BIN paparkan sejumlah ancaman yang ganggu stabilitas keamanan nasional
15 Juni 2021 19:33 WIB
Tangkapan layar Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto dalam Webinar PA GMNI bertema "Pertahanan Negara dan Keamanan Nasional: Strategi, Kebijakan dan Pembangunan yang sesuai dengan Karakter bangsa", di Jakarta, Selasa (15/6/2021). ANTARA/Syaiful Hakim
Jakarta (ANTARA) - Badan Intelijen Negara (BIN) memaparkan sejumlah ancaman nasional yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto dalam webinar PA GMNI bertema "Pertahanan Negara dan Keamanan Nasional: Strategi, Kebijakan dan Pembangunan yang sesuai dengan Karakter bangsa", secara virtual, di Jakarta, Selasa, mengatakan, beberapa ancaman itu, yakni pandemik COVID-19, radikalisme dan separatisme di Papua.
Menurut dia, pandemik COVID-19 menjadi ancaman karena mengancam keselamatan masyarakat luas.
"Pelonjakan kasus COVID-19 berpotensi mengancam keselamatan masyarakat, memperburuk resesi ekonomi, mengakibatkan lumpuhnya fasilitas-fasilitas kesehatan, terhambat-nya pendidikan dan gelombang pengangguran yang semakin masif," tutur Wawan.
Ancaman lainnya, kata dia, adalah radikalisme. "Media sosial disinyalir menjadi inkubator radikalisme, khususnya generasi muda. Kecenderungan ini dikuatkan survei BNPT terbaru bahwa 85 persen generasi milenial rentan terpapar radikalisme. Kondisi ini patut menjadi perhatian bersama mengingat Indonesia sedang menghadapi bonus demografi," ujarnya.
Selain itu, ancaman yang patut menjadi perhatian bersama, yakni gerakan separatisme di Papua. Dia menjelaskan, separatisme di Papua merupakan salah satu ancaman yang dapat menciptakan disintegrasi bangsa.
Selain merongrong kewibawaan negara, kata Wawan, kelompok separatisme terindikasi menjadi salah satu sumber konflik dalam pembangunan di Papua.
"Dan ini kita lakukan upaya penanganan secara komprehensif dan berkelanjutan tanpa menghambat upaya membangun Papua secara cepat supaya mengejar ketertinggalan dari provinsi lain," papar Wawan.
Demikian juga penyebaran hoaks di media sosial perlu mendapat perhatian serius, terutama mengenai isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
"Penyebaran kabar terkait isu sensitif tersebut akan berdampak luas karena sifat media sosial yang mampu menyebarkan informasi secara cepat dan tidak terjangkau," tutur-nya.
Baca juga: BIN: Intelijen lini terdepan sistem keamanan nasional
Baca juga: BIN sarankan amandemen undang-undang otsus Papua dipercepat
SARA menjadi ancaman nasional yang perlu diantisipasi, dimana kasus SARA yang sering mengemuka antara lain sentimen keagamaan, konflik antar etnis, rasisme terhadap etnis tertentu, situasi di Papua maupun konflik antara Syiah dan Sunni.
Dia menilai, isu sensitif tersebut menjadi ancaman serius karena dapat menimbulkan konflik horizontal.
Tak hanya itu, serangan siber juga masuk dalam daftar ancaman nasional. Ancaman siber menjadi hal yang sulit dihindari di tengah masif-nya penetrasi internet. Terlebih, pemahaman mengenai keamanan siber masyarakat Indonesia masih perlu terus dilakukan pembenahan.
"Serangan peretas yang terus terjadi berpotensi menghambat digitalisasi ekonomi dan rentan memicu pesimisme publik terhadap program revolusi industru 4.0 yang saat ini terus dioptimalkan pemerintah," papar Wawan.
Oleh karena itu, BIN sebagai lini terdepan sistem keamanan nasional terus mengoptimalkan deteksi dini dan cegah dini.
"BIN terus mengoptimalkan patroli siber selama 24 jam untuk memonitor narasi yang berpotensi menggiring opini publik terkait berita negatif dan hoaks terkait kinerja pemerintah di bidang sistem keamanan nasional di medsos," ujarnya.
Selain itu, sesuai UU Nomor 17 tahun 2011, BIN terus mengoptimalkan berbagai operasi dan intelijen termasuk melaksanakan koordinasi dengan kementerian atau lembaga yang berwenang mengenai penguatan sistem keamanan nasional ini.
"BIN terus merangkul berbagai tokoh agama, adat, pelaku sejarah, jurnalis, dan kalangan pemuda untuk bersama-sama mendukung program nasional," ujar Wawan Purwanto.
BSSN, Polri, dan Kemenkominfo dan instansi lain terus memaksimalkan patroli siber guna meredam dan menindak penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah di medsos.
Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto dalam webinar PA GMNI bertema "Pertahanan Negara dan Keamanan Nasional: Strategi, Kebijakan dan Pembangunan yang sesuai dengan Karakter bangsa", secara virtual, di Jakarta, Selasa, mengatakan, beberapa ancaman itu, yakni pandemik COVID-19, radikalisme dan separatisme di Papua.
Menurut dia, pandemik COVID-19 menjadi ancaman karena mengancam keselamatan masyarakat luas.
"Pelonjakan kasus COVID-19 berpotensi mengancam keselamatan masyarakat, memperburuk resesi ekonomi, mengakibatkan lumpuhnya fasilitas-fasilitas kesehatan, terhambat-nya pendidikan dan gelombang pengangguran yang semakin masif," tutur Wawan.
Ancaman lainnya, kata dia, adalah radikalisme. "Media sosial disinyalir menjadi inkubator radikalisme, khususnya generasi muda. Kecenderungan ini dikuatkan survei BNPT terbaru bahwa 85 persen generasi milenial rentan terpapar radikalisme. Kondisi ini patut menjadi perhatian bersama mengingat Indonesia sedang menghadapi bonus demografi," ujarnya.
Selain itu, ancaman yang patut menjadi perhatian bersama, yakni gerakan separatisme di Papua. Dia menjelaskan, separatisme di Papua merupakan salah satu ancaman yang dapat menciptakan disintegrasi bangsa.
Selain merongrong kewibawaan negara, kata Wawan, kelompok separatisme terindikasi menjadi salah satu sumber konflik dalam pembangunan di Papua.
"Dan ini kita lakukan upaya penanganan secara komprehensif dan berkelanjutan tanpa menghambat upaya membangun Papua secara cepat supaya mengejar ketertinggalan dari provinsi lain," papar Wawan.
Demikian juga penyebaran hoaks di media sosial perlu mendapat perhatian serius, terutama mengenai isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
"Penyebaran kabar terkait isu sensitif tersebut akan berdampak luas karena sifat media sosial yang mampu menyebarkan informasi secara cepat dan tidak terjangkau," tutur-nya.
Baca juga: BIN: Intelijen lini terdepan sistem keamanan nasional
Baca juga: BIN sarankan amandemen undang-undang otsus Papua dipercepat
SARA menjadi ancaman nasional yang perlu diantisipasi, dimana kasus SARA yang sering mengemuka antara lain sentimen keagamaan, konflik antar etnis, rasisme terhadap etnis tertentu, situasi di Papua maupun konflik antara Syiah dan Sunni.
Dia menilai, isu sensitif tersebut menjadi ancaman serius karena dapat menimbulkan konflik horizontal.
Tak hanya itu, serangan siber juga masuk dalam daftar ancaman nasional. Ancaman siber menjadi hal yang sulit dihindari di tengah masif-nya penetrasi internet. Terlebih, pemahaman mengenai keamanan siber masyarakat Indonesia masih perlu terus dilakukan pembenahan.
"Serangan peretas yang terus terjadi berpotensi menghambat digitalisasi ekonomi dan rentan memicu pesimisme publik terhadap program revolusi industru 4.0 yang saat ini terus dioptimalkan pemerintah," papar Wawan.
Oleh karena itu, BIN sebagai lini terdepan sistem keamanan nasional terus mengoptimalkan deteksi dini dan cegah dini.
"BIN terus mengoptimalkan patroli siber selama 24 jam untuk memonitor narasi yang berpotensi menggiring opini publik terkait berita negatif dan hoaks terkait kinerja pemerintah di bidang sistem keamanan nasional di medsos," ujarnya.
Selain itu, sesuai UU Nomor 17 tahun 2011, BIN terus mengoptimalkan berbagai operasi dan intelijen termasuk melaksanakan koordinasi dengan kementerian atau lembaga yang berwenang mengenai penguatan sistem keamanan nasional ini.
"BIN terus merangkul berbagai tokoh agama, adat, pelaku sejarah, jurnalis, dan kalangan pemuda untuk bersama-sama mendukung program nasional," ujar Wawan Purwanto.
BSSN, Polri, dan Kemenkominfo dan instansi lain terus memaksimalkan patroli siber guna meredam dan menindak penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah di medsos.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021
Tags: