Menjadi single parent bukanlah pilihan. Tak ada satu pun orang yang ingin melakoninya. Begitu juga dengan Ibu Nanik yang tujuh tahun silam harus kehilangan suami tercinta. Sejak saat itu, Ibu Nanik harus mengasuh dan mendidik anaknya sendiri.

Ibu berusia 48 tahun itu bekerja di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Posisinya sudah cukup lumayan, General Manager. Saya mengenalnya saat memberikan seminar motivasi di tempat kerjanya.

Kehidupannya boleh disebut berkecukupan karena almarhum suaminya meninggalkan harta yang cukup berlimpah. Anak pertama dan kedua sudah duduk di bangku kuliah. Si bungsu masih kelas satu SMA. Ketika suaminya masih hidup, rumah tangga Ibu Nanik sangatlah harmonis.

Sampai satu saat Ibu Nanik merasakan ketakbahagiaan. Itu dialaminya pada tahun kelima setelah suaminya meninggal dunia. Ketiga anaknya yang selama ini penuh perhatian dan sangat sayang padanya tiba-tiba berubah. Anak kedua dan ketiga sangat tak peduli dengan dirinya. Bahkan cenderung memperlihatkan sikap membangkang.

Teriakan, suara lantang bahkan hardikan sang anak sering terlontar untuknya. Apapun yang dilakukan olehnya tampak serba salah di hadapan anaknya. Saat bertemu saya, sambil menangis tersedu ia menceritakan problem yang dihadapinya.

“Rasanya saya sudah memberikan perhatian penuh. Semua keperluannya saya cukupi. Saya pilihkan sekolah sesuai keinginan mereka. Hari Sabtu dan Minggu sering saya habiskan bersama mereka Tapi mengapa mereka seperti itu?. Dua tahun saya tertekan dan menderita sekali Pak” keluh Ibu Nanik kepada saya.

Segera saya bertanya, “Ibu Anda masih ada (hidup)?”
“Masih Pak. Kenapa Pak Jamil tanya Ibu saya?”
“Dimana beliau sekarang?” saya bertanya lagi.
Dengan agak terkejut Ibu Nanik menjawab “Ibu saya ada di panti jompo. Saya kuatir tak bisa merawat beliau dengan baik karena saya harus bekerja dan mengurus anak, makanya beliau saya titipkan di panti jompo”.

Segera saya katakan; “Boleh jadi itulah sebab mengapa kedua anak Anda tidak sayang dan hormat kepada Anda. Walau sebenarnya Anda merasa sayang dengan beliau, tapi menurut saya Anda telah membuang beliau. Anda tidak hormat dan sayang dengan Ibu Anda sendiri. Saya yakin alasan utama Anda menitipkan beliau bukan karena Anda sayang, tapi karena Anda tidak mau direpotkan dengan beliau”.

Setelah menarik napas panjang Ibu Nanik berkata “sejujurnya memang saya tidak mau direpotkan ibu. Usianya sudah lebih 80 tahun Pak. Perilakunya seperti anak kecil. Kalau buang air di sembarang tempat.”

Sebelum Ibu Nanik terus mengeluh segera saya katakan “pindahkan beliau segera ke rumah. Jangan biarkan beliau habiskan sisa umurnya di panti jompo. Biarkan ia melihat anak dan cucunya setiap saat. Inilah saatnya berbakti.. Jangan sia-siakan kesempatan yang takkan datang dua kali ini.”

Dua bulan kemudian, Ibu Nanik memindahkan ibunya dari panti jompo ke rumahnya sendiri. Untuk menjaga ibunya, dia sediakan seorang pengasuh khusus yang didatangkan dari kampung asalnya. Hampir setiap pekan Ibu Nanik mengabari saya tentang tingkah-polah ibundanya. Terkadang memberi kabar sambil menangis, kadang diselingi tawa gembira.

Suatu saat Ibu Nanik, ketiga anaknya dan sang nenek mengejutkan saya. Saya baru saja istirahat di penginapan di Brunei Darussalam usai memberi training, telepon berdering. Di ujung telepon terdengar suara “Pak Jamil kami sedang merayakan ulang tahun ibu dan nenek kami yang ke 84. Kami semua bahagia. Rumah kami penuh dengan cinta. Teriakan, suara lantang sudah tidak ada lagi.”

Seperti tak memberi kesempatan pada saya untuk menjawab, di seberang sana terdengar serentak suara Ibu Nanik, ketiga anaknya dan sang nenek, “terima kasih Pak Jamil. Kami semua menanti Anda di Indonesia. Jangan lupa oleh-olehnya buat nenek ya!” Saya merinding, dan entah mengapa air mata pun menetes di pipi. (***)