Kemenkeu ungkap alasan pemerintah perluas objek kena PPN
14 Juni 2021 14:41 WIB
Pedagang sembako yang tergabung dalam Ikatan Pedangan Pasar Indonesia (IKAPPI) Sultra menyatakan menolak ada rencana pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPn). Nampak pedagang sembako di pasar mandonga Kendari. ANTARA/Azis Senong.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengungkap alasan pemerintah dalam memperluas objek kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Kami mempertimbangkan untuk memperluas basis pengenaan PPN tetap dengan memperhatikan dengan kondisi yang ada saat ini,” katanya dalam media briefing secara daring di Jakarta, Senin.
Neil menyatakan pemerintah ingin menciptakan sistem pemungutan PPN yang lebih efisien dan less distortion mengingat distorsi ekonomi terjadi seiring adanya tax incidence sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.
Baca juga: Kemenkeu sebut PPN untuk sembako premium, contohnya daging wagyu
Kemudian, dibandingkan dengan negara lain ternyata tarif PPN di Indonesia termasuk relatif rendah karena rata-rata tarif PPN negara OECD mencapai 19 persen sedangkan negara BRICS sebesar 17 persen.
Selanjutnya, C-efficiency PPN Indonesia sebesar 0,6 atau 60 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut sedangkan Singapura, Thailand dan Vietnam sudah lebih tinggi 80 persen.
Ia menjelaskan terdapat pergeseran kondisi pengenaan perpajakan PPN secara global pada beberapa tahun terakhir yang disebabkan oleh tingginya tax expenditure.
“Tarif standar PPN di 127 negara yaitu sekitar 15,4 persen dan juga banyak negara yang kemudian meninjau ulang tarif PPN dalam rangka menjaga prinsip netralitas,” katanya.
Tak hanya itu, Neil menuturkan pemerintah juga ingin menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat terutama golongan menengah ke bawah yang lebih merasakan dampak pandemi COVID-19.
Baca juga: Anggota DPD RI minta pemerintah setop rencana penerapan PPN Sembako
Terlebih lagi, beberapa negara menggunakan PPN sebagai salah satu instrumen dalam rangka merespon pandemi COVID-19 untuk mengoptimalkan penerimaan negara.
“Ini menjadi bahan diskusi pemerintah untuk melihat apakah kita Indonesia bisa menggunakan PPN sebagai salah satu respon untuk menghadapi situasi saat ini,” ujarnya.
Ia mengatakan perluasan objek yang dikenakan PPN dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) menjadi opsi pemerintah untuk memaksimalkan penerimaan negara.
Hal itu dilakukan mengingat penerimaan dari PPN berkontribusi cukup dominan dalam struktur penerimaan pajak yaitu sekitar 42 persen.
Nantinya jika jadi diberlakukan maka pengenaan PPN untuk sembako dan pendidikan tidak akan dikenakan tarif yang merata.
Pemerintah hanya akan mengenakan PPN pada sembako yang bersifat premium saja, sedangkan untuk bidang pendidikan hanya dikenakan pada yang bersifat komersial.
“Kami ingin menonjolkan aspek keadilan dan gotong royong di mama pemerintah berupaya meningkatkan kepatuhan pajak terutama masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi pajak lebih besar daripada yang lainnya,” jelasnya.
“Kami mempertimbangkan untuk memperluas basis pengenaan PPN tetap dengan memperhatikan dengan kondisi yang ada saat ini,” katanya dalam media briefing secara daring di Jakarta, Senin.
Neil menyatakan pemerintah ingin menciptakan sistem pemungutan PPN yang lebih efisien dan less distortion mengingat distorsi ekonomi terjadi seiring adanya tax incidence sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.
Baca juga: Kemenkeu sebut PPN untuk sembako premium, contohnya daging wagyu
Kemudian, dibandingkan dengan negara lain ternyata tarif PPN di Indonesia termasuk relatif rendah karena rata-rata tarif PPN negara OECD mencapai 19 persen sedangkan negara BRICS sebesar 17 persen.
Selanjutnya, C-efficiency PPN Indonesia sebesar 0,6 atau 60 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut sedangkan Singapura, Thailand dan Vietnam sudah lebih tinggi 80 persen.
Ia menjelaskan terdapat pergeseran kondisi pengenaan perpajakan PPN secara global pada beberapa tahun terakhir yang disebabkan oleh tingginya tax expenditure.
“Tarif standar PPN di 127 negara yaitu sekitar 15,4 persen dan juga banyak negara yang kemudian meninjau ulang tarif PPN dalam rangka menjaga prinsip netralitas,” katanya.
Tak hanya itu, Neil menuturkan pemerintah juga ingin menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat terutama golongan menengah ke bawah yang lebih merasakan dampak pandemi COVID-19.
Baca juga: Anggota DPD RI minta pemerintah setop rencana penerapan PPN Sembako
Terlebih lagi, beberapa negara menggunakan PPN sebagai salah satu instrumen dalam rangka merespon pandemi COVID-19 untuk mengoptimalkan penerimaan negara.
“Ini menjadi bahan diskusi pemerintah untuk melihat apakah kita Indonesia bisa menggunakan PPN sebagai salah satu respon untuk menghadapi situasi saat ini,” ujarnya.
Ia mengatakan perluasan objek yang dikenakan PPN dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) menjadi opsi pemerintah untuk memaksimalkan penerimaan negara.
Hal itu dilakukan mengingat penerimaan dari PPN berkontribusi cukup dominan dalam struktur penerimaan pajak yaitu sekitar 42 persen.
Nantinya jika jadi diberlakukan maka pengenaan PPN untuk sembako dan pendidikan tidak akan dikenakan tarif yang merata.
Pemerintah hanya akan mengenakan PPN pada sembako yang bersifat premium saja, sedangkan untuk bidang pendidikan hanya dikenakan pada yang bersifat komersial.
“Kami ingin menonjolkan aspek keadilan dan gotong royong di mama pemerintah berupaya meningkatkan kepatuhan pajak terutama masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi pajak lebih besar daripada yang lainnya,” jelasnya.
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: