BPJPH nyatakan dukung pengembangan industri tekstil halal
22 Juni 2021 14:13 WIB
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin Gati Wibawaningsih (kiri) menunjukan halaman virtual pameran Indonesia Industrial Moslem Exhibition (ii-Motion) 2021 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Kamis (3/6/2021). Pameran yang dilaksanakan secara virtual dan dibuka oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin itu bertujuan mewuujudkan Indonesia menjadi produsen dan eksportir produk halal terbesar di dunia. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/wsj. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL)
Jakarta (ANTARA) - Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama mendukung upaya Kementerian Perindustrian dalam pengembangan industri tekstil halal karena memiliki potensi besar dalam memacu perekonomian nasional.
"Kami sangat berkomitmen untuk mendukung pengembangan industri halal, termasuk industri tekstil halal. Dan ini menjadi bagian dari sinergi yang selama ini dilakukan dengan 'stakeholder' halal terkait. khususnya Kemenperin," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPJPH Kemenag Mastuki dalam siniar yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan produk tekstil dan pakaian termasuk ke dalam produk yang wajib bersertifikat halal sebagai barang gunaan jika berasal dari dan/atau mengandung bahan atau unsur hewan sesuai ketentuan KMA Nomor 464 Tahun 2020.
Dalam upaya terintegrasi industri halal mulai dari input, produksi, distribusi, pemasaran, dan konsumsi ini dikenal sebagai Halal Value Chain atau rantai hilai halal, maka industri tekstil perlu didorong dalam produk yang wajib mendapat sertifikasi halal.
"Halal tak hanya dilihat dari zat seperti bangkai, darah, babi dan sebagainya saja, tetapi konsep halal juga mencakup bagaimana proses atau cara memperolehnya atau pembuatannnya, yang disebut sebagai konsep traceability atau ketertelusuran kehalalan dari hulu hingga ke hilir, dari penyediaan bahan hingga produk siap konsumsi," katanya.
Mastuki mengatakan terdapat sejumlah titik kritis kehalalan baik secara teknis maupun manajemen dalam industri tekstil yang harus menjadi perhatian.
"Secara teknis, titik kritis kehalalan industri tekstil ini mencakup bahan baku, bahan penolong, proses produksi, dan kemasan. Sedangkan secara manajemen, harus ada tugas dan fungsi penyedia halal atau auditor halal internal yang dijalankan," katanya.
Secara garis besar, kata dia, industri halal harus menjalankan sedikitnya lima hal dalam sistem jaminan produk halal. Pertama, memastikan bahwa bahan baku yang digunakan adalah bahan baku halal. Kedua, proses produksi tidak boleh tercampur dengan bahan/barang yang haram atau najis. Ketiga, tempat, peralatan, dan fasilitas produksi harus terpisah dari kemungkinan kontaminasi barang yang haram.
"Keempat, setelah proses produksi selesai, jika ada masa penyimpanan produk maka produk harus disimpan di tempat yang terpisah dengan barang-barang yang haram. Kelima, distribusi produk harus berdasarkan prinsip kemaslahatan dan terhindar dari kontaminasi barang-barang yang haram/najis," demikian Mastuki.
Baca juga: BPJPH: Sistem ketertelusuran produk akan perkuat rantai nilai halal
Baca juga: Kemenag dan Prancis jajaki kerja sama jaminan produk halal
Baca juga: Masa berlaku sertifikasi halal MUI berubah dari 2 menjadi 4 tahun
Baca juga: BPJPH akan meratifikasi sistem jaminan produk halal
"Kami sangat berkomitmen untuk mendukung pengembangan industri halal, termasuk industri tekstil halal. Dan ini menjadi bagian dari sinergi yang selama ini dilakukan dengan 'stakeholder' halal terkait. khususnya Kemenperin," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPJPH Kemenag Mastuki dalam siniar yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan produk tekstil dan pakaian termasuk ke dalam produk yang wajib bersertifikat halal sebagai barang gunaan jika berasal dari dan/atau mengandung bahan atau unsur hewan sesuai ketentuan KMA Nomor 464 Tahun 2020.
Dalam upaya terintegrasi industri halal mulai dari input, produksi, distribusi, pemasaran, dan konsumsi ini dikenal sebagai Halal Value Chain atau rantai hilai halal, maka industri tekstil perlu didorong dalam produk yang wajib mendapat sertifikasi halal.
"Halal tak hanya dilihat dari zat seperti bangkai, darah, babi dan sebagainya saja, tetapi konsep halal juga mencakup bagaimana proses atau cara memperolehnya atau pembuatannnya, yang disebut sebagai konsep traceability atau ketertelusuran kehalalan dari hulu hingga ke hilir, dari penyediaan bahan hingga produk siap konsumsi," katanya.
Mastuki mengatakan terdapat sejumlah titik kritis kehalalan baik secara teknis maupun manajemen dalam industri tekstil yang harus menjadi perhatian.
"Secara teknis, titik kritis kehalalan industri tekstil ini mencakup bahan baku, bahan penolong, proses produksi, dan kemasan. Sedangkan secara manajemen, harus ada tugas dan fungsi penyedia halal atau auditor halal internal yang dijalankan," katanya.
Secara garis besar, kata dia, industri halal harus menjalankan sedikitnya lima hal dalam sistem jaminan produk halal. Pertama, memastikan bahwa bahan baku yang digunakan adalah bahan baku halal. Kedua, proses produksi tidak boleh tercampur dengan bahan/barang yang haram atau najis. Ketiga, tempat, peralatan, dan fasilitas produksi harus terpisah dari kemungkinan kontaminasi barang yang haram.
"Keempat, setelah proses produksi selesai, jika ada masa penyimpanan produk maka produk harus disimpan di tempat yang terpisah dengan barang-barang yang haram. Kelima, distribusi produk harus berdasarkan prinsip kemaslahatan dan terhindar dari kontaminasi barang-barang yang haram/najis," demikian Mastuki.
Baca juga: BPJPH: Sistem ketertelusuran produk akan perkuat rantai nilai halal
Baca juga: Kemenag dan Prancis jajaki kerja sama jaminan produk halal
Baca juga: Masa berlaku sertifikasi halal MUI berubah dari 2 menjadi 4 tahun
Baca juga: BPJPH akan meratifikasi sistem jaminan produk halal
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021
Tags: