Jakarta (ANTARA) - Wacana perpanjangan masa jabatan presiden sampai tiga periode didorong oleh kepentingan pragmatis sejumlah elit politik yang ingin mendapat keuntungan selama Presiden Republik Indonesia Joko Widodo terus menjabat, kata sejumlah pengamat dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu.

“Ada permainan elit politik. Saya kira orientasinya kekuasaan, bukan membangun bangsa dan negara,” kata Pengamat Politik Wempy Hadir pada acara diskusi.

Menurut Wempy, alasan yang turut mengiringi munculnya wacana itu ada dua, yaitu kondisi darurat akibat pandemi COVID-19 dan polarisasi atau perpecahan masyarakat akibat pemilihan presiden 2024.

Namun, dua alasan itu, yang kerap disampaikan di hadapan publik, bukan motif yang mendorong sekelompok orang memunculkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Pasalnya, ada orang-orang di lingkaran dekat penguasa yang berkepentingan mempertahankan kekuasaan dan posisinya selama Joko Widodo menjabat sebagai presiden, kata Wempy.

“Mereka mendesain ini seperti jadi hegemoni, karena dampak kekuasaan itu ada tiga, yaitu akumulasi ekonomi atau harta, kekuatan politik, dan dampak sosial,” terang Wempy.

Baca juga: MPR kritik wacana referendum masa jabatan presiden

Keinginan untuk mendapatkan tiga keuntungan itu menjadikan sekelompok orang mengerahkan segala cara memunculkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden sampai tiga periode, meskipun itu melanggar konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, ujar Wempy Hadir.

Oleh karena itu, ia meminta Presiden Joko Widodo agar waspada dan tidak tergoda oleh wacana tersebut, mengingat kekuatan koalisi partai politik pendukung Presiden saat ini cukup dominan di Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

“Ini skenario menjebak Presiden Jokowi dan mencetak sejarah kelam negeri ini,” tegas Wempy.

Dalam sesi diskusi yang sama, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus sependapat dengan Wempy bahwa wacana itu dimunculkan oleh pihak-pihak yang ingin melanggengkan kekuasaannya.

“Dorongan utama yang memunculkan wacana ini adalah ketakutan, post-power syndrome. Orang-orang yang sudah memiliki kekuasaan takut kehilangan itu,” kata Lucius Karus.

Baca juga: Wacana ubah masa jabatan presiden ancam demokrasi RI

Terkait wacana itu, beberapa politisi dan anggota dewan dalam beberapa hari terakhir menyatakan penolakannya terhadap wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basarah dalam sebuah acara peluncuran hasil survei akhir pekan lalu menegaskan pihaknya menolak gagasan masa jabatan presiden tiga periode.

"Gagasan tentang masa jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode ini jelas jauh dari pandangan dan sikap politik PDI-P," kata Ahmad Basarah.

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI Saleh Partaonan Daulay pada awal minggu ini mengatakan pihaknya menolak wacana masa jabatan presiden tiga periode karena bertentangan dengan amanat UUD 1945 dan amanat reformasi.

"Fraksi PAN menolak gagasan masa jabatan presiden tiga periode karena kami taat konstitusi. Konstitusi kita menyebutkan masa jabatan presiden adalah lima tahun dan bisa diperpanjang untuk satu periode," terang Saleh.

Baca juga: Akademisi: Menambah masa jabatan presiden buka ruang otoritarianisme