Bila Anda bertanya kepada saya, apa salah satu pengalaman hidup paling berkesan yang saya rasakan? Saya akan segera menjawab ’saya bisa nyuapin makan siang anak saya di tepian Pantai Anyer’. Mengapa berkesan?

Pertama, saya berhasil membuat anak saya menghabiskan makannya, padahal selama ini ia sulit makan. Kedua, anak saya makan sambil mandi di laut. Ketiga, saya harus berlari ke sana ke mari mengejar anak saya selama satu jam lebih agar ia mau menghabiskan makanannya. Keempat, baru kala itu saya diberi aplaus dalam urusan menyuapi makan oleh dua anak pertama dan kedua saya.

Anak memang seperti perhiasan. Sungging senyum mereka tatkala kita lelah mampu menghapuskan kepenatan. Teriakan, nyanyian, ocehan, gerakan dan tingkah polah mereka juga membuat suasana rumah bertambah hidup dan membangkitkan gairah hidup.

Anak-anak kita bak ’malaikat kecil’ yang ditugaskan membahagiakan dan menentramkan hidup kita. Semua itu bisa kita rasakan hingga anak kita masuk sekolah dasar.

Tapi selewat usia sekolah dasar kita segera merasakan bahwa pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab sekolah. Padahal menurut penelitian, selama satu tahun anak-anak kita hanya menghabiskan 60 hari di sekolah.

Angka 60 hari diambil dari; rata-rata anak sekolah selama satu tahun 240 hari dengan asumsi anak-anak menghabiskan 6 jam di sekolah setiap hari. Maka dalam 240 hari jumlah jam yang dihabiskan di sekolah mencapai 1.440 jam atau setara dengan 60 hari.

Selebihnya ia berada di luar sekolah. Karena itu menciptakan kualitas pertemuan dengan anak di rumah, menjadi hal utama dan terpenting. Rumah adalah tempat belajar, tempat seorang anak mencari jati diri, tempat anak berbagi, dan tempat anak mengharap cinta tulus.

Bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya ke boarding school mungkin bisa mengambil pelajaran dari pengalaman saya. Anak pertama saya (Dhira) sekolah di salah satu boarding school di Bogor, lewat seleksi ketat. Dua pekan atau satu bulan sekali saya mengunjunginya ke sekolah.

Pernah saat untuk beberapa saat lamanya saya tak mengunjunginya, Dhira mengirimi saya sepucuk surat. Isinya begini; “Allow Bapak. Apa khabar? Bapak masih sering pulang malam? Ati-ati lho pak ntar sakit! Pak, Dhira kangen nich. Udah tiga minggu lho Bapak nggak nengok. Tapi kalau bapak sibuk jangan dipaksain. Nanti kalau dipaksain penggemar kecewa lho. Kalau bapak ceramah atau ngisi training khan banyak yang seneng.

Lewat surat ini mbak Dhira juga ingin berdoa buat Bapak ‘Ya Allah berilah kesehatan buat Bapakku..Mudahkan lisannya ketika ia ceramah...Jadikanlah setiap kata yang keluar dari mulut Bapakku mengandung makna dan menjadi pahala. Ya Allah jangan Kau jadikan Bapakku seperti lilin yang mampu menerangi sekitarnya namun kemudian lilin itu musnah’. Aku juga kangen diceramahi Bapak.

‘Ya Allah jangan Kau jadikan aku seperti anaknya nabi Nuh yang tak mau mendengar seruan Ayahnya. Jadikanlah aku seperti Ismail yang rela disembelih Bapaknya Ibrahim karena taqwanya kepada-Mu. Ya Allah beri kesempatan kepadaku agar aku sering mendengar ceramah Bapakku, Aku rindu senyumnya...aku rindu candanya...Ya Allah aku ingin senyumku sesering mungkin dilihat orang tuaku. Ya Rabb akupun ingin sesering mungkin memeluk adik-adikku’. Jangan marah ya Pak. I miss you so much. Dagghhh…”

Saya pikir mengapa saya harus marah membaca surat indah seperti itu? Yang ada justru rasa rindu. Saya ambil fotonya, ”Anakku, Maafkan Bapak ya”. Dua pekan kemudian dia sudah mampu menebarkan senyum manisnya secara langsung kepada saya, ibunya juga adik-adiknya. (*)