Seorang ibu rumah tangga yang baru saja melahirkan anak keduanya, memberikan catatan ke sebuah kolom politik yang saya muat ulang di facebook. Kolom saya itu “mengulas” soal fenomena pemilihan presiden (pilpres).

Ia tidak mengomentari secara spesifik, tetapi hanya semacam rasan-rasan, bahwa ia kecewa dengan kandidat yang tidak mau hadir di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang disebutnya sebagai “tidak mengajari rakyat bagaimana bersikap ksatria dan berjiwa besar".

Catatnya lagi, “sekalipun setelahnya mau menggugat ya silakan, tapi datang dong, karena KPU juga dia bisa ikut kontes Capres.”

Saya kira, soal ada kandidat yang tak datang pada pengumuman hasil rekapitulasi pilpres, tentu saja itu hak mereka, dan tak akan mempengaruhi kerja KPU. Itu hanyalah akan menjadi perbincangan etis, dan bukan merupakan sesuatu yang melanggar hukum.

Tapi, setidaknya, komentar sedemikian membuat saya sendiri tidak menyangka, bahwa “orang biasa” suka juga mencermati hal-hal yang sepertinya “remeh-temeh” dalam politik.

Bahkan seringkali seseorang jauh hari telah menetapkan pilihannya pada kandidat tertentu, karena merasa kandidat lain dinilai “menyebalkan”, dan setelah ditelusuri ternyata yang dianggap menyebalkan itu adalah yang dianggap “antagonis”.

Mungkin karena terlalu sering menyaksikan sinetron-sinetron televisi, maka alam bawah sadarnya langsung bereaksi dalam menilai kandidat: o, ini tokoh utamanya (protagonis) dan o itu tokoh jahatnya (antagonis).

Lain lagi komentar teman saya, seorang pemimpin redaksi surat kabar berskala nasional, yang merasakan bahwa sudah ada kemajuan luar biasa atas politik kita.

Apanya yang dianggap maju? O, rupanya ia menyorot dari sudut pandang bahwa demokrasi elektoral yang dulu dianggap sangat sakral dimana pemilu telah dipahami dan diaktualisasikan sebagai sebuah kewajiban (yang tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara dianggap “subversi”), tetapi kini sudah tidak begitu.

Kemajuan yang dimaksud justru tatkala masyarakat menganggap dan merasakan pemilu sebagai hal yang biasa saja. Pemilu sudah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Desakralisasi pemilu ini penting mengingat ujungnya adalah kualitas demokrasi, ketika orang mendatangi bilik-bilik pemungutan suara dengan kesadaran bahwa ia tengah menunaikan haknya.

Perkara tingkat partisipasi politik dalam pemilu menjadi menurun, itu biasa. Di Amerika Serikat saja tingkat partisipasi politik berkisar 40-60 persen. Tapi yang terpilih tetap legitimate.

Senang dan Sebal
Demokrasi elektoral memang berisiko “menyenangkan” atau “menyebalkan”. Ini merupakan risiko dari dimensi kompetisi dalam politik. Sebagaimana melihat pertandingan sepakbola atau tinju, publik juga punya idola dan punya komentar khusus soal idolanya itu, tetapi juga sebaliknya punya enemy yang terbangun dalam benaknya.

Persepsi seseorang dalam merespons politik dipengaruhi oleh banyak hal. Kultur dan kebiasaan juga sering terbawa-bawa. Juga aspek primordial, yang kerap membalap aspek rasional. Orang yang “primordial” punya alasan yang lain dengan yang “rasional” untuk apakah senang atau sebal dalam menilai peristiwa-peristiwa politik.

Yang primordial tak punya alasan lain kecuali “pokoknya”, dan rela menepikan tawaran yang dipikirnya, sebetulnya lebih baik. Yang rasional, kecewa dengan hal-hal yang pada praktiknya menyimpang dari kewajaran dan kalkulasi rasional.

Karenanya dapat dimaklumi ribuan warga negara yang punya hak pilih tetapi ternyata namanya tidak dimasukkan ke dalam daftar calon pemilih tetap atau DPT. Mereka sebal dan kecewa, karena dianggap “tidak masuk akal”, mengapa di alam modern dan canggih abad ke-21 saat ini, administrasi kependudukan dapat dikatakan “jauh lebih buruk” ketimbang pemilu pertama kali 1955?

Kita senang pemilu legislatif dan pilpres berjalan dengan aman dan damai. Tapi kita sebal karena jalannya pemilu tak sempurna. Soal DPT itu, baik untuk kasus yang tak tercatat maupun yang ganda, sungguh-sungguh “menggemaskan”, kalau bukan menyedihkan.

Ini masalah serius yang harus dibenahi, agar jangan sampai kelak ada warga negara yang terbatasi hak-hak politiknya. Sesuai dengan Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik, maka negara wajib menjamin hak-hak politik warga negaranya.

Politik merupakan sebuah proses yang dinamis, yang kerap menuntut orang untuk tidak terlalu berpikiran “hitam-putih”. Segala kebijakan politik yang diambil pemerintah, misalnya, tentu tidak ditanggapi seragam oleh publik.

Secara umum yang dianggap “menyenangkan” biasanya adalah kebijakan-kebijakan populis (seperti pengumuman penurunan harga bahan bakar minyak, atau keputusan menaikkan gaji pegawai negeri sipil).

Tapi, orang sering lupa bahwa kebijakan populis yang ditempuh, memunculkan konsekuensi-konsekuensi tersendiri yang, bisa jadi, fatal (khususnya tatkala sesungguhnya kebijakan pemerintah tersebut menambah beban keuangan negara).

Dalam konteks ini, yang dirasa “menyenangkan” pun, belum tentu menyenangkan.
Dan, selain soal penyikapan kebijakan, yang paling banyak direspons orang adalah konteks perilaku politik (seperti ungkapan pembuka tulisan ini di atas).

Tatkala masyarakat dijadikan sasaran bujuk rayu para politisi, maka kadang-kadang bujuk rayunya “kebablasan”, sehingga membuat banyak di antara kita “muak” justru ketika mendengar aneka janji yang abstrak dan “tidak mungkin bisa ditepati” atau klaim-klaim yang rancu.

Pemilu lima tahunan merupakan momentum sirkulasi elite, membuka kesempatan bagi wajah-wajah baru yang terpilih bercampur dengan wajah lama berkiprah dalam politik formal. Sebagian merasa banyaknya wajah baru dianggap cukup menyenangkan, sebagian siap-siap untuk membuat kalimat-kalimat sebagai ekspresi dari rasa sebal, apabila mereka tak jauh lebih baik ketimbang sebelumnya.

Politik, bagi “yang merasa awam” memang kerap disederhanakan sebagai kumpulan antara hal-hal yang menyenangkan dan menyebalkan –dan bisanya yang terakhir itu yang lebih banyak terekspresikan.

Kemajuan
Terhadap presiden dan wakil presiden “terpilih”, yakni pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono, siap-siaplah untuk menghadapi grafik fluktuasi persepsi politik atas kinerja pemerintahan ke depan, yang meliuk-liuk di antara “senang” dan “sebal”.

Tetapi sebagai pemimpin, harapannya, kebijakan-kebijakannya apakah yang populis, setengah populis, atau yang tidak populis, akan berdampak positif bagi kemajuan bangsa.

Presiden dan wakil presiden “terpilih”, setelah ditetapkan dan disumpah secara resmi, maka mereka adalah “peracik jamu”, dan namanya juga jamu tak harus yang manis-manis yang disuguhkan, tetapi juga yang pahit. Asal demi kemajuan bangsa dan praktiknya tak ada penyimpangan, maka sepahit apapun, rakyat akan tetap “senang” dan menyingkirkan dulu “kesebalannya”. (***)

M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta