Usai sholat Isya, Dul duduk-duduk di pos ronda dengan beberapa jamaah masjid yang biasa ngobrol-ngobrol sejenak sebelum pulang. Mereka merasa sudah lega sekarang, bahwa arah kiblat masjid sudah dibenahi.

Mereka semua terkejut sebelumnya, tidak menyangka bahwa arah kiblat ke Ka’bah telah melenceng dua derajat. “Itu artinya,” kata Pak Petugas pembetul arah kiblat dari Departemen Agama siang tadi, “melenceng 107 kilometer dari ka’bah”.
“Berarti selama ini sholat kita tidak sah ya?”
“Bukan tidak sah, tetapi kurang sempurna.


Pembetulan arah kiblat itu sederhana kok. Tidak harus membongkar masjid, tetapi membuat garis yang benar. Tidak usah menjadi perdebatan, mengingat pembetulan itu dilakukan dengan metode yang sangat canggih-teknologis.

Kalau semangatnya membetulkan, dan itu diterima semua pihak, maka alangkah lebih indahnya kebersamaan ini.
“Kita jadi lebih mantab dalam beribadah,” kata Dul.

Lagi pula, semuanya bisa mengecek sendiri sekarang: apakah arah kiblat kita sudah benar. Ada kompas. Ada pula berbagai situs internet yang sangat membantu.

Kiblat adalah ke mana sholat atau ibadah kita mengarah. Ke mana niat dan tujuan kita bertumpu. Umat Islam, sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, mengarahkan kiblatnya ke Makkah, persisnya ke ka’bah, baitullah, “rumah Allah”.

Sebelum Ka’bah ditetapkan sebagai pusat kiblat, pada mulanya, kiblat mengarah ke Yerussalem, ke Baitul Maqdis. Setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, turun wahyu Allah SWT (QS al-Baqarah:144), yang intinya adalah agar kiblat ke arah Masjidil Haram, ke Baitullah. Pergantian arah kiblat dilakukan pada tahun 624.

Menurut laporan Departemen Agama, di Indonesia sendiri potensi masjid-masjid yang bergeser arah kiblatnya besar, mengingat tanah-tanah di Indonesia labil, apalagi bencana alam sepertinya sudah menjadi bagian dari kehidupan negeri kepulauan yang di kelilingi “cincin api” ini.

Diperkirakan sebanyak 170 ribu masjid di Indonesia bergeser arah kiblatnya lho. Karena itulah, coba cek lagi arah kiblat di masjid Anda.

Dul sendiri ingat kisah perjuangan KH Ahmad Dahlan tempo dulu, sebagai ulama pembaru, ia mempelopori pembetulan arah kiblat masjid-masjid di Jawa. Hanya saja waktu itu tidak semua orang terima arah kiblatnya dibetulkan, karena merasa sudah benar. Kalau sekarang, ketika teknologi sudah sangat canggih, tentulah yang ngeyel, yang menolak, jadi “bahan tertawaan orang”.

Semangat membetulkan, semangat pembaru itulah yang mendasari hadirnya Muhammadiyah. Tetapi, sejarah juga mencatat, pendekatan untuk memperbarui itu tidak serta-merta, bukan melalui jalan kekerasan dan paksaan, tetapi bil hikmah, dengan menjelaskan dan memberi contoh.

Sementara itu Nahdlatul Ulama (NU) hadir untuk melengkapi. NU sendiri bukan anti-pembaruan. Tetapi kehadiran NU mengerem upaya “atas nama pembaruan” tetapi dipandang malah “menghancurkan”.

Sejak awal NU sangat prihatin atas gerakan Wahabi-radikal, yang suka menghancurkan peninggalan-peninggalan bersejarah.

Umat Islam Indonesia bersyukur, karena kaya khasanah: ada Muhammadiyah yang pembaru, ada NU yang kultural. Mereka saling melengkapi, bersilaturahmi dan bekerja sama secara baik dan bahu-membahu –era konflik-konflik “khilafiyah”, sudah bukan masanya lagi.

Di NU sendiri, ada tokoh yang biasa yang baru saja meninggalkan kita: Almarhum Gus Dur, yang gagasan dan sikapnya, sangat mengagumkan. Bahwa NU bukanlah sesuatu yang kolot, “sarungan”, tradisional, melainkan modern, berpikir maju, dan pro-pembaruan.

“Apa kira-kira hikmahnya membetulkan arah kiblat kita itu bagi, kita, maksudnya bangsa ini ya?” celetuk Abdul Ghafur, yang biasa menjadi muadzin masjid.
“Siapa ini yang mau menjelaskan?”
“Kamu saja Dul, kamu kan pernah jadi mahasiswa, pergaulannya luas, dan penjelasannya suka masuk akal, dan suka bicara soal nasib bangsa ini…, hehe, silakan.”

***
Dul tak bisa mengelak dan terpaksa sedikit “berceramah-kontekstual”. Wah, wah, berat, berat.
Kalau dikaitkan soal bangsa ini, tidak hanya kiblat 170 ribuan masjid saja yang perlu dibenahi, tetapi juga kita harus mengecek apakah kita sebagai bagian dari umat dan bangsa masih konsisten dengan kiblat kehidupan kita berbangsa, sesuai dengan yang dicita-citakan pada pendiri bangsa ini.

Ketika bangsa ini berdiri, artinya Pendiri Bangsa memproklamasikan Republik Indonesia, dan kita masuk ke wilayah sejarah negara-bangsa, maka kita mewarisi apa-apa yang mereka buat sebagai semangat, patokan, dan cita-cita buat apa negara-bangsa ini diciptakan.

Secara normatif dan otentik, itu termuat di dalam pernyataan mendasar pada Pembukaan UUD 1945.

Kita harus pahami kembali hal ini.
Kita baca lagi alinea pertama, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”

Ini merupakan bentuk syukur yang mendalam atas nikmat kemerdekaan. Sekaligus penolakan kita atas segala bentuk penjajahan. Kita junjung tinggi peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Alinea kedua “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Ini juga pernyataan puji syukur. Bahwa kemerdekaan kita itu bukan sesuatu yang gratis, melainkan karena perjuangan para pendahulu. Bahwa “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” adalah sesuatu yang kita idam-idamkan, kita upayakan bersama.

Alinea ketiga adalah penegasan, bahwa, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Dan inilah yang kita catat sebagai visi kita dalam bernegara-bangsa, alinea keempat, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Di situlah termaktub apa yang kita kenal sebagai Pancasila. Kiblat kita Pancasila. Pancasila milik kita semua. Keliru kalau Pancasila dipertentangkan dengan dengan agama, sehingga memunculkan suatu salah paham yang bertele-tele, seperti pada masa lampau.

Pancasila adalah suatu kesepakatan dasar, norma dasar, bahkan filsafat bangsa ini (di mana para tokoh Islam saat itu telah menyumbangkan sesuatu yang sangat luar biasa, dengan rela mencoret sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta. Dalam hal ini uraian Almarhum Kang Endang Saifuddin Anshari, bagus sekali).

Marilah kita lihat kembali, apakah di dalam perjalanan bangsa ini, kita telah tergeser jauh dari kiblat Pancasila itu, sadar atau tidak?

“Kalau pada praktiknya masih banyak yang melenceng, bagaimana cara membetulkannya Dul?”

Dul bukan penatar P-4, bukan pula “penafsir tunggal” Pancasila. Caranya ya mari duduk, dan diskusikan bersama.

“Diskusi lagi, diskusi lagi. Lama-lama kita jadi suka berdiskusi, dan ahli interupsi lho! Hehehe...”

Soalnya, kita masih perlu merenung, berpikir, mencari jawaban-jawaban yang terbaik atas problem umat dan bangsa. Selain itu, tetap saja kita berupaya menjadi orang yang jujur, bersahaja, yang produktif, yang tidak mudah marah, yang bijak, yang…
(Dul tetap ngomong dengan semangat, ketika penjual bakso keliling menghampiri mereka. Ting-ting-ting… Dan, sebuah radio kecil memperdengarkan lagu lama dari Koes Plus, “Nusantara I”,

Di Nusantara yang indah rumahku, kamu harus tahu…(***)

Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta