Ini adalah fabel Maulana Jalaluddin Rumi tentang betapa kita masih
butuh pemimpin, sekalipun pemimpin itu pernah memerintah kita secara
otoriter. Di alam demokrasi, mungkin kurang relevan, mengingat
otoritarianisme telah dijawab dengan sistem. Tetapi jangan lupa, sifat
otoriter pemimpin itu kerap tidak berhubungan dengan sistem politik,
apakah represif atau otoriter.
Yang dibutuhkan rakyat adalah pemimpin yang arif dan bijak. Oleh sebab
itu kisah Rumi berikut, mengandung pesan bahwa rakyatlah yang arif
untuk menaikkan kembali sang singa yang otoriter, tetapi telah
dilengserkannya.
Rakyat selalu mendambakan pemimpin bijak, tetapi menolak kondisi negara
yang tanpa pemimpin. Sebab kondisi tanpa pemimpin itu membahayakan,
bisa chaos alias kacau dan bubar. Bahkan ada yang berpendapat,
lebih baik dipimpin oleh pemimpin otoriter ketimbang negara dalam
kondisi tanpa pemimpin.
Fabel Rumi itu, ringkasnya begini.
Di suatu hutan, singa, sebagai rajanya, tiba-tiba marah dan otoriter
sekali. Sikap bijaknya tenggelam oleh nafsu berkuasa, dan itu
diekspresikannya dengan mengharuskan masyarakat hutan menyetor
binatang-binatang setiap hari untuk dijadikan mangsanya.
Masyarakat hutan pun, kecewa dengan kebijakan sang raja. Tetapi tidak
ada pilihan lain. Setiap hari seekor binatang harus direlakan untuk
disantap sang singa, entah itu kera, kijang, kuda, anjing, kucing,
ayam, burung, dan apa saja.
Sampailah saatnya, kelinci. Ia hadir untuk menaklukkan raja yang rakus,
tetapi bodoh itu. Inilah kutipan percakapan singa dan kelinci,
sebagaimana dikisahkan ulang oleh Abdurrahman Azzam.
“Kau terlambat”.
“Aku nyaris tak sampai,” jawab kelinci tenang dan pasti. “Kami diserang di perjalanan”.
“Kami? Kami, siapa?”
“Yah, hean-hewan yang mengirimku berpikir bahwa binatang seukuranku tak
akan kenyang bila hanya memangsa satu kelinci yang kurus kering ini.
Mereka mengirim dua supaya perutmu kenyang.”
“Lantas di mana temanmu?”
“Kami sedang di perjalanan, ketika mendadak kami diserang oleh seekor...”
“Seekor apa?”
“Seekor singa.”
Betapa kagetnya sang singa, raja hutan itu, mendengar adanya singa
lain. Ia mengaum dalam kemurkaan dan kemarahan. Kemarahan memuncak
ketika mendengar penjelasan bahwa singa lain itu, sangat besar dan
garang.
“Aku akan membunuhnya, betapa kurang ajarnya dia,” kata singa
yang bermuka merah, karena marah. Sang singa meminta kelinci
menunjukkan di manakah singa lain itu, dan kelinci pun membawanya,
hingga ke tepi sebuah sumur.
“Di mana singa itu?”
“Di sana, di dalam sumur itu!”
“Apa? Di dalam sumur? Apa kau coba menjebakku? Kau mau coba mendorongku agar jatuh ke dalam sumur?” Singa menaruh curiga. Kelinci pun gemetar ketakutan, tetapi ia menahan diri, dengan mengatakan bahwa ia sungguh-sungguh.
“Aku bersumpah padamu, ia benar-benar ada di dalam sumur itu. Coba lihat sendiri,” tukas
kelinci. Dan singa pun menyanggupi. Begitu ia mengintip ke dalam sumur,
betapa kagetnya ia. Ada seekor singa yang garang di dalamnya.
“Lihat! Itu dia! Serang sebelum dia menerkan kita!”
Dan singa pun, dengan kemarahannya menerkam singa di dalam sumur,
yang tak lain adalah bayangannya itu. Seketika semua binatang yang
diam-diam mengikutinya, bersorak sorai.
Tapi, persoalan tak selesai sampai di sini.
Para binatang pun bingung, setelah salah satu di antara mereka
mengatakan, kalau sang singa itu dibiarkan mati di dalam sumur, maka
siapa yang akan memimpin mereka? Mereka pun bermusyawarah, dan akhirnya
tercapai kesimpulan, mereka akan menolong sang singa, dan menaikkan
lagi sebagai raja, dengan syarat, raja kali ini harus bijak dan tidak
memakan binatang-binatang.
Singa pun berkata, “Maafkan aku atas segala perbuatanku pada kalian
di masa lampau, aku dibutakan oleh kemarahan, dan aku menyalahkan semua
hewan kecuali diriku sendiri. Begitu murkanya aku hingga aku bahkan tak
mengenali diriku sendiri yang tercermin di air”.
Begitulah cara binatang-binatang di hutan itu mengoreksi pemimpin.
Kemarahan dikalahkan dengan kelihaian. Kedamaian diciptakan dengan
ketulusan.
Dalam konteks demokrasi, ada prinsip “checks and balances”, justru
untuk mencegah penguasa dzalim. Penguasa memang dilingkari konstitusi,
tetapi bukan berarti kedzaliman tertutup peluangnya untuk tidak terjadi.
Dalam praktik demokrasi yang sehat, saya kira, tidak semata-mata
disandarkan pada konteks jumlah. Demokrasi kuantitatif alias jumlah,
akan mereduksi makna demokrasi yang luas dan substansial, semata-mata
ke konteks adu kekuatan.
Praktik demokrasi, mestinya lebih deliberatif, kualitatif dan
substansif. Deliberasi mengedepankan prinsip imparsialitas yang
menekankan kualitas argumentasi, yang rasional dan bertanggung jawab,
inklusif, terbuka dan setara.
Setelah pemilu usai, maka yang harus dipraktikkan, mestinya prinsip-prinsip demokrasi deliberatif atau “demokrasi ojo dumeh”.
Sebab, rakyat adalah wasit yang selalu aktual, yang bekerja siang-malam
untuk menilai pemerintahan dan sepak terjang wakil rakyat mereka.
Hakikatnya, rakyat butuh pemimpin yang mampu memimpin. (***)
Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
Kita Masih Butuh Pemimpin
8 Maret 2010 11:05 WIB
Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010
Tags: