JAKARTA (ANTARA) - Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berfungsi optimal menangani dampak COVID-19 sehingga tidak terjadi kontraksi ekonomi yang terlalu dalam.

“APBN berfungsi optimal sebagai instrumen kebijakan countercyclical , manfaat belanja negara dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dan seluruh program dimonitor dan dipertanggungjawabkan,” kata Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kemenkeu Kunta Wibawa dalam diskusi daring PSBB : PEN di Jakarta, Kamis.

Kunta menjelaskan APBN telah bekerja keras sepanjang 2020, tanpa intervensi APBN dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kontraksi ekonomi 2020 akan lebih dalam. Pertumbuhan ekonomi perlahan membaik sepanjang 2020, dari yang awalnya terkontraksi minus 5,32 persen pada kuartal II 2020 perlahan membaik pada kuartal III 2020 dengan pertumbuhan minus 3,49 persen dan kembali bergerak naik menjadi minus 2,19 persen pada kuartal IV 2020.

“Melalui pelebaran defisit APBN 2020 hingga 6,1 persen PDB, realisasi belanja negara Rp2.593 triliun, termasuk realisasi PEN Rp575,8 triliun, negara hadir mencegah kontraksi ekonomi lebih dalam akibat pandemi di 2020,” katanya.


Baca juga: KSP: Instrumen APBN bekerja keras pulihkan ekonomi


Kemudian pada 2020, lanjut Kunta, kerja keras APBN masih terus belanjut dengan difokuskan pada penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi. Alokasi Belanja APBN 2021 naik 6 persen dibandingkan 2020, menjadi Rp2.750 triliun dan alokasi PEN naik 20,6 persen menjadi Rp 699,43 triliun dari sebelumnya Rp575,8 triliun.

Dampaknya, momentum pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi sedang terjadi di Indonesia, tren pemulihan dari sisi konsumsi seperti Indeks Keyakinan Masyarakat di level 101,5, Indeks Penjualan Ritel Maret 188, hingga belanja negara pada April yang tumbuh 15,9 persen. Perbaikan juga terjadi dari sisi produksi dengan PMI Manufaktur April 54,6, eskpor April yang tumbuh 51,9 persen, hingga impor bahan baku dan barang modal yang tumbuh 33,2 persen dan 11,6 persen.

Lebih lanjut Kunta menyampaikan tantangan yang harus dihadapi APBN 2021 untuk mendukung program vaksinasi dan pemulihan ekonomi serta mendukung langkah konsolidasi fiskal.

“Dari sisi perekonomian global dan domestik meskipun ada tren pemulihan namun ketidakpastiannya masih ada terutama COVID-19 yang masih ada mungkin hingga 2022,” ujarnya.

Baca juga: Sri Mulyani: Realisasi Program PEN hingga 21 Mei mencapai 26,3 persen


Tantangan kedua adalah penerimaan perpajakan yang masih mengalami tantangan karena kondisi perekonomian yang masih dalam tahap pemulihan.

“Kita terus melakukan stimulus, memberikan insentif pajak pada sektor yang masih bisa berlari dan left behind,” ujar Kunta.

Tantangan ketiga adalah mengendalikan defisit dilevel 5,7 persen PDB dan menjaga program pemulihan nasional. Lalu, pelaksanaan program vaksinasi yang meningkatkan ekspektasi pelaku usaha dan membangkitkan optimisme masyarakat.

Tantangan selanjutnya komitmen untuk penanganan COVID-19 dan akselerasi perbaikan ekonomi dalam mendukung kebutuhan program vaksinasi, melanjutkan program PEN, dan realokasi dan refocusing untuk mendukung vaksinasi dan PEN. Sedangkan tantangan terakhir yang harus dihadapi APBN adalah mengendalikan risiko untuk mendukung konsolidasi fiskal di tahun 2023 dengan defisit kembali maksimal 3 persen PDB.


Baca juga: Sri Mulyani: Program PEN jadi pendorong pertumbuhan kuartal I 2021

Baca juga: Ketua Banggar mau belanja pemerintah efektif pulihkan ekonomi

Baca juga: Kemenkeu: Pengawasan APBN harus tegas agar bermanfaat bagi masyarakat