Sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan bergandengan dengan Boediono sebagai capres-cawapres, menyusul Jusuf Kalla (JK) yang telah bermanuver lebih cepat dengan menggandeng Wiranto, dan juga terakhir Megawati Soekarnoputri jadi berpasangan dengan Prabowo Subianto, serta masing-masing kemudian mendaftar secara resmi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) perasaan "antiklimaks" atas Pilpres 2009 mengemuka.

Pertama, karena pilihan-pilihannya menjadi sudah jelas, masih "yang itu-itu juga", bahkan banyak yang memiliki perkiraan sama atas siapa pemenangnya. Kedua, belum terakomodasikannya calon perseorangan atau independen dalam pilpres membuat beberapa sosok muda yang berlomba mencuatkan nama seperti Fadjroelrahman, Yuddy Chrisnandi, Rizal Ramli, atau yang lain, dipersilakan "minggir dulu". Bahkan di antara merekapun langsung ikut bergabung dengan capres-cawapres tertentu.

Ketiga, publik sudah semakin terbiasa dengan pemilu, baik pemilu legislatif, pemilu kepala daerah maupun pilpres. Akibatnya, pesta demokrasi pun sudah dianggap sebagai sesuatu yang tak istimewa dan sudah menjadi bagian dari aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Untuk memobilisasi massa dalam kampanye-kampanye politik pun, semakin susah dilakukan, apalagi mengharap partisipasi politik yang optimal. Politik, berbeda dengan era 1950-an, terasa sekali semakin a-ideologis dan mengarah
pada kuatnya pragmatisme.


Realitas Pragmatis

Liberalisasi politik di Indonesia pasca-Orde Baru di satu sisi dan memudarnya tradisi ideologi politik, serta terbatasnya aktor-aktor politik yang berpengalaman, membuat realitas politik kita kerap terasa "hambar". Dinamika politik yang simbolik pragmatis terasa sekali dalam setiap pemilu pasca-Orde Baru, dan tampaknya memang itulah salah satu "warisan politik" Orde Baru.

Paradigma "massa mengambang" memang sudah berlalu, tetapi dampaknya masih
terasa: (1) kegairahan berpolitik melemah; (2) politik masih terasa menjadi seperti sesuatu yang hanya milik elite.

Rebutan legitimasi politik dalam pemilu pada akhirnya seolah-olah sekedar menjadi wilayah elite, para caleg, calon kepala daerah, atau capres. Bahkan partai pun kerap hanya diposisikan sebagai kendaraan dan elite-elitenya bisa berganti-ganti partai. Elite punya peran penting dalam memobilisasi dukungan, dan bahkan turut mendesain secara sistematis tidak optimalnya partisipasi politik publik.


Melemahnya Partisipasi

Benarkah publik tidak dapat optimal dalam berpartisipasi politik? Kesempatan untuk itu memang besar, tetapi publik terkendala oleh desain struktural yang begitu rupa, yang memberi kesempatan bagi tumbuhnya oligarki antarelite politik. Partai-partai pun nyatanya belum optimal dalam menyelenggarakan proses perkaderan politik. Para kader seolah tak terlembagakan dengan baik, dikalahkan oleh, misalnya fenomena "politik dinasti".

Demokrasi modern memang masih memberi peluang bagi hadirnya politik dinasti itu. Fenomena itu tidak dapat disalahkan, tetapi ia akan segera dihadapkan pada pasar bebas politik, yang tak sekedar bertumpu pada massa tradisional semata.

Karena fungsi-fungsi politik yang diemban partai-partai belum sepenuhnya teraktualisasikan dengan baik, dimana partai-partai banyak memperoleh kritik serius dari publik, arus "antipartai" tak dapat diabaikan. Ketika puluhan bahkan ratusan partai berguguran, maka sesungguhnya telah terjadi "seleksi alamiah". Dengan adanya aturan Parliamentary Threshold (PT) kini hanya ada sembilan partai yang eksis di DPR.


Antiklimaks

Sungguh, setelah kampanye dan "debat" antarcapres berlangsung, kesan antiklimaks itu makin terasa. Saling sindir dalam kampanye masing-masing, nyatanya "lebur" dalam "debat yang santun" dimana antarcapres saling setuju dan menambahkan pendapat masing-masing. Kekontrasan satu sama lain cenderung "lebur".

Kondisi ini bisa menguntungkan capres "incumbent". Kesempatan yang bukan "incumbent" agar kekontrasan itu mengemuka lagi masih terbuka, namun kalau langkah mereka tidak tepat dalam logika politik citra, "incumbent" susah dikalahkan.

Betapapun demikian, sekali lagi publik di mana-mana semakin merasa "biasa-biasa saja" dalam pilpres kali ini. Semua ingin adanya perubahan ke arah yang lebih baik dan maju, terlepas dari apakah yang menjadi presiden SBY lagi, atau JK maupun Megawati.

Daftar Pemilih Tetap (DPT) sudah diperbaiki, sehingga pemungutan suara pilpres sudah akan melibatkan mereka yang terlewat dalam pemilu legislatif. Tetapi, kalau kelak tingkat golputnya masih cukup tinggi pula, perlu ditelaah lebih lanjut, apakah fenomena demikian merupakan bagian dari semakin tingginya kesadaran politik bahwa ikut memilih dalam pemilu itu hak, bukan kewajiban, sehingga kalau banyak yang golput karena memang pilihan-pilihannya dirasakan kurang menarik; ataukah memang jumlah pemilih yang cuek pada politik makin tinggi.

Bagaimana dengan Anda sendiri, cukup menarikkah pilpres sekarang?



*Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta