Hakim putuskan perkara beda dengan nurani akan menyesal seumur hidup
4 Juni 2021 17:45 WIB
Tangkapan layar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Anwar Usman memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Jumat. (ANTARA/Muhammad Zulfikar)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Anwar Usman mengatakan seorang hakim yang memutus sebuah perkara namun hal itu berlawanan atau berbeda dengan hati nurani maka yang bersangkutan akan menyesal seumur hidup.
"Mahatma Gandhi mengatakan pengadilan tertinggi itu bukan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung tetapi pengadilan hati nurani," kata dia saat memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Jumat.
Khusus di lembaga yang dipimpinnya, Anwar Usman mengatakan dari sembilan hakim MK tak jarang memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu perkara.
Bahkan, tak jarang sembilan hakim MK saling berdebat karena perbedaan suara hati mengenai sebuah perkara yang sedang ditangani. Namun, dalam banyak hal suara hati dari sembilan hakim tersebut tetap sama.
Ketika suara hati berbeda dengan putusan yang dibacakan, maka pada posisi ini seorang hakim harus menerimanya. Sebab, sebelum diputuskan ia telah berusaha menyampaikan apa yang seharusnya diutarakan, kata dia.
"Jadi terlepas lah kita dari dosa, katakan lah demikian karena sudah menyampaikan kebenaran," ujarnya.
Diakuinya, menjadi seorang hakim memang pekerjaan sulit dan berat. Bahkan, saking beratnya menjadi pengadil di meja hijau, Imam Abu Hanifah tokoh muslim kelahiran Irak rela dipenjara berkali-kali karena menolak ditunjuk sebagai hakim.
"Sedangkan saat ini untuk menjadi hakim orang-orang pada berebut," katanya.
Pada kesempatan itu, Anwar mengutip sebuah hadis dalam kitab Suci Al Quran yang mengatakan bahwa ketika seorang hakim memutus perkara dan benar, maka mendapatkan dua pahala.
Namun, ketika ia keliru atau salah dalam memutus sebuah perkara tetapi telah berusaha dan sungguh-sungguh maka tetap mendapatkan satu pahala.
"Artinya, menjadi hakim itu sebenarnya enak asalkan dengan niat ibadah," katanya.
Baca juga: Ketua MK tegaskan tidak ada alasan apapun dalam mematuhi konstitusi
Baca juga: MK luncurkan 28 buku tentang hukum dan konstitusi
"Mahatma Gandhi mengatakan pengadilan tertinggi itu bukan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung tetapi pengadilan hati nurani," kata dia saat memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Jumat.
Khusus di lembaga yang dipimpinnya, Anwar Usman mengatakan dari sembilan hakim MK tak jarang memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu perkara.
Bahkan, tak jarang sembilan hakim MK saling berdebat karena perbedaan suara hati mengenai sebuah perkara yang sedang ditangani. Namun, dalam banyak hal suara hati dari sembilan hakim tersebut tetap sama.
Ketika suara hati berbeda dengan putusan yang dibacakan, maka pada posisi ini seorang hakim harus menerimanya. Sebab, sebelum diputuskan ia telah berusaha menyampaikan apa yang seharusnya diutarakan, kata dia.
"Jadi terlepas lah kita dari dosa, katakan lah demikian karena sudah menyampaikan kebenaran," ujarnya.
Diakuinya, menjadi seorang hakim memang pekerjaan sulit dan berat. Bahkan, saking beratnya menjadi pengadil di meja hijau, Imam Abu Hanifah tokoh muslim kelahiran Irak rela dipenjara berkali-kali karena menolak ditunjuk sebagai hakim.
"Sedangkan saat ini untuk menjadi hakim orang-orang pada berebut," katanya.
Pada kesempatan itu, Anwar mengutip sebuah hadis dalam kitab Suci Al Quran yang mengatakan bahwa ketika seorang hakim memutus perkara dan benar, maka mendapatkan dua pahala.
Namun, ketika ia keliru atau salah dalam memutus sebuah perkara tetapi telah berusaha dan sungguh-sungguh maka tetap mendapatkan satu pahala.
"Artinya, menjadi hakim itu sebenarnya enak asalkan dengan niat ibadah," katanya.
Baca juga: Ketua MK tegaskan tidak ada alasan apapun dalam mematuhi konstitusi
Baca juga: MK luncurkan 28 buku tentang hukum dan konstitusi
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021
Tags: