Batan rancang reaktor nuklir berpendingin gas
5 Juni 2021 17:15 WIB
Seorang operator reaktor nuklir mengendalikan Simulator Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) seusai peluncurannya di ruang Lab Simulator Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (11/11). Peluncuran simulator ini sejalan dengan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dimana simulator sebagai perangkat lunak simulasi operasi reaktor yang menggambarkan prinsip reaktor nuklir untuk menghasilkan daya listrik. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL)
Jakarta (ANTARA) - Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) merancang reaktor nuklir generasi keempat berupa High Temperature Gas Reactor (HTGR) atau reaktor berpendingin gas yang dinilai lebih aman ketimbang pendahulunya yang digunakan Jepang untuk PLTN Fukushima.
"Kejadian Fukusihima itu akibat pelelehan bahan bakar. Reaktor generasi keempat ini sudah dijamin tidak akan terjadi pelelehan bahan bakar atau terasnya," ujar Peneliti Senior Batan, Geni Rina Sunaryo dalam webinar yang dipantau dari Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Anggota DEN: Investasi pembangkit nuklir lebih mahal ketimbang EBT
Baca juga: Peneliti BATAN: Nuklir masih menjadi opsi terakhir sumber energi
Geni mengatakan reaktor generasi keempat ini menggunakan gas sebagai pendinginnya, berbeda jika dibandingkan dengan generasi ketiga yang digunakan Jepang, yakni berbasis air sebagai pendingin.
"Sehingga, kejadian Fukushima tidak akan terjadi kalau kita membangun tipe HTGR," kata dia.
Menurutnya, HTGR atau reaktor generasi keempat memiliki keunggulan ketimbang generasi ketiga. Selain menghasilkan listrik, reaktor ini juga menghasilkan panas untuk mendukung operasional industri kimia. Panas dari hasil energi nuklir bisa digunakan untuk menginisiasi industri seperti produksi gas hidrogen.
"Panas yang dihasilkan mencapai 1000 derajat celcius. Ini bisa diaplikasikan untuk industri gas hidrogen, smelter mineral sebelum diolah, dan pengolahan tanah jarang," katanya.
Sementara itu, peneliti senior Batan lainnya, Djarot Sulistio Wisnubroto menyatakan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi emisi karbon khususnya di Indonesia.
"PLTN menjadi salah satu solusi karena energi nuklir memberikan emisi karbon yang sangat rendah dibanding minyak, batu bara atau gas. Bahkan, dibanding beberapa renerable energy," tuturnya.
Menurutnya, pemerintah telah berkomitmen menekan emisi karbon dioksida dengan menetapkan target tinggi sebesar 29 persen pada 2030, bila mendapatkan bantuan internasional sebesar 41 persen.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Asosiasi Nuklir Dunia (World Nuclear Association), energi nuklir menghasilkan emisi karbon yang setara dengan energi dari tenaga angin.
Baca juga: Batan: Banyak masyarakat tak tahu, nuklir bisa topang ketahanan pangan
Energi nuklir hanya menghasilkan 12 gram emisi CO2 per-kWh dari listrik yang dihasilkan. Sedangkan energi batu bara menghasilkan 820 gram emisi CO2 per-kwh.
"Itu (PLTN) menjadi salah satu solusi bagi Indonesia kalau ingin mencapai target Paris Agreement," katanya.
"Kejadian Fukusihima itu akibat pelelehan bahan bakar. Reaktor generasi keempat ini sudah dijamin tidak akan terjadi pelelehan bahan bakar atau terasnya," ujar Peneliti Senior Batan, Geni Rina Sunaryo dalam webinar yang dipantau dari Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Anggota DEN: Investasi pembangkit nuklir lebih mahal ketimbang EBT
Baca juga: Peneliti BATAN: Nuklir masih menjadi opsi terakhir sumber energi
Geni mengatakan reaktor generasi keempat ini menggunakan gas sebagai pendinginnya, berbeda jika dibandingkan dengan generasi ketiga yang digunakan Jepang, yakni berbasis air sebagai pendingin.
"Sehingga, kejadian Fukushima tidak akan terjadi kalau kita membangun tipe HTGR," kata dia.
Menurutnya, HTGR atau reaktor generasi keempat memiliki keunggulan ketimbang generasi ketiga. Selain menghasilkan listrik, reaktor ini juga menghasilkan panas untuk mendukung operasional industri kimia. Panas dari hasil energi nuklir bisa digunakan untuk menginisiasi industri seperti produksi gas hidrogen.
"Panas yang dihasilkan mencapai 1000 derajat celcius. Ini bisa diaplikasikan untuk industri gas hidrogen, smelter mineral sebelum diolah, dan pengolahan tanah jarang," katanya.
Sementara itu, peneliti senior Batan lainnya, Djarot Sulistio Wisnubroto menyatakan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi emisi karbon khususnya di Indonesia.
"PLTN menjadi salah satu solusi karena energi nuklir memberikan emisi karbon yang sangat rendah dibanding minyak, batu bara atau gas. Bahkan, dibanding beberapa renerable energy," tuturnya.
Menurutnya, pemerintah telah berkomitmen menekan emisi karbon dioksida dengan menetapkan target tinggi sebesar 29 persen pada 2030, bila mendapatkan bantuan internasional sebesar 41 persen.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Asosiasi Nuklir Dunia (World Nuclear Association), energi nuklir menghasilkan emisi karbon yang setara dengan energi dari tenaga angin.
Baca juga: Batan: Banyak masyarakat tak tahu, nuklir bisa topang ketahanan pangan
Energi nuklir hanya menghasilkan 12 gram emisi CO2 per-kWh dari listrik yang dihasilkan. Sedangkan energi batu bara menghasilkan 820 gram emisi CO2 per-kwh.
"Itu (PLTN) menjadi salah satu solusi bagi Indonesia kalau ingin mencapai target Paris Agreement," katanya.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021
Tags: