Peneliti: Perdagangan karbon dapat bersinergi dengan pemanfaatan hutan
24 Juni 2021 16:30 WIB
Tangkapan layar peneliti CIFOR Herry Purnomo dalam paparan Haze Outlook 2021 oleh SIIA, dipantau virtual dari Jakarta, Kamis (24/6/2021). ANTARA/Prisca Triferna.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo mengatakan perdagangan karbon dapat dibarengi dengan usaha pemanfaatan hutan dan lahan tanpa bakar seperti paludikultur di area gambut.
"Dapat menjadi sinergi antara perdagangan karbon dengan disertai paludikultur, nanas, gaharu. Jadi ini akan bekerja dengan lebih mudah," kata Herry dalam diskusi virtual yang diadakan Singapore Institute of International Affairs (SIIA), dipantau dari Jakarta, Kamis.
Mereka bisa menjaga kelestarian hutan dan lahan dengan membudidayakannya serta pada saat yang bersamaan mendapatkan insentif dari perdagangan karbon.
Baca juga: Menteri ESDM paparkan strategi RI capai netral karbon ke Menteri Ceko
"Ini menurut saya seperti sinergi mata pencaharian mereka saat ini dengan perdagangan karbon," tambah Herry.
Pemerintah Indonesia saat ini tengah mendorong penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dengan beberapa skema seperti perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon dan mekanisme lainnya.
Pembayaran berbasis kinerja sendiri telah dilakukan Indonesia lewat Green Climate Fund dan dengan pemerintah Norwegia lewat program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Terkait kredit karbon, Herry menyoroti perlunya sistem agar hal tersebut dapat juga diakses oleh perusahaan kecil dan menengah serta organisasi petani. Bagi perusahaan besar, jelasnya, mungkin akan lebih mudah melakukan sertifikasi bagi kredit karbon yang mereka miliki, berbeda dengan organisasi petani di tingkat kabupaten/kota yang juga memproduksi kredit karbon.
Baca juga: Menteri LHK: Agenda perubahan iklim RI tak tertinggal dengan yang lain
Kredit karbon adalah izin atau sertifikat berharga yang diberikan pada perusahaan tertentu agar perusahaan memiliki peluang untuk mengeluarkan gas rumah kaca dalam batas regulasi yang telah ditentukan.
"Mereka juga bisa memproduksi kredit karbon tapi jika mereka diminta untuk mensertifikasi kredit karbon mereka, dibutuhkan uang untuk melakukan itu," jelasnya.
Baca juga: Luhut: Indonesia - AS kerja sama capai nol emisi karbon
Baca juga: Anggota Komisi IV sebut pajak karbon waktunya belum tepat
"Dapat menjadi sinergi antara perdagangan karbon dengan disertai paludikultur, nanas, gaharu. Jadi ini akan bekerja dengan lebih mudah," kata Herry dalam diskusi virtual yang diadakan Singapore Institute of International Affairs (SIIA), dipantau dari Jakarta, Kamis.
Mereka bisa menjaga kelestarian hutan dan lahan dengan membudidayakannya serta pada saat yang bersamaan mendapatkan insentif dari perdagangan karbon.
Baca juga: Menteri ESDM paparkan strategi RI capai netral karbon ke Menteri Ceko
"Ini menurut saya seperti sinergi mata pencaharian mereka saat ini dengan perdagangan karbon," tambah Herry.
Pemerintah Indonesia saat ini tengah mendorong penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dengan beberapa skema seperti perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon dan mekanisme lainnya.
Pembayaran berbasis kinerja sendiri telah dilakukan Indonesia lewat Green Climate Fund dan dengan pemerintah Norwegia lewat program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Terkait kredit karbon, Herry menyoroti perlunya sistem agar hal tersebut dapat juga diakses oleh perusahaan kecil dan menengah serta organisasi petani. Bagi perusahaan besar, jelasnya, mungkin akan lebih mudah melakukan sertifikasi bagi kredit karbon yang mereka miliki, berbeda dengan organisasi petani di tingkat kabupaten/kota yang juga memproduksi kredit karbon.
Baca juga: Menteri LHK: Agenda perubahan iklim RI tak tertinggal dengan yang lain
Kredit karbon adalah izin atau sertifikat berharga yang diberikan pada perusahaan tertentu agar perusahaan memiliki peluang untuk mengeluarkan gas rumah kaca dalam batas regulasi yang telah ditentukan.
"Mereka juga bisa memproduksi kredit karbon tapi jika mereka diminta untuk mensertifikasi kredit karbon mereka, dibutuhkan uang untuk melakukan itu," jelasnya.
Baca juga: Luhut: Indonesia - AS kerja sama capai nol emisi karbon
Baca juga: Anggota Komisi IV sebut pajak karbon waktunya belum tepat
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: