Museum Bali kaji koleksi "Palalintangan" sebagai literasi peradaban
15 Juni 2021 14:33 WIB
I Made Suatjana salah satu narasumber seminar saat menyampaikan pemaparan dalam seminar bertajuk "Wahana Widya Krama: Hutan Literasi Peradaban" ANTARA/Rhisma.
Denpasar (ANTARA) - Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Museum Bali bersama tim dari unsur akademisi dan praktisi melakukan kajian terhadap koleksi "Palalintangan" atau yang dalam khasanah umum termasuk dalam jenis astrologi dan horoskop, sehingga museum dapat menjadi sumber belajar dan literasi peradaban.
"Harus mulai diubah cara berpikir kita melihat museum. Dulu seolah-olah museum itu sebagai tempat yang kuno, masa lampau dan tidak ada fungsinya," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Prof I Gede Arya Sugiartha saat membuka Seminar Palalintangan di Museum Bali, Denpasar, Selasa.
Padahal, menurut dia, museum adalah salah satu tempat literasi peradaban, museum sebagai sumber belajar dan tempat belajar. Museum sekaligus sebagai tempat bersemayamnya sastra kearifan lokal dan nilai-nilai tradisi yang adiluhung.
"Peradaban dari zaman ke zaman tersimpan di museum. Melalui kajian dan seminar ini, kami mencarikan jalan agar koleksi bisa dicerna dengan cara kekinian dan diserap dengan mudah, terutama oleh generasi muda," ucap Arya Sugiartha.
Kepala UPTD Museum Bali Gusti Agung Ayu Cipta Dewi menambahkan dengan seminar bertajuk "Wahana Widya Krama: Hutan Literasi Peradaban" itu merupakan kelanjutan dari kajian koleksi Museum Bali, untuk bisa diterjemahkan bentuk dan fungsinya.
"Kegiatan ini sekaligus untuk menyempurnakan laporan terhadap hasil kajian dan mendapatkan rekomendasi dari peserta seminar untuk menguatkan hasil kajian tim," ujarnya.
Sementara itu I Made Suatjana, narasumber seminar menyampaikan di Museum Bali jumlah koleksi Palalintangan sebanyak delapan buah. Koleksi yang tertua itu dengan tanggal masuk 17 Juli 1933 atau setahun setelah Museum Bali diresmikan. Ada juga yang koleksi tahun 1940, 1945, dan 1986.
"Kondisi koleksi Palalintangan masih tersimpan dengan rapi. Hanya saja, sebelumnya informasi mengenai penjelasan isi dan koleksi Palalintangan belum ada," ujarnya dalam seminar yang juga menghadirkan narasumber Gede Marayana itu.
Untuk itulah, kajian tentang koleksi Palalintangan ini dilakukan guna membuka tabir mengenai bentuk dan fungsi Palalintangan yang dapat memberikan informasi kepada masyarakat.
Palalintangan dalam horoskop Bali, lanjut dia, mengungkap ramalan manusia berdasarkan kelahiran yang mengikuti sistem wewaran (Panca Wara dan Sapta Wara) dengan membedakan nasib manusia menjadi 35 tipe, hal ini terjadi karena pengaruh 35 rasi bintang.
Macam dan jenis lukisan Palalintangan pada koleksi Museum Bali hanya ada jenis Palalintangan yang terbuat dari kain blacu. Dalam koleksi palalintangan di Museum Bali berisi lukisan dewa-dewa, wayang, kayu, dan burung.
Suatjana melihat koleksi lukisan palalintangan di Museum Bali, lebih banyak sebagai hiasan, bukan sebagai simbol informasi. Dia mencontohkan untuk hari Rabu, dewanya merupakan Dewa Wisnu, dalam lukisan dewa-dewanya tidak berisi simbol senjata cakra dan maupun tidak berisi warna spesifik yang membedakan dewa satu dengan yang lainnya.
Ida Bagus Budayoga, narasumber lainnya mengatakan untuk menetralisir sifat-sifat yang bersifat keras atau panas dari kelahiran, dapat disejukkan atau dinetralisir dengan Upakara Bebayuhan. Namun, upacaranya tentu harus dilakukan oleh orang yang tepat dengan banten (sesajen) yang tepat.
Baca juga: Prof Dibia: Aksi kocak bisa nodai wibawa tari Barong Ket
Baca juga: Bamsoet dorong Museum Prakasa Rucira Garjita jadi tujuan wisata Bali
Baca juga: Museum di Bali diharapkan bisa kembali diminati masyarakat
"Harus mulai diubah cara berpikir kita melihat museum. Dulu seolah-olah museum itu sebagai tempat yang kuno, masa lampau dan tidak ada fungsinya," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Prof I Gede Arya Sugiartha saat membuka Seminar Palalintangan di Museum Bali, Denpasar, Selasa.
Padahal, menurut dia, museum adalah salah satu tempat literasi peradaban, museum sebagai sumber belajar dan tempat belajar. Museum sekaligus sebagai tempat bersemayamnya sastra kearifan lokal dan nilai-nilai tradisi yang adiluhung.
"Peradaban dari zaman ke zaman tersimpan di museum. Melalui kajian dan seminar ini, kami mencarikan jalan agar koleksi bisa dicerna dengan cara kekinian dan diserap dengan mudah, terutama oleh generasi muda," ucap Arya Sugiartha.
Kepala UPTD Museum Bali Gusti Agung Ayu Cipta Dewi menambahkan dengan seminar bertajuk "Wahana Widya Krama: Hutan Literasi Peradaban" itu merupakan kelanjutan dari kajian koleksi Museum Bali, untuk bisa diterjemahkan bentuk dan fungsinya.
"Kegiatan ini sekaligus untuk menyempurnakan laporan terhadap hasil kajian dan mendapatkan rekomendasi dari peserta seminar untuk menguatkan hasil kajian tim," ujarnya.
Sementara itu I Made Suatjana, narasumber seminar menyampaikan di Museum Bali jumlah koleksi Palalintangan sebanyak delapan buah. Koleksi yang tertua itu dengan tanggal masuk 17 Juli 1933 atau setahun setelah Museum Bali diresmikan. Ada juga yang koleksi tahun 1940, 1945, dan 1986.
"Kondisi koleksi Palalintangan masih tersimpan dengan rapi. Hanya saja, sebelumnya informasi mengenai penjelasan isi dan koleksi Palalintangan belum ada," ujarnya dalam seminar yang juga menghadirkan narasumber Gede Marayana itu.
Untuk itulah, kajian tentang koleksi Palalintangan ini dilakukan guna membuka tabir mengenai bentuk dan fungsi Palalintangan yang dapat memberikan informasi kepada masyarakat.
Palalintangan dalam horoskop Bali, lanjut dia, mengungkap ramalan manusia berdasarkan kelahiran yang mengikuti sistem wewaran (Panca Wara dan Sapta Wara) dengan membedakan nasib manusia menjadi 35 tipe, hal ini terjadi karena pengaruh 35 rasi bintang.
Macam dan jenis lukisan Palalintangan pada koleksi Museum Bali hanya ada jenis Palalintangan yang terbuat dari kain blacu. Dalam koleksi palalintangan di Museum Bali berisi lukisan dewa-dewa, wayang, kayu, dan burung.
Suatjana melihat koleksi lukisan palalintangan di Museum Bali, lebih banyak sebagai hiasan, bukan sebagai simbol informasi. Dia mencontohkan untuk hari Rabu, dewanya merupakan Dewa Wisnu, dalam lukisan dewa-dewanya tidak berisi simbol senjata cakra dan maupun tidak berisi warna spesifik yang membedakan dewa satu dengan yang lainnya.
Ida Bagus Budayoga, narasumber lainnya mengatakan untuk menetralisir sifat-sifat yang bersifat keras atau panas dari kelahiran, dapat disejukkan atau dinetralisir dengan Upakara Bebayuhan. Namun, upacaranya tentu harus dilakukan oleh orang yang tepat dengan banten (sesajen) yang tepat.
Baca juga: Prof Dibia: Aksi kocak bisa nodai wibawa tari Barong Ket
Baca juga: Bamsoet dorong Museum Prakasa Rucira Garjita jadi tujuan wisata Bali
Baca juga: Museum di Bali diharapkan bisa kembali diminati masyarakat
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021
Tags: