Pemprov NTB putuskan adendum kontrak PT GTI
3 Juni 2021 18:05 WIB
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) H Zulkieflimansyah saat memberikan keterangan pers bersama Kajati NTB Tumo Sitepu, dan Sekda NTB HL Gita Ariadi, di Ruang Rapat Utama Kantor Gubernur NTB, di Mataram, Kamis (3/6/2021). ANTARA/Nur Imansyah.
Mataram (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) akhirnya memutuskan mengadendum kontrak PT Gili Trawangan Indah (GTI) daripada harus memutus kontrak.
Gubernur NTB H Zulkieflimansyah mengatakan keputusan mengadendum kontrak PT GTI ini, setelah pihaknya menerima masukan dari sejumlah institusi negara, di antaranya kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta Biro Hukum Setda Pemprov NTB.
"Kita tahu proses ini sudah berlarut-larut dan panjang. Ini kan konyol, ada tanah negara yang memiliki potensi luar biasa punya nilai triliunan namun tidak dimaksimalkan. Setelah mendengarkan masukan-masukan itu, maka diadendum dengan catatan, apa itu nanti selanjutnya akan dibahas," kata Zulkieflimansyah saat konferensi pers bersama Kajati NTB Tumo Sitepu, dan Sekda NTB HL Gita Ariadi, di Ruang Rapat Utama Kantor Gubernur NTB, di Mataram, Kamis.
Gubernur mengakui, jauh sebelum memutuskan itu, Pemprov NTB sebetulnya sudah menerima rekomendasi dari KPK, DPRD NTB, Biro Hukum Setda NTB, dan kejaksaan selaku pengacara negara untuk memutus kontrak atau adendum. Dari opsi itu, akhirnya pemprov memilih memutus kontrak PT GTI.
Namun meski pada awalnya telah memutus kontrak, kata Doktor Zul, sapaan akrab Gubernur NTB, bahwa keputusan itu bukanlah keputusan akhir, sehingga pihaknya perlu mendengarkan kembali masukan dan pertimbangan dari pihak lain. Salah satunya Kejaksaan Tinggi NTB.
"Kalau diputus kontrak apa reaksi PT GTI, kalau tidak ada ya enak kami tidak perlu sibuk ini dan itu. Tapi kalau itu ada keberatan dan harus berurusan dengan pengadilan, maka panjang, bahkan hingga bertahun tahun. Daripada ini harus berlama-lama, sehingga pemerintah tidak menginginkan hal itu," ujarnya pula.
Selain pertimbangan waktu, pemerintah provinsi ingin memuliakan kontrak dan investasi. Artinya bukan berarti pemerintah memuliakan kontrak berlebihan, tapi memuliakan isi perjanjian, karena referensinya itu kan kontrak.
"Makanya kejaksaaan memberikan masukan, sayang kalau ini harus lama-lama butuh waktu dan tidak dapat apa-apa kalau itu putus kontrak. Makanya ada adendum dengan catatan itu," katanya lagi.
Kepala Kejaksaan Tinggi NTB Tomo Sitepu menyampaikan ada empat aspek yang menjadi pertimbangan, sehingga pihaknya akhirnya menyarankan agar Pemprov NTB untuk mengambil keputusan mengadendum kontrak PT GTI. Antara lain kepastian investasi, masalah sosial, aspek pariwisata, dan optimalisasi aset-aset pemprov yang ada.
"Kalau putus kontrak ini akan berperkara sampai lima tahun, sehingga status tanah jadi status quo dan ini kami tidak inginkan. Makanya kami adendum kontrak dengan penyesuaian aturan. Tentunya dengan jaminan," ujar Tomo.
"Lalu kalau tidak ada jaminan apa konsekuensinya, seperti tidak punya modal. Ya jelas kita tidak mau, tapi rupanya mereka berminat dan berjanji siap membangun," katanya pula.
Menurut Tomo, keputusan adendum ini sudah mendapat dukungan KPK, BPK, dan Kemendagri, setelah pihaknya melakukan konsultasi ke institusi negara tersebut.
"Karena setelah kami kaji, ternyata lebih banyak mudharatnya daripada kami putus dengan memberikan adendum kontrak. Tapi sekali lagi itu pun harus ada jaminan kepada daerah dalam hal ini modal, dan itu menjadi syarat utama yang diberikan oleh kami, karena kami tidak ingin ini kasus seperti ini terulang lagi," katanya.
Sekda NTB HL Gita Ariadi menambahkan, terkait apa isi klausul perjanjian dalam adendum belum bisa dijabarkan lebih jauh, karena harus dikomunikasikan lebih lanjut antara kedua belah pihak, yakni pemprov dan PT GTI.
"Untuk selanjutnya akan ada tahapan kedua untuk memformat terkait isi tindak lanjut tersebut. Ada delapan tahapan yang kami persiapkan dan ini akan kami cicil untuk selanjutnya akan kita sampaikan," ujarnya.
Setelah semua itu rampung, lanjut Sekda, nantinya akan diikuti dengan penandatangan pokok-pokok isi kesepakatan antara Pemprov NTB dan GTI.
"Yang pasti tidak merugikan daerah, harus memperhatikan kepentingan investor dan tidak lupa harus mengakomodir kepentingan di bawah, karena banyak pengusaha yang juga sudah berusaha lahan tersebut," katanya lagi.
PT GTI mendapat hak kelola usaha pariwisata di atas lahan seluas 65 hektare di kawasan wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara. Kontrak itu terhitung sejak penandatanganan kerja sama dilakukan tahun 1995 hingga berakhir 2026. PT GTI berjanji akan memberikan kenaikan royalti setiap lima tahun kepada Pemprov NTB.
Namun, kenyataannya daerah hanya diberikan Rp22,5 juta per tahun. Sementara, perputaran uang setiap harinya pada destinasi andalan NTB itu mencapai Rp2 miliar hingga Rp5 miliar miliar. Bahkan, hasil perhitungan Ditjen Kekayaan Negara Wilayah Bali Nusa Tenggara bahwa pendapatan daerah yang hilang di Gili Trawangan mencapai Rp2,3 triliun lebih.
Baca juga: Kejati NTB telusuri uang setoran sewa lahan PT GTI
Gubernur NTB H Zulkieflimansyah mengatakan keputusan mengadendum kontrak PT GTI ini, setelah pihaknya menerima masukan dari sejumlah institusi negara, di antaranya kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta Biro Hukum Setda Pemprov NTB.
"Kita tahu proses ini sudah berlarut-larut dan panjang. Ini kan konyol, ada tanah negara yang memiliki potensi luar biasa punya nilai triliunan namun tidak dimaksimalkan. Setelah mendengarkan masukan-masukan itu, maka diadendum dengan catatan, apa itu nanti selanjutnya akan dibahas," kata Zulkieflimansyah saat konferensi pers bersama Kajati NTB Tumo Sitepu, dan Sekda NTB HL Gita Ariadi, di Ruang Rapat Utama Kantor Gubernur NTB, di Mataram, Kamis.
Gubernur mengakui, jauh sebelum memutuskan itu, Pemprov NTB sebetulnya sudah menerima rekomendasi dari KPK, DPRD NTB, Biro Hukum Setda NTB, dan kejaksaan selaku pengacara negara untuk memutus kontrak atau adendum. Dari opsi itu, akhirnya pemprov memilih memutus kontrak PT GTI.
Namun meski pada awalnya telah memutus kontrak, kata Doktor Zul, sapaan akrab Gubernur NTB, bahwa keputusan itu bukanlah keputusan akhir, sehingga pihaknya perlu mendengarkan kembali masukan dan pertimbangan dari pihak lain. Salah satunya Kejaksaan Tinggi NTB.
"Kalau diputus kontrak apa reaksi PT GTI, kalau tidak ada ya enak kami tidak perlu sibuk ini dan itu. Tapi kalau itu ada keberatan dan harus berurusan dengan pengadilan, maka panjang, bahkan hingga bertahun tahun. Daripada ini harus berlama-lama, sehingga pemerintah tidak menginginkan hal itu," ujarnya pula.
Selain pertimbangan waktu, pemerintah provinsi ingin memuliakan kontrak dan investasi. Artinya bukan berarti pemerintah memuliakan kontrak berlebihan, tapi memuliakan isi perjanjian, karena referensinya itu kan kontrak.
"Makanya kejaksaaan memberikan masukan, sayang kalau ini harus lama-lama butuh waktu dan tidak dapat apa-apa kalau itu putus kontrak. Makanya ada adendum dengan catatan itu," katanya lagi.
Kepala Kejaksaan Tinggi NTB Tomo Sitepu menyampaikan ada empat aspek yang menjadi pertimbangan, sehingga pihaknya akhirnya menyarankan agar Pemprov NTB untuk mengambil keputusan mengadendum kontrak PT GTI. Antara lain kepastian investasi, masalah sosial, aspek pariwisata, dan optimalisasi aset-aset pemprov yang ada.
"Kalau putus kontrak ini akan berperkara sampai lima tahun, sehingga status tanah jadi status quo dan ini kami tidak inginkan. Makanya kami adendum kontrak dengan penyesuaian aturan. Tentunya dengan jaminan," ujar Tomo.
"Lalu kalau tidak ada jaminan apa konsekuensinya, seperti tidak punya modal. Ya jelas kita tidak mau, tapi rupanya mereka berminat dan berjanji siap membangun," katanya pula.
Menurut Tomo, keputusan adendum ini sudah mendapat dukungan KPK, BPK, dan Kemendagri, setelah pihaknya melakukan konsultasi ke institusi negara tersebut.
"Karena setelah kami kaji, ternyata lebih banyak mudharatnya daripada kami putus dengan memberikan adendum kontrak. Tapi sekali lagi itu pun harus ada jaminan kepada daerah dalam hal ini modal, dan itu menjadi syarat utama yang diberikan oleh kami, karena kami tidak ingin ini kasus seperti ini terulang lagi," katanya.
Sekda NTB HL Gita Ariadi menambahkan, terkait apa isi klausul perjanjian dalam adendum belum bisa dijabarkan lebih jauh, karena harus dikomunikasikan lebih lanjut antara kedua belah pihak, yakni pemprov dan PT GTI.
"Untuk selanjutnya akan ada tahapan kedua untuk memformat terkait isi tindak lanjut tersebut. Ada delapan tahapan yang kami persiapkan dan ini akan kami cicil untuk selanjutnya akan kita sampaikan," ujarnya.
Setelah semua itu rampung, lanjut Sekda, nantinya akan diikuti dengan penandatangan pokok-pokok isi kesepakatan antara Pemprov NTB dan GTI.
"Yang pasti tidak merugikan daerah, harus memperhatikan kepentingan investor dan tidak lupa harus mengakomodir kepentingan di bawah, karena banyak pengusaha yang juga sudah berusaha lahan tersebut," katanya lagi.
PT GTI mendapat hak kelola usaha pariwisata di atas lahan seluas 65 hektare di kawasan wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara. Kontrak itu terhitung sejak penandatanganan kerja sama dilakukan tahun 1995 hingga berakhir 2026. PT GTI berjanji akan memberikan kenaikan royalti setiap lima tahun kepada Pemprov NTB.
Namun, kenyataannya daerah hanya diberikan Rp22,5 juta per tahun. Sementara, perputaran uang setiap harinya pada destinasi andalan NTB itu mencapai Rp2 miliar hingga Rp5 miliar miliar. Bahkan, hasil perhitungan Ditjen Kekayaan Negara Wilayah Bali Nusa Tenggara bahwa pendapatan daerah yang hilang di Gili Trawangan mencapai Rp2,3 triliun lebih.
Baca juga: Kejati NTB telusuri uang setoran sewa lahan PT GTI
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021
Tags: