Bahlil ingin dorong investasi bangun industri di Papua
10 Juni 2021 12:53 WIB
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/6/2021). Raker tersebut membahas Rencana Kerja Anggaran (RKA) K/L dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) K/L Kementerian Investasi tahun 2022. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz
Jakarta (ANTARA) - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia ingin mendorong masuknya investasi agar bisa membangun industri di Papua dan Papua Barat.
Ia menginginkan agar industri yang dibangun nantinya adalah industri dengan bahan baku yang tersedia di sekitar Papua sehingga manfaat dan dampaknya bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat setempat.
"Jadi jangan investasi di Papua itu hanya mengambil barang mentahnya, diolah di tempat lain. Kalau ini yang dipakai, maka biar sampai ayam tumbuh gigi, Papua tidak akan pernah sejajar dengan daerah lain karena nilai tambahnya bukan di Papua," katanya dalam rapat pansus Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Bahlil menuturkan pihaknya telah merancang sejumlah strategi untuk bisa mendorong industri di Papua. Industri yang dibangun disesuaikan dengan sumber daya alam yang tersedia mulai dari bahan tambang, kayu, perkebunan hingga produk perikanan.
"Kami di Kementerian Investasi merancang, kami arahkan sekarang untuk membangun industri-industri yang mendekatkan pada bahan baku. Seperti Freeport, saya sudah komunikasi dengan MIND ID, dengan Menteri BUMN, untuk satu smelter Freeport itu dibangun di Papua," katanya.
Selain pembangunan smelter, mantan Ketua Umum Hipmi itu juga mendorong pembangunan pabrik pupuk di Bintuni, dengan memanfaatkan pasokan gas dari Teluk Bintuni, Papua Barat.
"Kita punya gas di Bintuni, sekarang dengan Kementerian BUMN, kita juga mendorong untuk membangun pabrik pupuk di sana, sampai alumina, metanol, juga kami bangun," katanya.
Tak hanya di bidang energi dan tambang, Bahlil mengatakan pihaknya juga mendorong terbangunnya industri pengolahan kayu dan perikanan di Papua. Menurut dia, Papua menghasilkan banyak kayu namun hasil industrinya justru dinikmati daerah lain.
"Saya setuju dengan Perda Pemerintah Provinsi Papua yang melarang membawa kayu lokal dari Papua karena kita ini wilayah yang menghasilkan banyak kayu tapi sedikit industri hilirnya. Yang dapat industri hilirnya itu adalah daerah-daerah lain, maka harus ada kebijakan yang simultan untuk bisa bangun industrinya di sana," katanya.
Bahlil pun meminta agar pengelolaan sumber daya alam di Papua, khususnya melalui jalan investasi, tidak mengabaikan hak adat masyarakat setempat.
"Saya berpendapat, pengelolaan sumber daya salam Papua, dikaitkan dengan investasi, itu tidak bisa mengabaikan hak-hak yang ada pada daerah, termasuk hak adat," katanya.
Bahlil menuturkan hak ada masyarakat tidak dapat dipisahkan dalam konteks kebijakan perizinan investasi, yang ujung-ujungnya berpengaruh terhadap aliran modal yang masuk ke daerah tersebut.
Dalam catatan Kementerian Investasi/BKPM, realisasi investasi di Papua sepanjang 2016-triwulan I 2021 mencapai Rp73,6 triliun. Sementara itu, pada periode yang sama, realisasi investasi di Papua Barat mencapai Rp16,1 triliun.
"Artinya, pembangunan Papua dan Papua Barat ini lebih didorong oleh sektor yang dibiayai oleh pemerintah," imbuhnya.
Bahlil pun mengusulkan, agar revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua bisa melibatkan kementerian/lembaga teknis, termasuk Kementerian Investasi/BKPM dalam proses sinkronisasi sebelum ada aturan turunannya.
Ia menambahkan, keterlibatan masyarakat adat perlu dilakukan agar tidak ada pihak-pihak yang menghalangi masuknya investasi. Padahal investasi dibutuhkan untuk bisa ikut mendorong roda perekonomian setempat.
"Hak-hak adat juga harus merupakan hal yang dibicarakan agar investasi tidak palang (menghalangi) terus. Ini orang palang karena mereka punya hak turun temurun, tapi tidak diajak bicara," katanya.
Baca juga: Bahlil Lahadalia: Papua akhirnya punya "smelter"
Baca juga: BKPM siap kawal pembangunan pabrik pupuk di Papua Barat
Baca juga: Produsen pala asal Belanda akan investasi Rp4,2 triliun di Papua Barat
Ia menginginkan agar industri yang dibangun nantinya adalah industri dengan bahan baku yang tersedia di sekitar Papua sehingga manfaat dan dampaknya bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat setempat.
"Jadi jangan investasi di Papua itu hanya mengambil barang mentahnya, diolah di tempat lain. Kalau ini yang dipakai, maka biar sampai ayam tumbuh gigi, Papua tidak akan pernah sejajar dengan daerah lain karena nilai tambahnya bukan di Papua," katanya dalam rapat pansus Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Bahlil menuturkan pihaknya telah merancang sejumlah strategi untuk bisa mendorong industri di Papua. Industri yang dibangun disesuaikan dengan sumber daya alam yang tersedia mulai dari bahan tambang, kayu, perkebunan hingga produk perikanan.
"Kami di Kementerian Investasi merancang, kami arahkan sekarang untuk membangun industri-industri yang mendekatkan pada bahan baku. Seperti Freeport, saya sudah komunikasi dengan MIND ID, dengan Menteri BUMN, untuk satu smelter Freeport itu dibangun di Papua," katanya.
Selain pembangunan smelter, mantan Ketua Umum Hipmi itu juga mendorong pembangunan pabrik pupuk di Bintuni, dengan memanfaatkan pasokan gas dari Teluk Bintuni, Papua Barat.
"Kita punya gas di Bintuni, sekarang dengan Kementerian BUMN, kita juga mendorong untuk membangun pabrik pupuk di sana, sampai alumina, metanol, juga kami bangun," katanya.
Tak hanya di bidang energi dan tambang, Bahlil mengatakan pihaknya juga mendorong terbangunnya industri pengolahan kayu dan perikanan di Papua. Menurut dia, Papua menghasilkan banyak kayu namun hasil industrinya justru dinikmati daerah lain.
"Saya setuju dengan Perda Pemerintah Provinsi Papua yang melarang membawa kayu lokal dari Papua karena kita ini wilayah yang menghasilkan banyak kayu tapi sedikit industri hilirnya. Yang dapat industri hilirnya itu adalah daerah-daerah lain, maka harus ada kebijakan yang simultan untuk bisa bangun industrinya di sana," katanya.
Bahlil pun meminta agar pengelolaan sumber daya alam di Papua, khususnya melalui jalan investasi, tidak mengabaikan hak adat masyarakat setempat.
"Saya berpendapat, pengelolaan sumber daya salam Papua, dikaitkan dengan investasi, itu tidak bisa mengabaikan hak-hak yang ada pada daerah, termasuk hak adat," katanya.
Bahlil menuturkan hak ada masyarakat tidak dapat dipisahkan dalam konteks kebijakan perizinan investasi, yang ujung-ujungnya berpengaruh terhadap aliran modal yang masuk ke daerah tersebut.
Dalam catatan Kementerian Investasi/BKPM, realisasi investasi di Papua sepanjang 2016-triwulan I 2021 mencapai Rp73,6 triliun. Sementara itu, pada periode yang sama, realisasi investasi di Papua Barat mencapai Rp16,1 triliun.
"Artinya, pembangunan Papua dan Papua Barat ini lebih didorong oleh sektor yang dibiayai oleh pemerintah," imbuhnya.
Bahlil pun mengusulkan, agar revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua bisa melibatkan kementerian/lembaga teknis, termasuk Kementerian Investasi/BKPM dalam proses sinkronisasi sebelum ada aturan turunannya.
Ia menambahkan, keterlibatan masyarakat adat perlu dilakukan agar tidak ada pihak-pihak yang menghalangi masuknya investasi. Padahal investasi dibutuhkan untuk bisa ikut mendorong roda perekonomian setempat.
"Hak-hak adat juga harus merupakan hal yang dibicarakan agar investasi tidak palang (menghalangi) terus. Ini orang palang karena mereka punya hak turun temurun, tapi tidak diajak bicara," katanya.
Baca juga: Bahlil Lahadalia: Papua akhirnya punya "smelter"
Baca juga: BKPM siap kawal pembangunan pabrik pupuk di Papua Barat
Baca juga: Produsen pala asal Belanda akan investasi Rp4,2 triliun di Papua Barat
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021
Tags: