Ramallah, Wilayah Palestina (ANTARA News/AFP) - Sepuluh tahun sesudah pecah intifada terakhir, pembicaraan damai kembali mengalami krisis dan para pemukim Israel mencurahkan semen cor, namun kali ini bangsa Palestina diam.

Para pemimpin AS, Israel dan Palestina sedang berjuang untuk mempertahankan agar proses perdamaian tetap hidup sesudah berakhirnya moratorium pembangunan pemukiman, namun jalanan sepi di wilayah Palestina dan sedikit yang memrediksi berulangnya peristiwa berdarah pada September 2000.

Situasi tenang di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza yang dikuasai Hamas sebagian karena dampak rendahnya harapan pada putaran perundingan terakhir yang dimulai di Washington pada 2 September.

"Orang Palestina biasa tidak tertarik dengan perundingan karena tahu tidak akan mencapai apapun juga," kata Abu Ahmad, 38, seorang mantan komandan militan di kota Nablus Tepi Barat bagian utara yang kini bekerja untuk kekuatan pengamanan Palestina yang didukung Barat.

"Namun bangsa Palestina harus membayar mahal selama intifada Al-Aqsa. Terdapat ribuan martir dan orang terluka dan tahanan... dan hal itu tidak mengakhiri pendudukan atau menghentikan pemukiman," katanya.

Kepala angkatan bersenjata Israel Gabi Ashkenazi mengatakan minggu lalu bahwa militer siap menghadapi kekerasan namun tidak melihat pemberontakan dalam skala penuh.

"Apakah perundingan berhasil, atau gagal, ataukah akan berakhir, penilaiannya adalah bahwa akan ada insiden kekerasan, namun bukan gelombang teror seperti pada tahun 2000," katanya kepada komite parlemen.

Sebuah jajak pendapat minggu lalu menunjukkan kebanyakan orang Palestina tak percaya pembicaraan damai akan mengubah apapun, tetapi bahkan mayoritas besar menentang serangan terhadap orang Israel.

Sentimen seperti ini jauh berbeda dari kemarahan yang menyapu wilayah itu sesudah runtuhnya pembicaraan damai Camp David pada Juli 2000.

Selasa akan menandai ulang tahun ke-10 kunjungan Ariel Sharon ke kompleks masjid Al-Aqsa yang dipersengketakan di Jerusalem, yang memicu kerusuhan mematikan berhari-hari yang akhirnya menelan wilayah pendudukan.

Lima tahun kemudian muncul sejumlah pemboman bunuh diri Palestina di kota-kota besar Israel maupun serbuan militer skala besar ke Tepi Barat dan Gaza. 4.700 orang terbunuh, hampir 80 persennya orang Palestina.

Kekerasan mulai hilang pada akhir 2004 menyusul kematian pemimpin Palestina Yasser Arafat, yang telah dikepung di kompleks Ramalahnya oleh kekuatan Israel selama tiga tahun sebelumnya.

Penerusnya, Presiden Mahmud Abbas, mendeklarasikan pengakhiran permusuhan, dan dalam tahun-tahun belakangan angkatan bersenjatanya telah mengalihkan bekas benteng pertahanan militan menjadi model stabilitas dan mendapat pujian AS dan Israel.

"Abu Mazen adalah seorang yang suka damai," kata Abu Ahmad, menggunakan nama populer untuk Abbas. "Dia tidak mau membantu gerakan perlawanan bahkan meskipun perundingan gagal dan pembangunan pemukiman terus berlanjut."

Namun Abbas tak lebih dekat daripada pendahulunya untuk mengakhiri pendudukan, dan telah gagal menyuruh Israel menghentikan pembangunan pemukiman di wilayah pendudukan yang dianggap sebagai bentuk negara Palestina mendatang.

Dan para rivalnya dalam gerakan militan Hamas yang memerintah Gaza kebanyakan masih mematuhi gencatan senjata yang tak dideklarasikan menyusul berakhirnya perang Gaza selama 22 hari pada Januari 2009, meski terlibat dalam dua penembakan Tepi Barat yang menewaskan empat pemukim akhir bulan lalu.

Perdana Menteri Israel Banyamin Netanyahu, Minggu, memperbolehkan moratorium pemukiman parsial 10-bulan habis masa berlakunya meskipun Abbas bersumpah akan meninggalkan pembicaraan damai jika pembangunan dilanjutkan.

"Akan ada krisis baru seperti krisis yang dihasilkan dari perundingan Camp David pada 2000," kata Samih Shabib, seorang professor ilmu politik di Universitas Birzeit di Tepi Barat.

"Saya tidak berpikir akan ada intifada ketiga, namun Israel memelihara ide tersebut."

Keputusan untuk melanjutkan kembali pembangunan pemukiman mungkin lebih kontroversial jika Palestina percaya Israel sebenarnya telah menghentikan pembangunan lebih dulu.

Otoritas Palestina menolak moratorium saat diterapkan tahun lalu karena tidak menyertakan Jerusalem timur yang dianeksasi. Otoritas Palestina menglaim pemukim telah mengambil hampir 600 hektar tanah Tepi Barat sejak itu.

"Pemukiman Israel, sejauh yang saya lihat tiap hari dengan mata sendiri tidak berhenti sekejap pun," kata Mohammed Badr, 32, seorang tukang listrik dari sebuah desa di luar Ramallah.

"Saya tidak mengerti apa artinya menuntut pembekuan pemukiman dan bukan pemindahan," tambahnya.

Ia tidak berharap krisis politik akan meluber ke jalan-jalan namun, seperti kebanyakan orang Palestina, semuanya terlalu sadar betapa cepatnya segala sesuatu dapat berubah.

"Mungkin akan ada pemberontakan. Bahkan saat Anda melihat orang tenang, anda tidak pernah tahu. Pemberontakan dapat pecah begitu saja." (ANT/K004/TERJ)