BMKG: Belum ada negara yang mampu deteksi dini tsunami non tektonik
16 Juni 2021 17:32 WIB
Tangkapan layar, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati (kiri) memberikan penjelasan terkait gempa bumi magnitudo 6,1 yang terjadi di Maluku Tengah pada Rabu (16/6/2021) (ANTARA/Desi Purnamawati)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan hingga saat ini belum ada negara yang mampu mendeteksi dini tsunami non tektonik atau yang tidak disebabkan oleh gempa bumi.
"Saat ini tsunami non tektonik belum bisa dideteksi dini, termasuk negara maju. Maka kami meminta dengan sangat masyarakat menggunakan kearifan lokal kalau merasakan guncangan gempa yang sangat kuat terutama di wilayah pesisir segera tinggalkan ke tempat yang lebih tinggi," kata Dwikorita dalam jumpa pers yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.
Lebih lanjut Dwikorita mengatakan, BMKG secara khusus memantau wilayah Maluku Tengah karena berdasarkan sejarah cukup sering terjadi tsunami. Tsunami yang terjadi bisa saja bukan disebabkan oleh gempa bumi, tapi akibat tebing yang longsor di pantai, ataupun longsor di bawah laut.
Sebelumnya terjadi gempa dengan magnitudo 6,1 yang kemudian dimutakhirkan menjadi 6,0 yang berlokasi di laut pada jarak 69 km arah Tenggara Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku pada kedalaman 19 km.
Hasil pemodelan tsunami dengan sumber gempa tektonik menunjukkan bahwa gempa tersebut tidak berpotensi tsunami, namun berdasarkan hasil observasi tinggi muka air laut di stasiun Tide Gauge Tehoru menunjukkan adanya kenaikan muka air laut setinggi 0,5 m. Hal ini diperkirakan akibat dari longsoran bawah laut.
Baca juga: Gempa magnitudo 6,1, warga Tehoru-Malteng mengungsi ke perbukitan
Baca juga: Gempa Pulau Seram sebabkan tanah amblas di Kecamatan Tehoru
Terkait gempa tersebut, BMKG mengeluarkan imbauan kepada masyarakat terutama di wilayah sepanjang Pantai Japutih sampai Pantai Atiahu Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram, Maluku untuk waspada gempa susulan dan potensi tsunami akibat longsor ke laut atau di bawah laut, maka segera menjauhi pantai menuju tempat tinggi apabila merasakan guncangan gempa cukup kuat.
"Apabila batuan itu masuk ke laut bisa menyebabkan tsunami, datangnya sangat cepat hanya dua menit seperti di Palu," tambah dia.
Dwikorita menjelaskan, secara teori tsunami terjadi 20 menit setelah gempa kuat di laut dengan kedalaman dangkal, namun teori tersebut runtuh dengan kejadian tsunami di Palu pada 2018 dimana tsunami terjadi sangat cepat hanya dua menit akibat longsor bawah laut.
"Ini menjadi PR para ahli bagaimana memberikan peringatan dini tsunami non tektonik. Karena itu kami imbau siapapun yang ada di pantai, apabila merasakan guncangan gempa yang cukup kuat segera mencari tempat yang lebih tinggi," tegas Dwikorita.
Gempa yang cukup kuat tersebut apabila merasa terayun atau jika berdiri seakan-akan mau jatuh, maka tidak perlu menunggu adanya peringatan dini, tapi segera meninggalkan pantai.
Baca juga: BPBD Maluku Tengah : Tiga desa terdampak gempa magnitudo 6,1
Baca juga: BMKG : Waspadai potensi tsunami dampak gempa magnitudo 6,1
"Saat ini tsunami non tektonik belum bisa dideteksi dini, termasuk negara maju. Maka kami meminta dengan sangat masyarakat menggunakan kearifan lokal kalau merasakan guncangan gempa yang sangat kuat terutama di wilayah pesisir segera tinggalkan ke tempat yang lebih tinggi," kata Dwikorita dalam jumpa pers yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.
Lebih lanjut Dwikorita mengatakan, BMKG secara khusus memantau wilayah Maluku Tengah karena berdasarkan sejarah cukup sering terjadi tsunami. Tsunami yang terjadi bisa saja bukan disebabkan oleh gempa bumi, tapi akibat tebing yang longsor di pantai, ataupun longsor di bawah laut.
Sebelumnya terjadi gempa dengan magnitudo 6,1 yang kemudian dimutakhirkan menjadi 6,0 yang berlokasi di laut pada jarak 69 km arah Tenggara Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku pada kedalaman 19 km.
Hasil pemodelan tsunami dengan sumber gempa tektonik menunjukkan bahwa gempa tersebut tidak berpotensi tsunami, namun berdasarkan hasil observasi tinggi muka air laut di stasiun Tide Gauge Tehoru menunjukkan adanya kenaikan muka air laut setinggi 0,5 m. Hal ini diperkirakan akibat dari longsoran bawah laut.
Baca juga: Gempa magnitudo 6,1, warga Tehoru-Malteng mengungsi ke perbukitan
Baca juga: Gempa Pulau Seram sebabkan tanah amblas di Kecamatan Tehoru
Terkait gempa tersebut, BMKG mengeluarkan imbauan kepada masyarakat terutama di wilayah sepanjang Pantai Japutih sampai Pantai Atiahu Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram, Maluku untuk waspada gempa susulan dan potensi tsunami akibat longsor ke laut atau di bawah laut, maka segera menjauhi pantai menuju tempat tinggi apabila merasakan guncangan gempa cukup kuat.
"Apabila batuan itu masuk ke laut bisa menyebabkan tsunami, datangnya sangat cepat hanya dua menit seperti di Palu," tambah dia.
Dwikorita menjelaskan, secara teori tsunami terjadi 20 menit setelah gempa kuat di laut dengan kedalaman dangkal, namun teori tersebut runtuh dengan kejadian tsunami di Palu pada 2018 dimana tsunami terjadi sangat cepat hanya dua menit akibat longsor bawah laut.
"Ini menjadi PR para ahli bagaimana memberikan peringatan dini tsunami non tektonik. Karena itu kami imbau siapapun yang ada di pantai, apabila merasakan guncangan gempa yang cukup kuat segera mencari tempat yang lebih tinggi," tegas Dwikorita.
Gempa yang cukup kuat tersebut apabila merasa terayun atau jika berdiri seakan-akan mau jatuh, maka tidak perlu menunggu adanya peringatan dini, tapi segera meninggalkan pantai.
Baca juga: BPBD Maluku Tengah : Tiga desa terdampak gempa magnitudo 6,1
Baca juga: BMKG : Waspadai potensi tsunami dampak gempa magnitudo 6,1
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021
Tags: