Bila ada ajakan untuk berbagi, apa yang ada di pikiran Anda? Mungkin berbagi dana, berbagi pakaian layak pakai, sembako, susu, atau berbagi makanan. Semua jawaban mengandung materi. Itu mungkin karena di kepala kita telah tertancap ide-ide materialistik yang sudah mengglobal. Mengukur segala sesuatunya dengan yang bersifat material dan kasat mata.
Pengalaman nyata dari ayah angkat saya mungkin bisa menjadi pelajaran bahwa berbagi tidaklah mesti berbentuk materi. Setiap tahun, ayah angkat saya punya kebiasaan berkeliling ke berbagai panti asuhan dan rumah anak yatim.
Kunjungan biasanya dilakukan dua kali. Awal Ramadhan dan akhir Ramadhan. Kunjungan pertama adalah survei untuk mengetahui kebutuhan panti asuhan atau rumah yatim. Kunjungan kedua membawa bantuan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Ketika berkunjung ke salah satu rumah yatim, ayah angkat saya bertemu dengan seorang bocah bernama Nina.
"Nina, apa yang kamu mau sayang" begitu ayah saya membuka percakapan. "Nina mau baju baru..sepatu baru...tas baru atau apa Nak?" tambah ayah saya.
"Nggak ah… ntar Om marah" jawab Nina.
"Nggak sayang, Om nggak akan marah," ayah saya menimpali.
"Nggak ah... ntar Om marah" Nina mengulang jawabannya. Ayah saya berpikir, pasti yang diminta Nina adalah sesuatu yang mahal. Rasa keingintahuan ayah saya semakin menjadi. Maka dia dekati lagi Nina.
"Ayo Nak katakan apa yang kamu minta sayang".
"Tapi janji ya Om tidak marah?" jawab Nina manja.
"Om janji tidak akan marah sayang," tegas ayah saya.
"Bener Om nggak akan marah?" sahut Nina agak ragu. Ayah saya menganggukkan kepala.
Nina menatap tajam wajah ayah saya. Sementara ayah saya berpikir. 'Seberapa mahal sich yang bocah kecil ini minta sampai dia harus meyakinkan bahwa saya tidak akan marah'' pikir ayah saya.
Sambil tersenyum Ayah mengatakan "ayo Nak, katakan, jangan takut, Om tidak akan marah Nak."
"Bener ya Om nggak marah?" ujar Nina sambil terus menatap wajah. Sekali lagi ayah saya menganggukkan kepala. Dengan wajah berharap-harap cemas, Nina mengajukan permintaanya "Mmmm, boleh tidak saya memanggil Om..dengan paggilan Ayah?"
Mendengar jawaban itu, Ayah tak kuasa membendung air matanya. Segera dia peluk Nina, "tentu Anakku.. tentu Anakku...mulai hari ini Nina boleh memanggil Ayah, bukan Om". Sambil memeluk erat ayah saya, dengan terisak Nina berkata "terima kasih ayah... terima kasih ayah..."
Hari itu, adalah hari yang takkan terlupakan buat ayah saya. Dia habiskan waktu beberapa saat untuk bermain dan bercengkrama dengan Nina. Karena merasa belum memberikan sesuatu berbentuk material kepada Nina maka sebelum pulang Ayah bertanya lagi pada Nina, "anakku, sebelum lebaran nanti ayah akan datang lagi kemari bersama ibu, apa yang kamu minta nak?"
"Kan udah tadi, Nina sudah boleh memanggil Ayah," jawab Nina.
"Nina masih boleh minta lagi sama ayah. Nina boleh minta sepeda, otoped atau yang lain, pasti akan Ayah kasih."
"Nanti kalau ayah datang sama ibu ke sini, aku minta Ayah bawa foto bareng yang ada Ayah, Ibu dan kakak-kakak Nina, boleh kan Ayah?" Nina memohon sambil memegang tangan Ayah.
Tiba-tiba kaki Ayah lunglai. Dia berlutut di depan Nina. Dia peluk lagi Nina sambil bertanya, "buat apa foto itu Nak?"
"Nina ingin tunjukkan sama temen-temen Nina di sekolah, ini foto ayah Nina, ini ibu Nina, ini kakak-kakak Nina." Ayah saya memeluk Nina semakin erat, seolah tak mau berpisah dengan gadis kecil yang menjadi guru kehidupannya pada hari itu.
Terima kasih Nina. Meski usiamu masih belia kau telah mengajarkan kepada kami tentang makna berbagi cinta. Berbagilah cinta, karena itu lebih bermakna dibandingkan dengan sesuatu yang kasat mata. Berbagilah cinta, maka kehidupan kita akan lebih bermakna. Berbagilah cinta agar orang lain merasakan keberadaan kita di dunia. (*)
Berbagi Cinta
16 November 2009 15:38 WIB
Oleh Jamil Azzaini
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009
Tags: