Konsentrasi merkuri di Teluk Kayeli melebihi batas cemaran logam berat
24 Juni 2021 20:38 WIB
Peneliti dari Pusat Penelitian Laut Dalam - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI), Corry Yanti Manullang. ANTARA/HO-Dokumen pribadi.
Ambon (ANTARA) - Konsentrasi total merkuri (THg) di Teluk Kayeli, Kabupaten Pulau Buru, Provinsi Maluku melebihi batas maksimum cemaran logam berat di laut yang ditetapkan oleh Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (National Oceanic and Atmospheric Administration - NOAA) Amerika Serikat.
"Konsentrasi THg dalam sedimen dari semua lokasi yang diukur, ditemukan telah melebihi yang ditunjukkan dalam nilai NOAA," kata peneliti dari Pusat Penelitian Laut Dalam - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI), Corry Yanti Manullang, di Ambon, Kamis.
Ia mengatakan dari hasil penelitian sampel sedimen laut yang diambil dari sembilan lokasi di Teluk Kayeli pada 2017, menemukan konsentrasi total merkuri ditemukan di semua lokasi, berkisar antara 0,035 hingga 4,802 mg/kg-1 DW, melebihi ambang batas cemaran logam berat yang diperbolehkan oleh NOAA, yakni 0,15 mg/kg-1 DW.
Baca juga: Pelajar Kediri manfaatkan kitosan atasi pencemaran logam berat
Tingginya konsentrasi total merkuri di Teluk Kayeli diduga berasal dari limbah aktivitas penambangan emas di Gunung Botak pada akhir tahun 2011, dan PESK Gogorea setahun setelahnya.
Penggunaan merkuri (Hg) untuk mengekstraksi emas menggunakan trommel (mesin penyaring mekanis yang digunakan untuk memisahkan bahan) merupakan prosedur umum dalam penambangan skala kecil, tapi seringkali penanganan limbah yang dihasilkan diabaikan oleh penambang.
Limbah hasil PESK di Gunung Botak dan Gogorea yang dibuang begitu saja, mengalir ke Sungai Anahoni, Waeapo, Kayeli dan Gogorea, kemudian bermuara dan mengendap di Teluk Kayeli.
"Teluk Kayeli merupakan kawasan penting untuk daerah tangkapan ikan, untuk mendukung kehidupan sehari-hari sekitar 50.000 masyarakat desa pesisir," ucap Corry.
Dikatakannya lagi, hanya sedikit data mengenai total merkuri di lokasi penambangan atau Teluk Kayeli yang dipublikasikan setelah beroperasinya PESK di Gunung Botak dan Gogorea.
Studi yang dilakukan pada Juli 2012 menemukan tingkat total merkuri di sekitar Teluk Kayeli berkisar antara 0,548-3,564 mg/kg-1 DW. Pengambilan sampel lainnya pada pada tahun 2013 melaporkan bahwa merkuri telah meningkat lebih dari 20 kali lipat dibandingkan setahun sebelumnya, yakni 7,8 mg/kg-1 DW.
Selain merkuri, logam berat berbahaya lainnya seperti kadmium (Cd) dan timbal (Pb) melebihi batas yang diizinkan NOAA juga ditemukan di sungai-sungai yang berada di sekitar PESK Gunung Botak dan Gogorea.
"Merkuri, kadmium dan timbal yang terlepas ke laut tidak mudah larut dan cenderung terakumulasi di sedimen atau di dalam tubuh biota laut. Karena itu, logam berat tersebut termasuk dalam kategori pencemar yang paling berbahaya," kata Corry Manullang.
Baca juga: Teluk Ambon tercemar logam berat
Baca juga: Ampas kelapa dapat dijadikan absorben logam berat
Baca juga: Peneliti temukan jerami penyerap limbah
"Konsentrasi THg dalam sedimen dari semua lokasi yang diukur, ditemukan telah melebihi yang ditunjukkan dalam nilai NOAA," kata peneliti dari Pusat Penelitian Laut Dalam - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI), Corry Yanti Manullang, di Ambon, Kamis.
Ia mengatakan dari hasil penelitian sampel sedimen laut yang diambil dari sembilan lokasi di Teluk Kayeli pada 2017, menemukan konsentrasi total merkuri ditemukan di semua lokasi, berkisar antara 0,035 hingga 4,802 mg/kg-1 DW, melebihi ambang batas cemaran logam berat yang diperbolehkan oleh NOAA, yakni 0,15 mg/kg-1 DW.
Baca juga: Pelajar Kediri manfaatkan kitosan atasi pencemaran logam berat
Tingginya konsentrasi total merkuri di Teluk Kayeli diduga berasal dari limbah aktivitas penambangan emas di Gunung Botak pada akhir tahun 2011, dan PESK Gogorea setahun setelahnya.
Penggunaan merkuri (Hg) untuk mengekstraksi emas menggunakan trommel (mesin penyaring mekanis yang digunakan untuk memisahkan bahan) merupakan prosedur umum dalam penambangan skala kecil, tapi seringkali penanganan limbah yang dihasilkan diabaikan oleh penambang.
Limbah hasil PESK di Gunung Botak dan Gogorea yang dibuang begitu saja, mengalir ke Sungai Anahoni, Waeapo, Kayeli dan Gogorea, kemudian bermuara dan mengendap di Teluk Kayeli.
"Teluk Kayeli merupakan kawasan penting untuk daerah tangkapan ikan, untuk mendukung kehidupan sehari-hari sekitar 50.000 masyarakat desa pesisir," ucap Corry.
Dikatakannya lagi, hanya sedikit data mengenai total merkuri di lokasi penambangan atau Teluk Kayeli yang dipublikasikan setelah beroperasinya PESK di Gunung Botak dan Gogorea.
Studi yang dilakukan pada Juli 2012 menemukan tingkat total merkuri di sekitar Teluk Kayeli berkisar antara 0,548-3,564 mg/kg-1 DW. Pengambilan sampel lainnya pada pada tahun 2013 melaporkan bahwa merkuri telah meningkat lebih dari 20 kali lipat dibandingkan setahun sebelumnya, yakni 7,8 mg/kg-1 DW.
Selain merkuri, logam berat berbahaya lainnya seperti kadmium (Cd) dan timbal (Pb) melebihi batas yang diizinkan NOAA juga ditemukan di sungai-sungai yang berada di sekitar PESK Gunung Botak dan Gogorea.
"Merkuri, kadmium dan timbal yang terlepas ke laut tidak mudah larut dan cenderung terakumulasi di sedimen atau di dalam tubuh biota laut. Karena itu, logam berat tersebut termasuk dalam kategori pencemar yang paling berbahaya," kata Corry Manullang.
Baca juga: Teluk Ambon tercemar logam berat
Baca juga: Ampas kelapa dapat dijadikan absorben logam berat
Baca juga: Peneliti temukan jerami penyerap limbah
Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: