Hari Lingkungan Hidup Sedunia, indikasi runtuhnya ekologi terlihat
5 Juni 2021 21:26 WIB
Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI Yuyun Harmono saat berbicara dalam webinar Lestari Kini dan Nanti dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021 yang diadakan Lawalata IPB secara daring diakses dari Jakarta, Sabtu (5/6/2021). (ANTARA/Virna P Setyorini)
Jakarta (ANTARA) - Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021 akademisi hingga aktivis lingkungan mengingatkan perihal indikasi runtuhnya ekologi yang terlihat dari daya dukung dan daya tampung areal urban dan industri yang kelebihan kapasitas.
"Indikasi itu sudah terjadi di areal urban dan industri. Sudah over capacity, sehingga memungkinkan akan terjadi keruntuhan ekologi. Ini tidak kita harapkan, namun kalau tidak kita atasi maka penurunan fungsi eksponensial benar terjadi, dan di abad 21 ini akan sampai pada titik itu," kata Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB University Prof Hefni Effendi dalam webinar Lestari Kini dan Nanti yang diadakan Lawalata IPB dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021 secara daring diakses di Jakarta, Sabtu.
Karenanya, menurut Hefni, perbincangan mengenai runtuhnya ekologi mengemuka baik di dunia maya maupun nyata saat ini. "Yang sekarang terkenal dengan perubahan iklim dan ditambah dengan pandemi".
Dari dua pemodelan yang ia tunjukkan memperlihatkan overshoot dan collapse sistem global pada pertengahan abad 21. Sedangkan skenario ketiga menghasilkan dunia yang stabil.
Baca juga: DLH Belitung tanam 100 bibit mangrove peringati hari lingkungan
Baca juga: Diakui dunia, ini capaian pemerintah bangun lingkungan hidup
"Saat ini posisi kita sudah di awal pertengahan abad 21. Apakah kita terus terlena dengan sikap hedonistik dan antroposentris, tak all out mematahkan prediksi model tersebut?" kata Hefni.
Sementara itu, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI Yuyun Harmono mengatakan jika model sosial, politik, ekonomi tidak diubah maka tidak akan tercapai hak rakyat atas sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan untuk rakyat.
"WALHI memiliki misi untuk itu. Kami beranggapan yang paling baik mengelola sumber daya dan lingkungan ya masyarakat itu sendiri, karena mereka punya ilmu sendiri yang mempengaruhi faktor sosial dan lingkungan di tingkat mikro atau lokal," kata Yuyun.
Praktik masyarakat merawat Bumi secara turun temurun itu menjadi pandangan tanding bagi model ekonomi yang ada saat ini. Namun yang, menurut dia, menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah paradigma yang fokus hanya pada pertumbuhan ekonomi saja, bukan kesejahteraan rakyat.
"Selain kita kritisi dan tolak ekonomi eksploitatif, kita tawarkan ekonomi lebih adil dan berkelanjutan. Lewat penerbitan buku Ekonomi Nusantara sebagai solusi untuk pemulihan lingkungan hidup di Nusantara. Itu tawaran tanding untuk ekonomi pertumbuhan yang ada sekarang," ujar Yuyun.*
Baca juga: Alex Noerdin: Pengelolaan lingkungan di daerah harus saling sinergi
Baca juga: KLHK ingin tunjukkan kearifan lokal penjagaan lingkungan kepada dunia
"Indikasi itu sudah terjadi di areal urban dan industri. Sudah over capacity, sehingga memungkinkan akan terjadi keruntuhan ekologi. Ini tidak kita harapkan, namun kalau tidak kita atasi maka penurunan fungsi eksponensial benar terjadi, dan di abad 21 ini akan sampai pada titik itu," kata Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB University Prof Hefni Effendi dalam webinar Lestari Kini dan Nanti yang diadakan Lawalata IPB dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021 secara daring diakses di Jakarta, Sabtu.
Karenanya, menurut Hefni, perbincangan mengenai runtuhnya ekologi mengemuka baik di dunia maya maupun nyata saat ini. "Yang sekarang terkenal dengan perubahan iklim dan ditambah dengan pandemi".
Dari dua pemodelan yang ia tunjukkan memperlihatkan overshoot dan collapse sistem global pada pertengahan abad 21. Sedangkan skenario ketiga menghasilkan dunia yang stabil.
Baca juga: DLH Belitung tanam 100 bibit mangrove peringati hari lingkungan
Baca juga: Diakui dunia, ini capaian pemerintah bangun lingkungan hidup
"Saat ini posisi kita sudah di awal pertengahan abad 21. Apakah kita terus terlena dengan sikap hedonistik dan antroposentris, tak all out mematahkan prediksi model tersebut?" kata Hefni.
Sementara itu, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI Yuyun Harmono mengatakan jika model sosial, politik, ekonomi tidak diubah maka tidak akan tercapai hak rakyat atas sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan untuk rakyat.
"WALHI memiliki misi untuk itu. Kami beranggapan yang paling baik mengelola sumber daya dan lingkungan ya masyarakat itu sendiri, karena mereka punya ilmu sendiri yang mempengaruhi faktor sosial dan lingkungan di tingkat mikro atau lokal," kata Yuyun.
Praktik masyarakat merawat Bumi secara turun temurun itu menjadi pandangan tanding bagi model ekonomi yang ada saat ini. Namun yang, menurut dia, menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah paradigma yang fokus hanya pada pertumbuhan ekonomi saja, bukan kesejahteraan rakyat.
"Selain kita kritisi dan tolak ekonomi eksploitatif, kita tawarkan ekonomi lebih adil dan berkelanjutan. Lewat penerbitan buku Ekonomi Nusantara sebagai solusi untuk pemulihan lingkungan hidup di Nusantara. Itu tawaran tanding untuk ekonomi pertumbuhan yang ada sekarang," ujar Yuyun.*
Baca juga: Alex Noerdin: Pengelolaan lingkungan di daerah harus saling sinergi
Baca juga: KLHK ingin tunjukkan kearifan lokal penjagaan lingkungan kepada dunia
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021
Tags: