Jakarta (ANTARA News) - Komentar Thilo Sarrazin tentang Muslim telah memicu kemarahan di Jerman dan dunia, namun memenuhi selera kebanyakan masyarakat. Retorikanya adalah perlahan-lahan mengubah Jerman, dari masyarakat yang toleran menjadi komunitas yang dihinggapi takut kepada Islam atau Islamofobia.

"Pied Piper of Hamelin" ini tahu persis bagaimana mengelola wabah. Sarrazin memahami benar nada menggoda dan merayu, lalu berhasil mengatasi hambatan dengan metode-metodenya yang tidak biasa tersebut.

Namun karena masyarakat tidak membayarnya dan menolak mengupahnya, dia memutuskan mengambil langkah radikal dan merayu anak-anak Hamelin. Dengan cara seperti ini dia justru menghancurkan masyarakat yang sangat dia lindungi.

Tidak jelas kapan dan mengapa Dr Thilo Sarrazin (65), anak pasangan dokter dan putri pemilik tanah di Prusia, serta diduga berprilaku seperti itu sejak menjabat menteri keuangan di Berlin, memiliki gagasan ganjil seperti itu.

Apakah dia melihat dirinya kanselir di masa depan, dan menunggu diusung Partai Sosial Demokrat (SPD)? Apakah dia memilih menjadi CEO Deutsche Bank, bukan semata anggota dewan eksekutif di bank sentral Jerman itu? Apakah dia provokator atau bintang tamu populer di talkshow Jerman? Apa dia sungguh khawatir Jerman terlalu membiarkan diri dipengaruhi orang-orang asing?

Muncul bermacam pandangan yang berusaha menafsirkan prilaku Sarrazin. Umumnya menganggap dia telah berubah dari seseorang lemah lembut, politikus pemberani, dan pengecam anarkisme, menjadi seorang rasialis yang anti Muslim dan mencampakkan mitos kecerdasan genetis orang Yahudi.

Dua semakin menyuarakan keprihatinannya terhadap "identitas budaya Jerman" dan "karakter nasional," dan menyalahkan imigran Muslim atas semua masalah integrasi yang timbul di negerinya.

"Kita," katanya, merujuk masyarakat Jerman secara keseluruhan, "menjadi tak terhindarkan lagi menjadi lebih bodoh karena umat Islam. Sarrazin menunjuk komunitas Muslim tidak berupaya berintegrasi dan menghasilkan keturunan paling banyak di Jerman.

Sarrazin mengecualikan bebera komintas dalam dunia Islam, terutama warga Turki yang cerdas di Jerman.

Namun pandangan dasarnya menghilangkan keinginan untuk menangani soal imigrasi yang justru didukung Sarrazin di masa lalu. Salah satu frasa khas Sarrazin adalah muslim harus pergi.

Surat kabar ternama Frankfurter Allgemeine Zeitung menyebut-nyebut buku Sarrazin mengenai "sikap antiIslam berdasarkan genetik." Kanselir Angela Merkel jengkel setengah mati kepadanya. Stephan Kramer, Sekretaris Jenderal Majelis Yahudi Jerman, menyebutnya beraliran ekstrem kanan.

Menteri Dalam Negeri negara-kota Berlin, Ehrhart Körting, meminta buku itu ditindak karena menyiarkan kebencian. "Thilo telah menyimpang dengan selalu menyukai statistik tapi dalam perdebatan integrasi dia hanya menggunakan statistik yang cocok dengan gambaran musuh," katanya.

Retorika Sarrazin memicu kemarahan di luar negeri. Di Prancis, harian Le Monde menyebutnya "provokator rasis." Tetapi ada yang diam-diam mendukungnya. Pemikiran Sarrazin dikutip Der Spiegel, tabloid Bild dan mingguan Die Zeit. Media-media itu menjadi begitu populer.

Diterima

Penulis Jerman keturunan Turki yang juga sosiolog Necla Kelek membela ide-ide Sarrzin. Kelek adalah penggemar Sarrazin dan telah memenangkan beberapa penghargaan di Jerman. Dia menganggap semua masalah dunia disebabkan oleh Islam.

Buku tersebut berada pada daftar teratas buku laris Amazon.

Jika Sarrazin serigala penyendiri, yaitu penghasut di tengah padang yang tak dikawani siapapun, mungkin dia sudah berhenti lama.

Namun dengan tiupun seruling hasutannya yang menggoda, laki-laki itu kini memiliki banyak penggemar, termasuk perempuan Muslim keturunan Turki yang terang-terangan menolak mengenakan jilbab. Jelas, Sarrazin dan rekan-rekannya sebenarnya diterima secara sosial sejak lama.

Tindakan mereka berdampak dan mengubah Jerman. Memang tidak cepat, namun perlahan-lahan menggerogoti demokrasi, bagaikan cara racun bekerja.

Dari negara kosmopolitan yang dicirikan oleh kebebasan beragama, Jerman pelan-pelan didominasi oleh perasaan ketakutan dan mulai menjadi masyarakat yang Islamofobia.

Tentu saja ini berlebihan. Tapi orang Berlin menghadapi kenyataan-kenyataan memprihatinkan, diantaranya ada sekolah yang tigaperempat muridnya adalah dari keluarga imigran muslim. Ada selentingan bahwa klan-klan Arab dan Albania mengontrol sindikat kriminal dan memeras.

Lalu ada fenomena kawin paksa dan pembunuhan demi kehormatan. Di beberapa mesjib, sejumlah imam malah menolak mengecam terorisme atas nama Islam.

Tentu saja semua itu tidak ada hubungannya dengan lebih dari 90 persen muslim Jerman yang hidup berdampingan dengan damai.

Namun kenyataan itulah yang membakari munculnya stereotip bahwa Muslim itu musuh.

Mantan koresponden FAZ dan pengarang buku laris Udo Ulfkotte, mengungkapkan keprihatinan sama dengan Sarrazin dengan mengingatkan, "Tsunami Islamisasi tengah melanda benua kita."

Penulis Belanda dan kolumnis Leon de Winter, secara tidak langsung menyebut Islam musuh. Dia menulis, "Sejak 1960an, kita telah menipu diri kita sendiri bahwa semua budaya itu setara."

Wartawan dan penulis Ralph Giordano, mengkritik pembangunan masjid baru dan menyebut Islam agama totaliter.

Berpotensi keras

Memang harus diakui ada muslim Jerman yang bersimpati pada ide-ide Islam radikal yang tidak menolak kekerasan, yang menurut Lembaga Perlindungan Konstitusi, jumlahnya ada 36.270 orang. Islam juga sering dihubungkan dengan pemboman bunuh diri.

Setiap agama monoteistik yang eksklusif memang berpotensi melakukan kekerasan.

Namun tak seorang pun mengutuk Kristen secara keseluruhan ketika separatis Irlandia Utara membunuh atas nama Tuhan.

Kita tidak menyalahkan semua orang Katolik ketika beberapa dari mereka membunuh dokter aborsi atas nama keimanan. Dan kita tidak menyalahkan Yudaisme begitu seorang teroris Yahudi bernama Baruch Goldstein membantai puluhan Muslim yang lagi salat di Hebron, atas nama Yahwe.

Ironisnya kita mengutuk Islam, yang kitab sucinya berisi banyak bagian yang memuliakan kekerasan seperti halnya Perjanjian Lama.

Ketidakpercayaan terhadap Muslim meluas, hanya beberapa tahun setelah Serangan 9 September 2001 di New York.

Di Amerika Serikat yang secara tradisional adalah negara imigran di mana umat Islam berintegrasi dengan baik daripada di Jerman, rencana pembangunan pusat kebudayaan Islam dan ruang masjid dekat Ground Zero di New York telah memicu kontroversi.

Komentar-komentar seram dari media seperti Fox News dan Time yang menurunkan judul "Is America Islamophobic?" menunjukkan ada tanda-tana "permusuhan" terhadap Islam.

Pemerintah baru di Belanda dipaksa menoleransi politisi populis sayap kanan Geert Wilders yang mengusulkan pelarangan Alquran.

Di Italia, Denmark dan Austria, partai-partai sayap kanan populis mendapat dukungan luas karena slogan-slogan mereka yang antiIslam.

Di Swiss, negara yang penduduk muslimnya kecil sekali, bahkan berhasil memenangkan referendum untuk melarang pembangunan menara mesjid. Dan di Perancis, daerah-daerah pinggiran yang banyak dihuni Muslim diabaikan pemerintah sehingga terjadi pergolakan.

Di Jerman, suasana antiIslam merebak sehingga orang-orang seperti Sarrazin disambu hangat seperti Wilders di Belanda.

Pertahanan diri

Sarrazin bakal didukung Partai Demokratik Bebas yang probisnis dan Partai Demokrati Kristen yang konservatif. Jika sampai seperti itu dia setidaknya mendapat dukungan sepuluh persen suara.

Politisi yang pasif dan tidak imajinatif di parpol-parpol besar dengan kebijakan integrasi yang tak jelas akan menyuburkan benih-benih Islamofobia di Jerman yang ditaburkan oleh orang-orang seperti Sarrazin.

Konsep Islam sebagai musuh menjadi lebih bertarget, karena Islam dituduh bertanggung jawab untuk masalah-masalah sosial, seperti pengangguran, gelombang emigran muslim dan defisit dalam pendidikan. Agama telah menjadi kambing hitam dan pemicu intoleransi dan kebencian.

Situs populer Internet seperti blog Jerman Politically Incorrect bahkan tidak sulit menarik penggemar, karena komentar-komentar SARA terhadap Islam, seperti menyebut Islam sebagai penyakit mental, atau melecehkan umat muslim dengan menyebut mereka inferior dan barbar.

Profesor Wolfgang Benz, direktur Pusat Penelitian Anti-Semitisme di Universitas Teknik Berlin dan pendiri Review Dachau, bahkan kini menjadi penghasut yang anti-Semit dan kritikus ekstrem terhadap Islam.

Orang-orang seperti Benz menggunakan alat yang sama yang digunakan para penyebar kebencian dari kalangan yang dimusuhinya dengan mendistorsi dan mati-matian membenci Islam.

Benz melihat fobia terhadap budaya lain atau kaum minoritas sebagai mekanisme pertahanan diri. Gambaran tentang musuh diciptakan dari generalisasi dan dengan mempreteli fakta-fakta.

Contohnya "Protokol Zion" sebuah pamflet anti Yahudi di akhir abad 19, yang menjadi bukti dari konspirasi Yahudi dunia. Meski pamflet itu bohong, Raja Rusia dan Nazi menggunakannya untuk menghasut rakyat melawan Yahudi. Teks itu kini ada di negara-negara Islam yang gelisah melihat Israel.

"Setiap orang yang berhak marah atas pikiran sempit antiSemit juga harus berpandangan kritis terhadap gambaran Islam sebagai musuh," tulis Benz, Januari lalu.

Benz kini diserang dan menjadi target pelecehan verbal. "Saya dihadapkan pada kebencian luar biasa," kata Benz.

Jerman sedang berubah. Dan meski masyarakat tidak konsisten membenci Islam, sebuah republik ala Sarrazin tampaknya memang sedang meretas jalannya. (*)

- Tulisan Erich Follath dalam DER SPEIGEL edisi 31 Agustus 2010, disadur Adam Rizal, editor Jafar Sidik