LP3ES: Penurunan kualitas demokrasi terkait dengan kerusakan alam
5 Juni 2021 19:36 WIB
Tangkapan Layar Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto memberi pengantar pada forum diskusi bertajuk “Manifesto: Menuju Peradaban Ekologis untuk Indonesia” yang diikuti dari kanal Youtube di Jakarta, Sabtu (5/6/2021). (ANTARA/Genta Tenri Mawangi)
Jakarta (ANTARA) - Penurunan kualitas demokrasi di Indonesia diyakini ikut dipengaruhi oleh banyaknya aktivitas merusak alam atau yang tidak mendukung upaya pelestarian lingkungan di Tanah Air, kata Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto.
Wijayanto dalam seminar LP3ES di Jakarta, Sabtu, mengatakan hubungan antara turunnya demokrasi dan tingginya tingkat kerusakan lingkungan dapat terlihat jika mengamati situasi di Indonesia, terutama saat Pemerintahan Orde Baru dan Pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Pembangunan infrastruktur jadi salah satu prioritas Presiden Joko Widodo terutama saat periode pertama pemerintahannya, tetapi jika merujuk pada beberapa peristiwa di Indonesia, agenda utama itu dijalankan dengan sikap yang abai terhadap HAM dan kerusakan lingkungan, kata Wijayanto.
Baca juga: Program Merah Putih Hijau tanam pohon Bambu di TPA Temesi Gianyar-Bali
“Ini mengingatkan kita bagaimana struktur politik Orde Baru dimana fokusnya pada pembangunan dan Orde Baru semakin kuat, semakin abai kepada kebebasan sipil, pada soal HAM, soal lingkungan,” katanya.
Menurut Wijayanto situasi itu terjadi karena sistem dan praktik politik serta hampir seluruh aktivitas ekonomi di Indonesia belum mempertimbangkan alam atau lingkungan lestari sebagai faktor yang punya peran.
Terkait situasi itu, peneliti senior KITLV dan profesor beberapa universitas di Australia dan Belanda, Gerry van Klinken, mendorong agar pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia mulai memikirkan pentingnya menciptakan sebuah peradaban ekologis yang pro terhadap pelestarian lingkungan.
Gerry yang menjadi pembicara utama dalam forum berpendapat tujuan itu hanya dapat dilakukan jika ada komitmen kuat dari pemerintah untuk berhenti membuat kebijakan dan melakukan kegiatan yang sama seperti sebelumnya (business as usual).
Baca juga: Menjaga alam dengan Sodasan, pembersih ramah lingkungan
Pasalnya, dunia tengah mengalami krisis iklim dan jika para pengambil keputusan terus memutuskan kebijakan yang sama, maka peradaban manusia tidak dapat selamat dari ancaman eksistensial akibat dampak pemanasan global dan perubahan iklim tersebut, terang Gerry.
Laporan dari Carbon Brief menunjukkan Indonesia menempati urutan keempat dalam daftar negara penyumbang gas rumah kaca terbesar dunia pada 2015, sementara Climate Action Tracker menempatkan Indonesia pada kategori negara yang paling tidak efisien (highly insufficient), kata Gerry.
Laporan itu diharapkan dapat memantik kesadaran dari pemerintah untuk berbenah dan turut bertanggung jawab mengurangi buangan gas rumah kaca mengingat itu adalah faktor pendorong terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, kata dia.
Baca juga: Legislator: Setop aktivitas eksploitasi ekonomi tak ramah lingkungan
Dalam kesempatan itu, Gerry mengajak pemerintah dan seluruh kelompok masyarakat di Indonesia mulai merenungkan pentingnya membangun peradaban ekologis.
“Dalam peradaban ekologis, dasar-dasarnya adalah nilai, norma, serta pemahaman bahwa dunia maupun bumi ini terbatas dan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi berlangsung terus-menerus,” terang Gerry dalam forum itu.
Wijayanto dalam seminar LP3ES di Jakarta, Sabtu, mengatakan hubungan antara turunnya demokrasi dan tingginya tingkat kerusakan lingkungan dapat terlihat jika mengamati situasi di Indonesia, terutama saat Pemerintahan Orde Baru dan Pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Pembangunan infrastruktur jadi salah satu prioritas Presiden Joko Widodo terutama saat periode pertama pemerintahannya, tetapi jika merujuk pada beberapa peristiwa di Indonesia, agenda utama itu dijalankan dengan sikap yang abai terhadap HAM dan kerusakan lingkungan, kata Wijayanto.
Baca juga: Program Merah Putih Hijau tanam pohon Bambu di TPA Temesi Gianyar-Bali
“Ini mengingatkan kita bagaimana struktur politik Orde Baru dimana fokusnya pada pembangunan dan Orde Baru semakin kuat, semakin abai kepada kebebasan sipil, pada soal HAM, soal lingkungan,” katanya.
Menurut Wijayanto situasi itu terjadi karena sistem dan praktik politik serta hampir seluruh aktivitas ekonomi di Indonesia belum mempertimbangkan alam atau lingkungan lestari sebagai faktor yang punya peran.
Terkait situasi itu, peneliti senior KITLV dan profesor beberapa universitas di Australia dan Belanda, Gerry van Klinken, mendorong agar pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia mulai memikirkan pentingnya menciptakan sebuah peradaban ekologis yang pro terhadap pelestarian lingkungan.
Gerry yang menjadi pembicara utama dalam forum berpendapat tujuan itu hanya dapat dilakukan jika ada komitmen kuat dari pemerintah untuk berhenti membuat kebijakan dan melakukan kegiatan yang sama seperti sebelumnya (business as usual).
Baca juga: Menjaga alam dengan Sodasan, pembersih ramah lingkungan
Pasalnya, dunia tengah mengalami krisis iklim dan jika para pengambil keputusan terus memutuskan kebijakan yang sama, maka peradaban manusia tidak dapat selamat dari ancaman eksistensial akibat dampak pemanasan global dan perubahan iklim tersebut, terang Gerry.
Laporan dari Carbon Brief menunjukkan Indonesia menempati urutan keempat dalam daftar negara penyumbang gas rumah kaca terbesar dunia pada 2015, sementara Climate Action Tracker menempatkan Indonesia pada kategori negara yang paling tidak efisien (highly insufficient), kata Gerry.
Laporan itu diharapkan dapat memantik kesadaran dari pemerintah untuk berbenah dan turut bertanggung jawab mengurangi buangan gas rumah kaca mengingat itu adalah faktor pendorong terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, kata dia.
Baca juga: Legislator: Setop aktivitas eksploitasi ekonomi tak ramah lingkungan
Dalam kesempatan itu, Gerry mengajak pemerintah dan seluruh kelompok masyarakat di Indonesia mulai merenungkan pentingnya membangun peradaban ekologis.
“Dalam peradaban ekologis, dasar-dasarnya adalah nilai, norma, serta pemahaman bahwa dunia maupun bumi ini terbatas dan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi berlangsung terus-menerus,” terang Gerry dalam forum itu.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: