa Pak Tjip?

Pak Tjip: “Tetapi, sebagai Oknum, eksistensi saya abstrak, seabstrak impian atau bayangan. Kalau jabatan saya adalah wadah segala keadilan dan kebenaran, maka sebagai Oknum, saya adalah tumpuan segala comberan.”

Saya: Ya, ya, ya, saya paham Pak Tjip. Jarak antara “Saya” (pejabat) dan “Oknum” itu, kalau demikian tipis, bermuka dua: muka manis, konstitusional, malaikat di satu sisi; tapi muka bejat, inkonstitusional, setan di sisi lain. Kalau baik, dibilang prestasi pejabat, kalau bejat prestasi “Oknum”...

Pak Tjip: “Saya punya banyak teman. Bekerja di banyak tempat. Mengais nafkah dari banyak sumber. Tetapi, semua teman saya bernama sama dengan saya. Mereka juga Oknum. Ada Oknum pejabat pajak. Oknum polisi. Ada Oknum anggota DPR...”

Saya: Kalau sekarang namanya Markus Pak, singkatan dari “makelar kasus”. Entah siapa yang pertama kali mempopulerkan istilah ini. Kasihan juga kan, yang nama aslinya memang Markus? Kayaknya media massa harus siap diprotes deh, sama perkumpulan orang-orang bernama Markus se-Indonesia, bahkan sedunia. Tapi, ya sabar saja deh yang namanya terlanjur Markus, yang penting bukan “makelar kasus”. Kembali ke Oknum, Pak Tjip, makhluk ini memang aneh sekali..

Pak Tjip: “Tatkala hanya Oknum yang busuk, bejat dan menyeleweng semena-mena, lembaga tak bisa disalahkan biar dunia dijungkirbalikkannya. Peraturan selalu benar. Kekuasaan selalu adil. Instansi selalu bersih... Tidak ada kekuasaan yang bisa disalahkan... Bila something goes wrong, maka itu tentulah kesalahan Oknumnya”.

Saya: O, kalau boleh saya ikut menggarisbawahi Pak Tjip: lembaga, peraturan, kekuasaan, semuanya itu kambing putih. Kambing hitamnya, Oknum!

Pak Tjip: “Tatkala kekuasaan tidak ambeg parama arta, berarti emban cinde emban oyodan (pilih kasih, yang satu digendong kain selendang berenda, yang lain digendong dengan akar-akaran), diskriminatif, memihak dan menguntungkan suatu pihak atas beban pihak lain, maka jangan sekali-sekali salahkan lembaganya. Carilah kesalahan itu pada Oknumnya.”

Saya: Hehehe... Paradoks alias nglulu banget. Ataukah memang demikian watak kekuasaan, tak zaman penjajahan atau kemerdekaan (Orde Lama, Orde Baru, atau Reformasi sekalipun), tak mau disalahkan kecuali Oknumnya? Tapi Pak Tjip, kalau ujungnya Cuma disalah-salahkan terus, apa enaknya jadi Oknum?

Pak Tjip: (Inilah kalimat akhir kolom Pak Tjip) “Enaknya jadi Oknum, punya nama sendiri, tetapi bukan manusia biasa. Karena sebagai Oknum saya tidak dilengkapi rasa malu, aib atau dosa. Oknum itu sesungguhnya siapa saja yang bukan siapa-siapa”.

Saya: Kalau begitu, hai Oknum, siapa sesungguhnya engkau? Kata Pak Tjip, engkau “siapa saja yang bukan siapa-siapa”, berarti bisa saya, bisa Anda, bisa siapa saja... (***)

Alfan Alfian, Dosen di FISIP Universitas Nasional, Jakarta