ITAGI tepis kabar vaksin picu kematian usai dua tahun disuntik
3 Juni 2021 18:21 WIB
Pemerhati imunisasi dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Julitasari Sundoro dalam Dialog Produktif Kabar Kamis Siang bertajuk "Hindari Hoax Seputar Vaksinasi" yang dipantau di Jakarta, Kamis (2/6/2021). ANTARA/Andi Firdaus.
Jakarta (ANTARA) - Pemerhati imunisasi dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Julitasari Sundoro, menepis informasi terkait risiko kematian penerima vaksin COVID-19 pada dua tahun usai menerima suntikan.
"Sekarang penelitian di dunia itu belum sampai dua tahun. Jadi kita tidak tahu yang menyebabkan akan meninggal dua tahun itu hanya Tuhan yang tahu," katanya dalam Dialog Produktif Kabar Kamis Siang bertajuk "Hindari Hoax Seputar Vaksinasi" yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Julitasari mengatakan tujuan memberikan vaksin supaya terbentuk imunitas pada tubuh seseorang, sebagai proteksi terhadap penyakit COVID-19.
Harapannya, kata Julitasari, akan timbul antibodi pada tubuh seseorang yang menerima vaksin untuk melawan SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Baca juga: AstraZeneca: Indonesia tidak main-main beri izin edar vaksin
Baca juga: Pakar: EUL dari WHO pastikan Sinovac efektif dan aman
"Meskipun kita tidak tahu 100 persen (kemanjuran), tetap harus memakai protokol kesehatan," katanya.
Pada akhir Mei 2021 beredar pesan berantai di media sosial WhatsApp dengan narasi bahwa seseorang yang menerima suntikan vaksin COVID-19 akan meninggal pada dua tahun kemudian.
Dalam pesan itu juga tercantum salah satu nama mantan peneliti vaksin Pfizer yang menyatakan selepas suntikan vaksin pertama terdapat sejumlah 0,8 persen akan mati dalam masa dua pekan.
"Mereka akan mampu bertahan hidup sekitar dua tahun, namun kemampuan tersebut dikurangi dengan penambahan top-up suntikan vaksin sebab menyebabkan kemerosotan fungsi organ tertentu dalam badan manusia, termasuk jantung, paru-paru dan otak," demikian salah satu poin dari isi pesan tersebut.
Perempuan yang menjabat sebagai sekretaris ITAGI itu memastikan bahwa pesan tersebut merupakan kabar bohong. Sebab penelitian vaksin di dunia hingga saat ini belum ada yang tuntas 100 persen.
"Semua vaksin akan diuji dalam waktu 2 bulan setelah vaksinasi lengkap, 6 bulan, 1 tahun, jadi belum sampai 2 tahun itu masih lama, yang 12 bulan aja belum selesai," katanya.*
Baca juga: Ahli: Sinovac masih bisa diandalkan lawan varian India B1617
Baca juga: PDPI: Riskan jika gunakan vaksin yang belum terbukti efikasinya
"Sekarang penelitian di dunia itu belum sampai dua tahun. Jadi kita tidak tahu yang menyebabkan akan meninggal dua tahun itu hanya Tuhan yang tahu," katanya dalam Dialog Produktif Kabar Kamis Siang bertajuk "Hindari Hoax Seputar Vaksinasi" yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Julitasari mengatakan tujuan memberikan vaksin supaya terbentuk imunitas pada tubuh seseorang, sebagai proteksi terhadap penyakit COVID-19.
Harapannya, kata Julitasari, akan timbul antibodi pada tubuh seseorang yang menerima vaksin untuk melawan SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Baca juga: AstraZeneca: Indonesia tidak main-main beri izin edar vaksin
Baca juga: Pakar: EUL dari WHO pastikan Sinovac efektif dan aman
"Meskipun kita tidak tahu 100 persen (kemanjuran), tetap harus memakai protokol kesehatan," katanya.
Pada akhir Mei 2021 beredar pesan berantai di media sosial WhatsApp dengan narasi bahwa seseorang yang menerima suntikan vaksin COVID-19 akan meninggal pada dua tahun kemudian.
Dalam pesan itu juga tercantum salah satu nama mantan peneliti vaksin Pfizer yang menyatakan selepas suntikan vaksin pertama terdapat sejumlah 0,8 persen akan mati dalam masa dua pekan.
"Mereka akan mampu bertahan hidup sekitar dua tahun, namun kemampuan tersebut dikurangi dengan penambahan top-up suntikan vaksin sebab menyebabkan kemerosotan fungsi organ tertentu dalam badan manusia, termasuk jantung, paru-paru dan otak," demikian salah satu poin dari isi pesan tersebut.
Perempuan yang menjabat sebagai sekretaris ITAGI itu memastikan bahwa pesan tersebut merupakan kabar bohong. Sebab penelitian vaksin di dunia hingga saat ini belum ada yang tuntas 100 persen.
"Semua vaksin akan diuji dalam waktu 2 bulan setelah vaksinasi lengkap, 6 bulan, 1 tahun, jadi belum sampai 2 tahun itu masih lama, yang 12 bulan aja belum selesai," katanya.*
Baca juga: Ahli: Sinovac masih bisa diandalkan lawan varian India B1617
Baca juga: PDPI: Riskan jika gunakan vaksin yang belum terbukti efikasinya
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021
Tags: