Yogyakarta (ANTARA News) - Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof Djoko Suryo mengatakan amanat Sri Sultan Hamenku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 5 September 1945 merupakan cermin kearifan rakyat Yogyakarta.

"Pernyataan pengakuan dan penggabungan Kasultanan Ngayogyakarta mencerminkan sikap yang mencerminkan kearifan para pemimpin dan rakyat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat," katanya di Yogyakarta, Senin.

Ia mengatakan maklumat tersebut juga menggambarkan sikap tanggap dan cerdas Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII dalam membaca tanda-tanda zaman.

"Makna dan hakikat perjalanan sejarah Kasultanan Yogyakarta pada masa kemerdekaan merupakan puncak era pematangan kearifan dan kebijaksanaan rakyat serta budaya Yogyakarta dalam menyikapi pergantian zaman dan masa-masa kritis," katanya.

Masa-masa revolusi mempertahankan kemerdekaan tersebut menurut Djoko juga dapat diartikan sebagai masa kesinambungan dan keberlanjutan semangat dan integritas rakyat Yogyakarta dalam perjalanan sejarah Indonesia modern.

"Salah satu ciri keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta antara lain terwujud dalam semangat patriotisme, nasionalisme, gotong-royong, dan ketangguhan pemimpin serta rakyat Yogyakarta," katanya.

Djoko Surjo mengatakan pada masa revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, Kota Yogyakarta merupakan pusat revolusi, pendidikan bangsa, dan kebudayaan Indonesia.

"Banyak perundingan dalam penyelesain konflik antara Indonesia dan Belanda, oleh karena itu Yogyakarta juga menjadi pusat perjuangan diplomasi dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia," katanya.

Djoko mengatakan Pemerintah Republik Indonesia mengakui keistimewaan Yogyakarta dengan diterbitkannya Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 1950.

"Dalam UU tersebut Yogyakarta ditetapkan sebagai provinsi yang memiliki keistimewaan dengan nama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta," katanya.
(ANT158/H008)