Kupang (ANTARA ) - Pemerhati masalah Laut Timor,. Ferdi Tanon. mengatakan seluruh perjanjian RI-Australia di Laut Timor harus dibatalkan sebelum Indonesia dan Timor Leste menetapkan garis batas permanen wilayah perairan kedua negara.

"Pembatalan ini amat sangat penting untuk kemudian dirundingkan secara trilateral bersama RI-Timor Leste dan Australia sesuai prinsip internasional yang berlaku dengan menggunakan garis tengah," katanya di Kupang, Selasa.

Penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" mengemukakan pandangannya tersebut menanggapi pertemuan DPD-RI dengan Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Senin (20/9), yang antara lain membahas tentang isu batas laut Indonesia-Timor Leste.

Menurut Tanoni, jika Indonesia tidak membatalkan seluruh perjanjian di Laut Timor dengan Australia terlebih dahulu, maka Indonesia pada akhirnya akan kalah dalam diplomasi garis batas dengan sebuah negara kecil setengah Pulau Timor itu.

"Saya memperkirakan Indonesia hanya akan kebagian 7,5 sampai 15 persen saja dari wilayah Laut Timor yang kaya raya akan deposit fosil bahan bakar jika tidak terlebih dahulu membatalkan seluruh perjanjian di Laut Timor dengan Australia," kata mantan agen Imigrasi Kedutaan Besar Australia itu.

Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) ini juga menanyakan lambannya Kementerian Luar Negeri Indonesia merundingkan batas laut Timor dengan Timor Leste setelah bekas provinsi ke-27 Indonesia itu berpisah menjadi sebuah negara merdeka melalui referendum 30 Agustus 1999 lalu.

"Apakah Kementerian Luar Negeri Indonesia takut atau dipaksa untuk tidak melakukan atau memang dari segi diplomasi tidak mampu dan lemah menghadapi Timor Leste dan Australia atau ada faktor lain yang menyebabkan pembahasan batas maritim RI-Timor Leste menjadi sangat lamban," katanya dalam nada tanya.

"Saya khawatir, jangan sampai perundingan batas Laut Timor dengan Timor Leste itu baru akan selesai 20 tahun lagi ketika hampir seluruh kekayaan di Laut Timor telah habis dikuras oleh Timor Leste dan Australia. Ini patut kita pertanyakan," ujarnya.

Tanoni mengaku kecewa terhadap Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menyatakan bahwa batas-batas RI-Australia di Laut Timor termasuk di selatan Pulau Rote telah selesai.

"Ini kebohongan besar kepada publik Indonesia dan dunia internasional, karena Perjanjian Batas-batas Dasar Laut Tertentu dan ZEE antara RI-Australia di Laut Timor dan Arafura tahun 1997 yang di dalamnya tercakup pula Gugusan Pulau Pasir, hingga hari ini belum diratifikasi oleh parlemen Australia maupun Indonesia," kata Tanoni.

Ia menambahkan perjanjian yang hanya memuat 11 pasal itu menegaskan, "perjanjian ini mulai berlaku pada saat pertukaran piagam-piagam ratifikasi", sehingga sangat tidak logis jika Natalegawa mengatakan perjanjian RI-Australian di Laut Timor selesai.

"Kementerian Luar Negeri Indonesia membiarkan aparat keamanan Australia dengan bebas menggiring dan menagkap para nelayan tradisional di kawasan tersebut, kemudian menuduh mereka sebagai penyelundup imigran gelap," katanya.

"Janganlah sepotong-sepotong wilayah kedaulatan NKRI ini tergadaikan atau digadaikan kepada negara asing karena ketidakmampuan dan ketidakpiawaian Menteri Luar Negeri dan stafnya berdiplomasi dengan negara asing," tambahnya.

Tanoni menegaskan pihaknya akan menggalang kekuatan masyarakat adat untuk melawan Australia di pengadilan internasional dengan menggunakan hak-hak ulayat masyarakat adat atas Laut Timor yang dilindungi Piagam PBB.

"Hak-hak ulayat masyarakat adat juga sudah merupakan sebuah hukum posistif di Australia, sehingga kami tidak merasa cemas dan khawatir jika melakukan perlawanan terhadap Australia di pengadilan internasional," demikian Ferdi Tanoni.(*)

ANT/AR09